“Ini gimana nutupnya?” tanyaku ke Bapak, bingung mekanisme menutup pintu garasi.
“Yang ini yang dikunci,” kata Bapak sambil menjelaskan prosedur penguncian garasi. Perlindungan berlapis adalah khas rumahku. Itu sudah ada dari jaman dulu, waktu bahkan tidak banyak benda yang bisa disebut berharga mahal di dalamnya.
Dan ketika aku memegang besi bagus penutup garasi itu, aku lantas teringat sesuatu.
* * *
“Pak, ngapain?”
“Nebang bambu.”
“Buat?”
“Pagar.”
Sejak pindah ke rumah ini, Bapak memang mendadak hobi bergaul dengan golok andalannya dan serumpun bambu di belakang rumah, hanya 2 meter dari jemuran. Satu persatu batang bambu ditebangnya, sampai kemudian terkumpul beberapa batang.
Rumah, apalagi namanya Perumnas, memang hanya menyediakan tanah dan sebuah unit rumah yang mungil. Sisanya? Tak ada. Jadilah rumah ini tidak berbatas apapun kecuali selokan yang membatasinya dengan jalan kompleks.
Pada hari libur, bilah-bilah bambu itu mulai disusun perlahan. Masih gemuk-gemuk. Bambu itu hanya dibelah dua, digergaji, dan dipaku pada kayu kasau sisa membangun rumah dulu.
Itulah yang kami namakan PAGAR.
Itulah benda yang membatasi rumah kami dengan dunia luar. Ehm, setidaknya anjing kompleks yang ramai berkeliaran itu tidak bisa serta merta masuk ke dalam pekarangan rumah.
Begitulah, setiap kali pulang, maka pagar bambu bikinan sendiri itu yang menjadi penanda pertama untuk sebuah kata: pulang.
Sampai kemudian, karena bambu-bambunya mulai membusuk dan sebab lainnya, Bapak memutuskan untuk mengganti pagar. Kali ini dengan bambu yang diiris lebih kecil dan dipaku dengan jarak tertentu antar bilah.
Menjadi lebih rapi memang.
Kalau dulu, pintu itu pasti terseret dengan tanah, kini tidak. Pintu bikinan sendiri itu bisa dibuka dan ditutup tanpa perlu diseret lagi.
Tapi tetap saja, bambu.
Pagar bambu itulah yang menjadi pelindung rumah ini. Pagar yang memang sama bambu, tapi dengan bentuk yang lebih masuk akal untuk dipandang. Semuanya bikinan sendiri, Bapak mengerahkan dua bocah lelakinya untuk sekadar mengiris satu selongsong bambu menjadi beberapa bilah kecil. Sebuah karya yang dibangun atas dasar kebersamaan. Sebuah karya penuh warna yang selalu tampak di mata.
Sampai kemudian, rejeki yang ditumpuk perlahan, ditambah fakta bahwa pagar bambu sudah semakin langka di kompleks ini, membuat keputusan dibuat.
Buat pagar permanen.
Tukang yang sama dengan yang membangun rumah ini dipanggil. Tapi, baru saja ia selesai membuat pondasi, ia tidak datang-datang lagi.
Sampai kemudian datanglah tukang becak yang menjelma menjadi tukang. Fiuhh..
Orang inilah yang kemudian bertanggungjawab membentuk pagar yang jadinya aneh ini. Pagar berharga mahal karena dibuat dari besi kualitas baik, pembatasan berbentuk bebek yang bagus, plus semen berkualitas itu bentuknya absurd. Pagar besinya tidak bisa terdorong sempurna, hampir pasti nyangkut.
Ah!
* * *
Duduk di teras rumah dengan marmer merah ini selalu jadi hal yang menarik. Pagar bebek itu hanya 3 meter dari mata. Sebuah rumpun bambu tinggi tampak di kejauhan. Dan sebuah kaleidoskop terhampar.
Ketika di tempat pagar itu berdiri, belum ada apa-apa. Ketika di tempat pagar itu berdiri baru ada pagar bambu buluk. Ketika di tempat yang sama pula dibut pagar bambu baru. Saat aku ikut memegang bebek palsu itu waktu dipasang. Kala aku ikut mengulaskan cat putih disana, karena mengecat di rumah ini adalah pekerjaan sendiri. Meng-hire orang untuk proses cat adalah ongkos.
Semuanya memutar memori bernama perjuangan. Pagar ini tidak membatasi. Pagar ini justru menjadi saksi bagaimana aku bertumbuh lantas kemudian lepas darinya dan lalu datang kembali, untuk sebuah kata: PULANG.
🙂