Pada Akhirnya

“Nus, ikut ya?”

“Ini nanya, atau?”

“Retorika.”

“Ehm, baiklah. Perbuatlah yang kamu mau, Kak.”

Kak Rina segera memasukkanku ke dalam ranselnya. Kemarin Karin–nama panggilanku untuknya–bilang ini hari terakhir berada di kamar nan elit sebelum kemudian kembali ke kehidupan normal.

“Sebenarnya mau kemana sih?” tanyaku persis sebelum Karin menutup ranselnya.

“Katanya perbuatlah yang aku mau. Pakai nanya nih?”

“Ya, nggak jadi deh. Silahkan. Hehehe.”

Ransel menutup dan akupun menatap dalam gelap. Kuharap gelap ini tidak berlangsung lama.

* * *

“Hey! Udah lama?”

Aku mendengar suara itu, milik Karin. Siapa yang dia sapa?

“Belum kok. Baru juga nyampe. Silahkan duduk.”

Kali ini aku mendengar suara laki-laki. Dan sesungguhnya aku tidak mengenali suara itu sama sekali. Sejauh ini suara laki-laki yang aku dengar hanyalah lelaki yang pernah bertandang ke kos-kosan Karin, baik itu di Cikarang, Jogja, dan Solo. Tidak ada yang serupa itu.

“Repot-repot amat, Bang.”

Ah! Aku mengenal sapaan itu. Aku sangat berharap Karin membawaku untuk alasan yang lebih baik daripada berada di dalam ransel sambil menebak-nebak lawan bicara Karin.

“Besok jadinya jam berapa?”

“Jam 9 lewat 10, Bang. Nggak jadi reschedule flight.”

“Wah, sayang sekali.”

“Emang kenapa?”

“Mau tak ajak keliling ibukota. Hehehehe.”

“Ah, waktu aku PKL di pedalaman Cikarang kan udah putar-putar ibukota. Lagian polusi semua ini, mau lihat apa? Mending juga Jogja.”

“Yah, kalau Jogja mah nggak usah ditanya. Disana hanya kurang kendaraan umum doang. Lainnya udah oke. Ngomongin Jogja jadi ingat DM kamu dulu banget, Rin.”

Eh, sebentar. Ngomong Jogja, lalu ingat DM. Ini kok semacam mulai nyambung.

“Yang kapan?”

“Yang waktu kamu mau pindah ke Solo. Yang katanya mau lepas poster aja galau.”

“Hahaha. Tahu sendiri Bang, sebagai sesama sentimentil, kamu harus paham.”

Makin dekat, makin jelas. Aku kan membaca DM itu dengan saksama dan sebaik-baiknya. Rasanya nggak mungkin ada DM lain deh.

“Karin, keluarkan saya dari sini,” gumamku lirih.

“Eh, mana punyamu?” tanya suara laki-laki tersebut.

“Ada, bawa kok. Punyamu?”

“Bawa juga dong. Masak lupa, kan udah janjian.”

Karin segera menarik resleting ranselnya dan aku mulai melihat secercah cahaya yang perlahan membesar. Lalu tangan mulus Karin segera menjamahku dan menarikku keluar dari pengapnya ransel ini.

“Kak?”

“Ini, Bang. Kenalin, namanya Neptunus.”

“Hahahaha, kamu tiru-tiru Kugy dong, Rin?”

“Iya. Seru kan? Kalau Kugy harus tulis surat di perahu kertas supaya sampai ke Neptunus, aku bisa panggil dia kapanpun. Sampai pergi seminar ke Jakarta aja aku bawa. Eh, kamu jadinya beli kapan?”

“Belum lama. Setelah ditimbang-timbang masak-masak baru beli.”

“Untuk gaji seorang esmud di ibukota, nggak mungkin menimbang-nimbang karena perkara finansial. Bohong banget kalau begitu,” kata Karin, penuh dugaan.

“Hahaha. Alasannya sudah aku tulis di blog kok.”

Heh! Aku baca lho! Kalau benar bahwa lelaki di depan mataku ini adalah pemilik akun @alfabege yang diblok Karin sekian bulan silam sih.

“Hmmm, kayaknya aku baca. Jadi mana punyamu?”

“Oh iya, lupa.”

Lelaki itu kemudian ganti merogoh ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku bercover hijau dengan judul yang sama persis denganku. Perahu Kertas.

“Namanya?”

“Luhde.”

“Hahaha, tiru-tiru juga kamu Bang.”

“Nggak apa-apa. Luhde kayaknya cakep. Kata Kugy, kayak malaikat. Lagian nggak mungkin juga kasih nama Remi.”

Aku menatap buku yang barusan diletakkan di sebelahku, dari kiri ke kanan.

“Hai. Kita sama ya?” tanya buku itu.

“Iya. Aku Neptunus. Kamu?”

“Luhde.”

“Baiklah. Salam kenal. Yang punya kamu siapa?”

“Oh, ini Bang Alfa.”

Nah, sudah banyak dugaan yang menuju kenyataan. Tapi melihat momen di sekitar, aku jadi menebak akan terjadi sesuatu. Tempat itu ternyata romantis sekali. Sebuah kafe dengan rak buku di satu bagian dinding, lalu ruang bercahaya remang tapi dilengkapi lampu baca. Plus, lilin aromaterapi yang jaraknya hanya 10 sentimeter dari tempatku sekarang.

“Eh, De. Ini bosmu suka sama bosku ya?”

“Nggak tahu, Nus.”

“Kamu nggak sering kepoin dia?”

“Dia mah nggak bisa dikepoin. Aktifnya pakai HP. Nggak bisa ngintip aku.”

“Oh, begitu. Sayang sekali. Soalnya nih, dari dulu aku berpikir kalau sebenarnya bosmu ini suka sama bosku.”

“Rin,” kata Bang Alfa perlahan.

“Tadi bilang kalau baca blogku?”

“Iya.”

“Baca semua?”

“Lumayan.”

“Ehm, menurutmu itu fiksi atau nyata?”

“Fiksi dong.”

“Kok?”

“Kalau nggak fiksi, berarti kamu udah punya pacar berapa kali, Bang? Hehehe.”

Aku dan Luhde mulai bertatapan, tanpa suara, dan mengerti satu sama lain perihal sesuatu yang akan segera terjadi.

“Bisa aja. Menurutmu, kita ketemu lagi begini itu kebetulan bukan ya?”

“Bisa jadi. Kenapa Bang?”

“Kamu percaya kebetulan? Aku sih nggak.”

“Kadang percaya. Kenapa nggak?”

“Buatku sih kebetulan itu adalah persinggungan dua garis nasib. Dan nasib yang sudah diatur sama Tuhan. Jadi kebetulan itu kan kehendak Tuhan juga.”

“Lalu?”

“Ehm, entah sih, tapi semalaman aku berpikir soal ini. Kenapa kita ketemu lagi, kenapa bertemu kamu dalam keadaan sama-sama masih jomblo, kenapa dan kenapa lainnya. Dan sepertinya aku harus bilang sesuatu.”

“Apa?” tanya Karin perlahan, matanya sedikit melirik padaku.

“Ada banyak bagian dari posting di blogku yang sebenarnya adalah perasaanku sendiri, Rin. Perasaanku sendiri, ke kamu.”

Karin hening, bibir manisnya mengatup, tangannya malah memilih untuk mengaduk-aduk kopi. Sementara suara musik istrumen mengalun pelan di penjuru kafe.

“Sejak 7 tahun yang lalu, Rin. Sejak aku melihat kamu pertama kali, aku sudah merasakan ini. Tapi karena kemudian kita terlanjur dekat sebagai teman, jadi ya aku simpan saja. Dan kamu ingat kan pernah bilang sesuatu soal memendam cinta?”

“Memendam cinta adalah cara tercepat untuk patah hati.”

“Tepat sekali.”

“Dan bahwa aku sudah cukup patah hati ketika kemudian aku nggak bisa lagi menghubungi kamu. Kamu boleh bilang aku gila, tapi sebenarnya hadiah ulang tahunmu waktu itu, aku sendiri yang nganter ke kantor.”

“Bang? Serius?” tanya Karin dengan ekspresi yang berubah drastis. Kali ini dia benar-benar terkejut.

“Iya, aku ke Solo. Menghabiskan cuti sih, jadi sekalian gitu. Sudah sampai di depan kos-kosanmu malah. Sudah ngetuk pintu juga. Tapi akhirnya balik kanan pulang. Baru mampir ke kantormu, nitip hadiah itu. Kadang nyesel juga ngasih hadiah begitu kalau tahu akhirnya kamu malah menjauh begitu.”

“Asli, nggak nyangka Bang.”

“Buat lelaki, nggak ada yang aneh atau nekat kalau statusnya udah cinta, Rin.”

Karin terdiam lagi, melirikku lagi. Aku rasa dia mulai membenarkan perkataanku perihal sesuatu yang aneh kemarin. Salahnya juga nggak mendengarkan aku kan?

“Daripada aku panjang-panjang lagi, intinya sih hanya satu baris. Aku cinta sama kamu, Rin.”

Karinku tertunduk malu-malu, sementara Bang Alfa meraih tangan Karin yang sedari tadi tampak menggengam angin. Karin membuka genggaman jemarinya dan menerima lima jari Bang Alfa di sela-sela lima jarinya.

Aku dan Luhde terdiam saja melihat pemandangan seperti ini. Kejadian ini untuk dinikmati, bukan untuk dikomentari. Aku menikmati setiap saat ketika cinta dinyatakan, dan aku yakin Luhde demikian.

Badan Bang Alfa terangkat sedikit demi sedikit dari kursinya, kepalanya bergerak mendekati kepala Karin. Pemilikku itu kemudian mengangkat sedikit kepalanya, menyambut sebuah kecupan manis dari sebuah bibir yang baru saja menyebut cinta.

Luhde menatapku dan tersenyum penuh arti. Aku sendiri senang, karena pada akhirnya hipotesaku terbukti, seratus persen.

* * *

buatan minggu lalu, baru diunggah sekarang.. lagi niat.. hehehehe..

Advertisement

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.