Petualangan Pio

Langkah terseret-seret dengan nafas terengah-engah menjadi nuansa yang tampak di tempat yang sepi itu. Bahwa itu adalah satu-satunya benda bergerak di tempat yang sama sekali tanpa gerakan adalah fakta yang tak terbantahkan. Pio masih saja menyeret langkahnya dalam kelelahan yang amat sangat. Tapi kata orang-orang di bawah sana tadi, kalau ada halangan apapun tetap berjalan, kalau nggak bisa berabe. Jadilah Pio memaksakan langkah yang sudah tanpa energi itu.

Di sekeliling Pio hanya ada batu dan batu, semuanya batu. Bahkan lumut pun tidak ada. Batuan itu kering sama sekali, mungkin sudah tiga purnama tidak ada hujan di tempat itu.

“Apapun, demi Lena,” gumam Pio dalam lelahnya.

Pio kemudian sampai di sebuah tebing dengan kemiringan 92 derajat alias miring ke arahnya. Pio mendongak sekilas, ada lubang disana. “Pasti itu gua-nya. Lena, tunggu aku,” teriak Pio heroik macam di tivi-tivi.

Pio mengulurkan tangannya untuk memanjat tebing batu yang curam itu.

“Darrrrrr….”

Baru dua langkah naik, Pio terjatuh. Sebuah ledakan kecil terjadi hanya 5 cm dari jemari Pio yang menggapai-gapai.

“Huahahahaha.. Berani juga kau kesini, Pio!” tawa dengan suara dalam terdengar menggema di bebatuan.

“Acarbos?” bisik Pio lemah.

“Sudahlah Pio. Hentikan pencarianmu pada Lena. Jangan habiskan hidupmu sia-sia. Hahahahaha.”

“Tidak. Aku harus menyelamatkan Lena.”

“Kalau kau bisa. Silahkan saja.”

Pio tampak seperti ngobrol dengan batu. Suara Acarbos hanya menggema di seluruh bebatuan tanpa jelas sosok itu ada di sebelah mana. Pio tahu, kalau memanjat konvensional, dia pasti tidak akan berhasil menuju lubang di atas tebing. Pio lantas menunduk dalam, penuh konsentrasi. Beberapa detik kemudian tangannya terangkat ke atas dan Pio berteriak, “Ubidekarenontranexa.”

Tiba-tiba angin yang awalnya sepoi-sepoi ringan mendadak mengumpul membentuk pusaran di sekitar Pio. Matanya masih terpejam penuh konsentrasi. Pusaran angin itu perlahan mengangkat tubuh Pio ke udara.

“Darrrr… Darrrr…” Suara ledakan-ledakan terdengar di tebing batu. Tampaknya Acarbos tidak mempersiapkan perlawanan untuk upaya Pio yang satu ini. Lewat udara!

Pusaran angin itu berhasil membawa Pio sampai di atas tebing. Matanya seketika terbuka dan ia melompat sekuat-kuatnya menuju lubang besar di atas tebing. Sayang, lompatannya kurang sempurna, Pio mendarat dengan kepala dahulu. Darahpun sontak mengucur dari kepalanya.

Dari luar masih terdengar ledakan-ledakan dinding tebing dan sesekali menggoncang landasan tempat Pio berdiri.

“Lenaaaaaa…,” teriak Pio. Lubang itu ternyata awal dari lorong yang sangat panjang. Teriakan Pio lantas tenggelam oleh ruangan. Pio menoleh sekeliling, ekspresinya mulai menyiratkan putus asa.

“Darrrrr…”  Ledakan terjadi lagi, kali ini di dekat kaki Pio, sontak ia berlari sekencang-kencangnya.

“Acarbos? Mau apa kau?”

“Harusnya aku yang bertanya begitu? Mau apa kau di tempatku?”

“Aku harus menyelamatkan Lena.”

“Hahahaha.. Cobalah kalau kau bisa!” Acarbos mengeluarkan pernyataan yang sama.

Pio berlari terus guna menghindari Acarbos. Sebuah pertaruhan karena Pio tidak tahu sama sekali ujung dari lorong yang ia lalui. Sepanjang jalan, sambil berlari, Pio berteriak, “Lenaaaa.. Lenaaaa…”

“Pio!”

Sebuah suara yang sangat Pio kenal terdengar memanggil. Pio berhenti dan melihat ke sekeliling. Pandangannya berhenti pada sosok gadis yang terikat di sebuah batu besar.

“Lena!”

Pio berlari mendekat, tapi ledakan kecil menghalangi langkahnya.

“Hahahaha.. Bagus sekali. Pioglitazon datang kesini mengorbankan dirinya untuk Adapalena. Sebuah kisah heroik. Luar baisa.” Suara yang sama dengan bauran gema di bawah tebing tadi terdengar lagi. Siapa lagi? Pastilah Acarbos.

Pio berdiri dengan kuda-kuda maksimal. Matanya awas ke sekeliling. Tiba-tiba ledakan-ledakan kecil tanpa jelas sumbernya terjadi di sekitar tempatnya berdiri. Pio melompat dan melangkah menyesuaikan ledakan yang terjadi. Perlahan Pio mendekat ke arah Lena.

Tapi aneh!

Setiap kali Pio mendekat ke arah Lena, batu besar itu tampak bergerak, sehingga Pio tidak pernah sampai ke tempat Lena berada. Pio mempercepat larinya, batu itu bahkan tidak tampak mendekat sekalipun. Pio perlahan menjadi lelah mengejar batu itu dan Lena yang terikat disana.

“Pio! Tolong aku!” teriakan Lena di ujung sana menggelorakan kembali semangat Pio.

Pio mulai berpikir kembali, dia harus memakai cara lain. Mantra. Tapi kalau mantra ini menghancurkan batu itu, tentunya Lena akan ikut hancur? Pio mendadak shock membayangkan kemungkinan itu. Tangannya mengepal tanda gemas dan bingung memilih solusi. Di balik kebingungannya Pio kembali mencoba berkonsentrasi.

“Hatimu yang menentukan, Pio. Hatimulah yang akan menang.” Tiba-tiba Pio teringat petuah Guru Besar Ceftrizidim.

“Hati! Hati! Hati!” gumam Pio, mencoba mencerna petuah Guru Besar Ceftrizidim. “Hatiku adalah Lena! Hyaaaaaa….”

Pio mundur doa langkah kemudian berlari maju tapi kali ini tubuhnya perlahan condong menjadi horizontal, tubuhnya juga berputar layaknya mata bor. Dalam pusaran tubuhnya Pio berteriak, “Klomifena Cisaxikam.”

Tubuh Pio melayang persis ke arah Lena terikat.

“Piooooo!” teriak Lena ketakutan.

Dua meter sebelum mencapai tubuh Lena, Pio membelokkan arah dan mulai memutari batu tempat Lena terikat. Pio mengitari batu itu dengan secepat kilat.

“Arrrrgggghhhhhh…” terdengar suara Acarbos. Aha! Ternyata Acarbos adalah batu tempat Lena terikat!

“Sekarang saatnya!” ujar Pio pada putaran ke 173. Tangannya mulai bersiap menggapai Lena. “Tangan, Lena! Tangan!”

Tangan Lena yang terlepas ikatannya karena efek pusaran Pio menggapai ke atas. Pio melihatnya dengan jelas, lalu berteriak, “Risedrona Mekobala.”

Sesudah berteriak demikian, tangan Pio menggapai tangan Lena dan menariknya seketika ke arah atas, sementara Acarbos tampak mulai retak-retak dan kemudian meledak.

Pio dan Lena yang terkapar dalam kondisi berpelukan melihat kehancuran Acarbos dengan jelas. Nafas keduanya terengah-engah, Pio malah baru merasa pusing.

“See? Jadi siapa yang nekat pergi?” kata Pio sambil mengusap kepala Lena.

“Iya Pio. Aku telah melakukan langkah yang salah. Aku pikir pergi ke Negeri Terazoten adalah pilihan bagus.”

“Bagus sih, sampai kamu diculik di jalan sama batu-batuan. Lagian ngapain kamu pergi jauh-jauh hanya alasan mengejar cinta?”

“Tadinya itu dorongan hati, Pio.”

“Dan dorongan hati juga yang membawaku ke tempat ini, Lena. Aku cinta kamu.”

“Sayangnya aku baru tahu itu setelah aku nyaris mati Pio. Kenapa nggak bilang dari dulu?”

“Selama ini aku realistis Adapalena. Bagaimanapun kamu lebih dekat dengan Meglumin dan Promelo. Siapapun tahu kalau mereka jauh lebih tampan dan pintar daripadaku.”

“Dan mereka tidak ada disini, Pio. Yang aku butuhkan bukan kata-kata, tapi bukti nyata. Dan kamu berhasil membuktikannya. Aku yakin aku juga punya perasaan yang sama, Pio.”

“Jadi?”

“Jadi mari kita pergi dari sini. Aku takut.”

“Takut apalagi Lena?”

“Jadi kamu pikir apa yang akan dilakukan dua orang saling cinta di tempat yang sunyi macam ini Pio?”

“Owww.. Baiklah. Mari kita pergi.”

Lena berpelukan erat pada Pio yang sedang berkosentrasi.

“Akril Iz Opagla.”

Mantra terbang telah disebutkan, Pio terbang bak superman dengan Lena berpegangan erat pada punggungnya.

Advertisement

Teman Lama

Handphone android-ku yang bisa instagram itu mendadak bergetar. Kuraih si Ace itu dengan malas, lingkaran hijau tampak di sudut kirinya. Sebuah pesan whatsapp. Jempolku menari di 9 titik pembuka lock dan ‘menarik’ panel navigasi dari bagian atas layar. Ah, canggihnya teknologi berhasil membuat semuanya damai dalam satu sentuhan.

“Bang, itu mbak Ola jomblo loh :D”

Sebuah pesan penuh makna dari Adan, adik tingkatku waktu kuliah dulu. Ola itu teman seangkatanku yang sekarang jadi manager purchasing di perusahaan tempatnya bekerja. Cantik sih. Dan dia dulu adalah pacarnya teman akrabku, jadinya aku lumayan akrab sama dia.

Dan entah mengapa cecunguk bernama Adan ini mengabari info yang semacam ini. Bahkan aku sendiri tak yakin dia kenal dengan Ola.

“Emang kowe kenal?”

“Yo ora sih. Tapi hari gini kan di dunia maya semua orang berkenalan Bang. Hohoho.”

Aku bangun dari pose tidur indahku di sore hari penuh ketenangan ini. Perihal jodoh memang sudah jadi isu besar dalam hidupku. Usiaku sejatinya belum tua benar, lagipula cowok seumuranku masih banyak yang belum menikah. Dua puluh delapan bukanlah angka yang menakutkan bukan?

“Pungguk merindukan bulan bro..”

“Lha?”

“Ora level lah.”

“Ya siapa tahu Bang. Level kan nggak cuma soal tinggi badan. *ups… Maksudku, kalian kan yo wis saling kenal.”

“Trus?”

“Usia juga serupa dan pasti dikejar target menikah to? Nek wis kenal kan nggak usah pacaran suwi-suwi. Hehehe. Sekadar usul lho Bang.”

“Hahaha. Aku kan ora ngepek konco, Dan.”

“Ya, siapa tahu faktor usia membuat prinsip berubah Bang.”

“Pinter tenan persuasimu.”

“Yo iki kan demi kemaslahatan umat.”

Diksi apa pula itu? Bah, adik tingkatku ini memang punya pilihan kata yang super absurd sejak buku-bukunya mulai laris di pasaran.

“Pokokmen nek isu dipertimbangkan Bang. Menurutku ini ide menarik.”

“Yo. Maturnuwun idenya. Iki pungguk tak ngimpi sik.”

“Jiahhh bang. Kowe ki wis tinggal lompat udah jadi bos juga. Podo-podo bawa stang bunder ngko.”

“Hahahaha…”

“Yowis yo. Aku tak bedah buku sik. Nglarisi dapur.”

“Yo. Sukses bro.”

“Sip.”

Sebuah percakapan antah berantah dengan ide yang menurutku gila. Secara tinggi badan saja aku sudah tidak memadai, bagaimana mungkin aku bisa mendekati Ola. Lagipula biasanya orang Purchasing itu galak, meski di beberapa company tempat lompat-lompat ada juga yang kalah galak dari PPIC. Tapi sebagai teman lama, masak sih Ola galak padaku?

Iseng-iseng, aku tertarik dengan ide cecunguk Adan ini. Sebenarnya aku masih sering kontak-kontak ringan dengan Ola. Jadi sebuah kontak bukanlah isu yang besar.

“Olala, piye kabare?”

Sebuah pesan whatsapp melayang pada Carola Tyana.

“Sae bro. Kowe?”

Dan bahkan obrolan kami adalah ala Jawa sekali, pakai kata ganti ‘kowe’. Ini jelas pertanda teman sejati.

“Mestinya demikian. Sibuk ora? Tak telpon o.”

“Wahhhh.. Pucuk dicinta ulam tiba ki. Telpon waee.. Lagi butuh konco curcol.”

Buat asisten manager macamku, tentunya nggak boleh bermasalah soal pulsa. Sekali aku tidak berhasil menelepon supervisorku semata-mata tiada pulsa bisa menyebabkan produk 1 batch yang nilainya miliaran bubar jalan. Jadi aku punya spare sangat lebih untuk pulsa. Tentunya untuk sekadar menelepon Ola bukanlah perkara besar.

“Halo? Tumben niat nelpon kowe?”

“Feelingku kan apik. Ono konco lagi gundah.”

“Jiahhh.. Tapi pas tenan. Haha. Aku jomblo kie bro.”

“Lha kok pedhot?”

“Tentunya karena tidak cocok. Lha opo maneh. Padahal aku pengen tahun iki nikah sih.”

“Sama, Olala!”

“Huh, golek konco kowe yo.”

“Kan emang wis konco to La?”

“Iyo sih. Lha kowe isih jomblo-jomblo wae?”

“Yo ngene ki lah. Fokus golek harta sik wae.”

“Opo bro? Mobil nggak usah kan ya? Paling dapat dari kantor. Rumah mesti.”

“Lha kowe sik manager La, oleh mobil. Asman ki durung oleh. Yo coba-coba cari properti ki.”

“Lha kok sama lagi kita bro?”

“Eh? Sebelah mana?”

“Aku yo lagi cari-cari rumah.”

Ups, sama-sama jomblo, sama-sama pengen nikah tahun ini, plus sama-sama mau cari rumah. Bukankah kesamaan-kesamaan itu tampak sama untuk disamakan?

“Ehm, ayo nek ngono, golek bareng La.”

“Bolehhhh, kapan?”

“Kapan kowe iso lah. Nek orang pabrik kan cetho jam-nya. Purchasing kali ada meeting luar negeri.”

“Hahaha.. Ora lah bro. Weekend seloww saja. Next weekend?”

“Dicatat. Kowe jemput aku yo? Kan yang bermobil situ. Hahaha.”

“Huuuu.. Yowis, gapapa. Tak jemput mana? Lha kowe di Cibitung to? Adoh men aku le methuk.”

“Yo gampang. Ketemu di MM Bekasi saja. Kita searching daerah Bekasi dulu.”

“Pinter kowe bro. Sayang durung manager. Hehehe.”

“Ngece ki bu bos.”

“Ora.. ora.. bercanda pak Asmen. Okelah, sampai jumpa next weekend.”

“Siap bu bos. See you.”

Telepon ditutup, dan sepertinya aku bisa memulai sesuatu yang baru dari sini.

9 Summers 10 Autumns

image
sumber: dok pribadi

Judul Buku: 9 Summers 10 Autumns
Penulis: Iwan Setyawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Buku ini saya peroleh dengan membeli (tentu saja!) di Pameran Buku di Istora. Sungguh Cikarang bukanlah tempat yang friendly dengan pencinta buku, maka untuk memuaskan hasrat saya harus lari-lari ke Jakarta. Ongkos pulang perginya bahkan sudah bisa beli buku 1 🙂

Saya mungkin telat membacanya, karena di buku itu sudah tertera “National Best Seller” tentunya sudah ribuan orang membeli buku ini sehingga lantas jadi Best Seller, tapi tidak ada kata terlambat untuk membaca buku. Saya sempat menimang lama buku ini karena budget saya hanya 200 ribu sementara di sini adalah ribuan buku yang semua bagus-bagus. Dengan tekad kukuh berlapis baja saya ambil buku ini.

Sebuah kisah yang inspiratif membuat saya tidak menyesal membeli buku ini. Saya ini kalau beli buku dan nggak suka, maka itu buku nggak akan habis dibaca. Jadi, kalaulah sebuah buku habis dibaca, itu artinya saya cocok. Sebuah kebiasaan yang absurd 🙂

Sudut pandangnya sebenarnya kisah-kisah global yang didetailkan. Misalnya, perkenalan siapa Bapak, siapa Ibuk, bagaimana masa kuliah, masa kerja, dan lainnya dibungkus bab demi bab dalam bentuk obrolan bersama si kecil yang sampai akhir nggak ketahuan siapa. Kalau saya tebak sih itu Mas Iwan versi kecil. CMIIW.

Dan saya terhenyak ketika ada yang meninggalkan posisi bagus di NY demi pulang ke rumah di Batu. Tapi itu sungguh pilihan hati. Dan tidak ada yang salah soal itu.

Konten menarik itu membuat saya menghabiskan buku itu segera dan menomorduakan borongan saya yang lain dari pameran. Hanya saja, secara alur yang menurut saya terlalu slow, sebenarnya membuat saya pengen buru-buru membalik halaman. Ini versi saya lho Mas Iwan hehehe..

Pada intinya ini buku bagus dan menjawab bagaimana perjuangan itu pasti ada buahnya. Dan sesudah membaca buku ini, saya segera menelurkan outline tentang masa-masa keluarga saya jadi kontraktor alias mengontrak rumah dari tempat satu ke tempat lain. Semoga kelak bisa dijadikan buku macam punya Mas Iwan ini. Sip!

Update:

Terima kasih Mas Iwan atas tanggapannya 🙂