Sudut Pandang

“Pantai yo?”

Ajakan retoris anak-anak Dolaners ini memang berlaku umum. Berlaku untuk dikatakan tapi tentatif untuk direalisasikan. Namanya juga Dolaners, mayoritas isu tanpa konsep, sedikit realisasi. Soalnya kalau realisasi semua, jebol juga kantong bolong anak muda.

Tapi ini agak serius. Aku, Chiko, Ano, Roman plus Adel sudah bersiap. Rencananya malah lebih dahsyat bin maut. Jadi ceritanya makan siang dulu di pemancingan yang terletak di pelosok babarsari lalu capcus ke Pantai Parangtritis.

“Eh, bukannya ke Paris nggak boleh ya buat orang pacaran?” tanyaku pada Roman.

“Emang kita pacaran?” Roman malah bertanya pada Adel.

Dasar pasangan yang aneh!

Baiklah. Sejatinya rencana setengah matang ini dibuat dalam rangka menghibur Bayu yang lagi ultra galau. Seorang dengan otak cemerlang ini tampak lemah, letih, dan lesu. Soal cemerlangnya otak Bayu sebenarnya agak sukar di jelaskan oleh kata-kata, bahkan oleh Sukardi sekalipun. Ya bayangkan saja, sepanjang kuliah kerjanya cuma dua, ngantuk dan tidur, tapi begitu dosen bertanya, “ada pertanyaan?”, Bayu dengan mantap bertanya. Mana pertanyaannya berkualitas pula. Tidur macam apa itu?

Nah, tampangnya sudah lemas dari kemarin. Padahal, belum lama ini dia teklek kecemplung kalen, tinimbang golek mending balen dengan Putri. Itu persis beberapa hari sebelum aku mudik. Waktu itu aku lagi nongkrong di depan kampus dan dia mengakui soal CLBK itu.

Lha sekarang sudah galau lagi?

Kembali ke Pat Kai, begitulah cinta, deritanya tiada akhir.

“Lha, melu ora Bay?” Chiko menanyakan pertanyaan yang ketiga belas kali. Sama persis.

Bayu gojag gajeg tiada tara. Semacam ada yang aneh dengan gelagat manusia satu ini. Bahkan orang pintar pun kalau galau, kepintarannya berkurang 50%, setidaknya aku menemukan fakta soal itu hari ini.

“Aku nyusul yo.”

“Jadi piye?” tanyaku. Sebagai makhluk nebeng tingkat internasional, aku harus memastikan soal ini. Kalau dia nyusul, masak aku harus membawa Alfa, si odong-odong merah, ke pelosok babarsari yang menguras energi dan oli itu? Ampun!

“Yo gampanglah,” ujar Chiko, menenangkan. Jadilah Roman-Adel, Chiko, Ano, dan aku berangkat duluan ke pemancingan. Bayu tinggal. Tampaknya dia ada unfinished business yang kudu dituntaskan. Aku hanya menerka itu dari ekspresinya.

Pemancingan yang menjadi tujuan itu, sejujurnya aku baru tahu beberapa pekan silam. Letaknya di bawah jalan aspal. Jadi ada jalan menurun dulu kalau hendak menuju pemancingan. Ikannya? Banyak.

Beberapa pekan silam, Dolaners memang mancing disini. Kali ini, berhubung sudah siang, sudah lapar, dan hendak ke pantai, kami memutuskan untuk membiarkan pemilik pemancingan yang memancingkan. Toh, mancing atau tidak, harganya sama. Ya mending nggak mancing to? Wong, kalau mancing malah nambah beli cacing plus sewa pancing pula.

Sebutlah ini perspektif malas.

Oke, lanjut ya. Makan-makan ini tidak lain dan tidak bukan membahas Bayu. Mau nggak mau lah. Kami sendiri sudah memandang aneh hubungannya dengan Putri sejak lama. Awalnya sejak Putri yang ngebet sama Bayu, hingga kemudian dunia terbalik ketika Bayu begitu ngebet sama Putri. Sayangnya ngebet sama ngebet itu tidak terjadi pada waktu yang sama.

Pacaran mereka juga aneh. Kalaulah Roman dan Adel, setidaknya tangan Adel masih nangkring di pinggang Roman kalau lagi boncengan sepeda motor. Putri? Bahkan Bayu sampai bertanya, kok tangannya nggak mau singgah di pinggang.

Pelbagai keanehan lain menjadi menu pembicaraan. Ini nggak nggosipin orang ya. Ini hanya pemaparan fakta-fakta disertai bumbu opini, disela-sela bumbu ikan bakar.

Satu jam setelah kami duduk di saung, Bayu muncul, masih dengan muka yang sama. Galau.

Piye Pak?”

Bayu tidak menjawab. Bagaimanapun sebagai teman, dan sebagai sesama pernah patah hati, tentu aku harus memahami. Kalau aku mungkin bukan pernah, tapi sering. Ups!

Perjalanan siap dilanjutkan. Aku terpaksa memegang peran sebagai driver sepeda motornya Bayu. Yah, membiarkan seseorang yang baru galau naik sepeda motor ke Paris bukan hal bijak. Lagipula, aku kan bisa mengorek kejadian-kejadian dan fakta-fakta sebenarnya sepanjang jalan. Ikut tanggung jawab juga ceritanya, soalnya dulu awal banget merekomendasikan Putri dengan Bayu. Putri temanku di awal kuliah, Bayu temanku dari SMA. Kupikir cocok, taunya? Haduh.

Perjalanan dimulai, berbekal handphone kamera pinjaman, kami berangkat ke Paris. Sebuah perjalanan seru siang menuju sore ke pantai paling ternama se-Jogja, eh, se-Bantul itu.

Kalau main-main biasanya banyak sepeda motor, kali ini cuma tiga. Nggak apa-apa, yang penting maknanya. Apa sih?

“Zonk, hidup ini ketoke hanya persoalan sudut pandang yo.”

Nah loh! Sebuah pernyataan bijak keluar dari otak si cemerlang ketika aku melaju manis di Jalan Paris.

“Lha piye Pak? Pedhot?”

“Iyo.”

“Bener sih Bay. Tinggal piye kowe ndelok’e wae. Nek arep loro yo loro.  Nek emang lebih baik, yo wis to.”

Gila! Mendadak bijak aku ini! Semacam hebat saja, padahal pacaran aja belum pernah. Yah, kita kan nggak kudu nyoba narkoba untuk tahu itu berbahaya kan? Jadi nggak kudu nyoba pacaran biar tahu itu menyakitkan? Waduh. Bisa single sepanjangan ini. Jangan deh. Amit-amit.

Perjalanan ke Paris ini enak, tinggal lurus wus wus wus. Mau pilih Jalan Paris atau Jalan Bantul, sama lurusnya kok. Banyak yang kencang-kencang disini. Dan sebagai anak muda harapan bangsa, skill naik motor aku, Ano, dan Roman, tidaklah buruk. Jarak ini masih standar untuk Dolaners.

Maka Paris sudah di depan mata. Kami masuk, parkir, dan siap menempuh kehidupan.Eleuh.

Nongkrong di sebuah tempat makan adalah kegiatan pertama. Bayu masih tampak gamang dengan muka pertapa, matanya memandang lepas ke lautan yang sama-sama lepas.

“Ayolah!” Chiko mengajak Bayu untuk melepas atribut dan segera menuju tepian.

Main air lantas menjadi kegiatan berikutnya. Tentu disertai foto-foto dengan handphone kamera pinjaman. Berbagai macam pose. Mulai dari pura-pura terbang hingga pura-pura mati. Dari ‘memegang’ matahari sampai ‘menduduki’ matahari.

Kami jalan jauh ke sisi bukit, hendak melihat air terjun. Sayangnya, tampak kandas. Air terjun itu kering. Yang kami lihat kemudian adalah, air.. eh.. kegiatan dua insan di atas batu. NGAPAIN ITU CEWEK SAMA COWOK DUA-DUAAN DIATAS BATU?

Dasar! Anak muda jaman sekarang suka aneh ah!

Kami yang tidak suka pergaulan bebas lantas foto-foto di dekat batu itu. Yah, aku yakin kedua insan itu akan bertobat segera melihat kelakuan kami yang nggak pindah-pindah dari batu itu dan malah foto-foto dengan berbagai pose.

Termasuk… foto pandang-pandangan Roman dan Adel yang banyakan gagalnya karena mereka malah saling menertawakan satu sama lain. Haduh. Pacar sendiri kok digituin. Ya begitulah cara mereka pacaran, lagi-lagi ini perkara sudut pandang. Bener juga kata master galau hari ini, Bayu.

Ketika mentari menjelang terbenam, Bayu yang lumayan pakar fotografi segera meminta Ano berpose macam-macam. Jadilah banyak foto siluet Ano dan sebuah benda bulat terang yang manis terlihat.

Lagi-lagi, ini tentang sudut pandang.

Ketika matahari akhirnya terbenam, kami meninggalkan pantai itu, berharap kegalauan Bayu segera musnah. Meski Bayu sudah kembali ke klub jomblo, tapi tentunya ini bukan kesenangan. Patah hati itu sakit, dan hanya menjadi nikmat kalau dilihat pada sudut pandang yang tepat.

* * *

Advertisement

2 thoughts on “Sudut Pandang”

  1. I missed that place…i still can imagine the situation
    I asked you, roman, bayu, ano and adel to touch the water
    I still can feel my spirit
    even we are not with our full member
    maybe around 6-7 years ago
    Beautiful time…

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.