Tag Archives: travel

Cerita Liburan: A330

Dimulai dari hidup yang semakin galau, tiba-tiba saya menjadi sangat intuitif dan kurang berpikir. Tapi entah kenapa, kadang intuitif itu ada gunanya. Dan tanggal 8 Agustus saya memilih untuk MUDIK karena baru ngeh kalau liburannya lumayan lama. Dasar nekat, di tanggal segitu penerbangan sudah pada habis. Jadilah, saya ambil flight tanggal 17 Agustus 2012 yang tersisa: Batavia Air Jam 10.20 dari Jakarta ke Padang. Harganya? Sejujurnya ini one flight termahal yang pernah saya lakoni karena saya harus membayar sekitar 1.420.000, sekadar perbandingan, rekor saya Palembang-Jogja PP adalah Rp. 1.100.000 untuk 4 kali naik pesawat. Tapi daripada saya mati gila di sepinya Cikarang, mending saya pulang, menikmati rumah yang pastinya akan indah.

Dan berangkatlah saya.

Dimulai dari Damri Cikarang-Bandara, saya turun di terminal 1C. Sepanjang jalan saya menyaksikan betapa Jalan Tol Jakarta-Cikampek arah Cikampek menjelma menjadi tempat parkir. Sementara arah Jakarta, menjadi jalan tol yang beneran bebas hambatan. Hanya 1 jam lebih sedikit, sudah sampai ke bandara. Waw!

Saya jarang main-main ke terminal 1C. Rasanya sih baru 1 kali terbang dari sana, ketika balik dari minta tanda tangan Pak Harimat, naik Adam Air. Jadi ketika saya masuk, berasa heran, karena beda dengan 1A dan 1B yang jelas MERAH-nya. Hehehe..

Nah, duduklah saya di ruang tunggu. Persis seperti dugaan, tidak se-kampung terminal 1A dan 1B yang jelas-jelas penumpang pesawat putih merah yang BANYAK SEKALI. Ya, ramlan lah, ramai lancar.

Saya mulai heran ketika melihat isi ruang tunggu ini cukup banyak, namun 1 tujuan. Semakin heran ketika dipanggil suruh boarding, kok BANYAK banget orang di belakang saya. Makin heran lagi karena harus naik bus dulu sebelum menuju pesawat. Dan tambah heran ketika bus itu JAUH banget, memutar sampai ke terminal 1A karena saya lihat pesawat putih merah disana.

Dan saya baru NGEH dengan boarding pass saya: 20K. Saya jelas-jelas minta jendela, yang notabene kalau nggak A ya F, ini kok dapat K? Jangan-jangan ada hubungannya?

Benar saja, saya lantas sampai di terminal CARGO dengan dua buah pesawat Airbus A330 berdiri kokoh disana. Ini pesawat yang biasa dipakai oleh Batavia untuk penerbangan luar negeri, dan dari majalah saya tahu kalau Batavia hanya punya 2.

Saya lalu masuk. Dan sususan kursi yang biasanya 3-3, kini menjelma menjadi 2-4-2. Ya, ini pesawat GEDE BANGET. Akhirnya kesampaian juga merasakan pesawat besar. Makin excited ketika disebutkan ketinggian jelajahnya 40 ribu kali. Biasanya kan 27 ribu sampai 32 ribu kaki.

Well, sejujurnya, saya merasa beruntung. Pantas saja ketika maskapai lain sudah full booked, Batavia masih buka, lha jelas pesawatnya segede gaban begini. Dan mulai nggak menyesal mengeluarkan sejumlah uang yang gede itu untuk satu penerbangan menuju RUMAH dengan pesawat BESAR pertama kali. Sebanyak 60-an kali saya terbang, baru ini pakai pesawat besar. Hore sekali rasanya.

See? Intuitif tidak serta merta keliru kan?

*nantikan cerita liburan saya lainnya di saluran ini.. hehehehe..*

Senyum Abadi

“Wer ewer ewer ewer ewer.. Ewer ewer…”

Suara pria separuh wanita–atau mungkin sebaliknya–itu membangunkanku dari tidur yang tidak enak. Yah, namanya juga kereta bukan eksekutif, mana bisa tidur enak. Lha kalau kereta eksekutif saja telingaku harus disibukkan oleh tawaran berbagai makanan, mulai dari nasi goreng hingga kentang goreng, juga minuman mulai dari es teh manis hingga kopi panas.

Apalagi kereta bisnis?

Mulai dari ratingdeng sampai mijon, dan bahkan hingga pijet, semuanya ada. Memang luar biasa. Tapi sesungguhnya semua itu mengganggu tidurku. Aku tidak bisa tidur dengan nikmat. Dan pagi ini aku dibangunkan oleh duo ewer-ewer.

Hmmm, tak masalah sih. Bagiku ewer-ewer ini justru menjadi pertanda jelas. Yak, ini sudah stasiun Wates. Tak lama lagi, Jogja.

Dan kereta api Senja Utama Jogja itu mendengus perlahan memasuki tempat-tempat yang perlahan makin aku kenal. Sawah di sisi kanan, hingga rumah kos di daerah Wates tempatku tinggal sebentar dulu. Perlahan dan perlahan lagi akhirnya sampai di kota Jogja, hingga aku lihat kewek.

Ini dia, stasiun Tugu.

Terakhir kali di tempat ini, aku diantar oleh seorang gadis, berpisah dengan pelukan manis. Ah, sebuah masa yang tak terkatakan.

Rombongan porter berebut masuk, bersamaan dengan penumpang yang keluar. Mukaku kusut kurang tidur, tapi aku paksakan untuk bangkit dan keluar.

Kaki kananku menjejak marmer putih di stasiun terkenal itu. Kuhirup sedikit dalam udaranya, dan aku mengerti bahwa ini Jogja. Kenangan merasuk ke dalam tubuh dan jiwaku. Inilah dia kota itu, ketika semua kenangan terkumpul jadi satu.

Aku keluar dari sisi Mangkubumi. Jalan cukup jauh ke depan, tentu dengan tawaran dari kiri dan kanan, mulai taksi (gelap), taksi (terang), hingga becak. Aku memilih untuk menolak semuanya, karena aku ingin mengenang.

Kenangan yang harus dipaksa untuk diingat, agar nanti aku segera lupa. Lelah aku untuk mengenang semuanya.

Langkah kakiku yang tertekuk semalaman satu persatu melangkah di sepanjang Mangkubumi. Ah, tempat ini sudah tak sedamai dulu. Jauh, jauh dan jauh lebih ramai dari 11 tahun yang lalu, ketika aku pertama kali menjejak kota ini.

Tubuh lelah ini sampai di sebuah lapak gudeg pinggir jalan.

“Bu, setunggal, ngagem ayam.”

“Nggih Mas.”

Entah ini pemandangan apa, aku tak mengerti. Tapi buatku, gudeg itu yang sebenarnya adalah yang dijual oleh orang dengan level Mbah-Mbah. Kalau tidak, menurutku kurang enak. Ya sama persis ketika aku masuk ke warung berlabel warung Padang tapi dilayani dengan bahasa Jawa. Sensasi enaknya berkurang signifikan.

Gudeg, jalanan ini. Ah! Untung ini masih siang. Kalau saja ini sudah malam, maka kenangan itu akan semakin merajalela di pikiranku. Ya aku jarang beredar pagi-pagi, tapi kalau malam hari, jangan ditanya. Disitulah kenanganku terbentuk, satu persatu.

Perjalananku berlanjut, tubuh gontai ini menapak kembali langkahnya di kota tempat ia terbentuk menjadi manusia.

“Pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu…”

Yak! Pengamen yang tiba-tiba ada di sebelahku dengan sukses menyibak tabir yang selama ini aku tutup, membuka kekelaman yang selama ini aku bungkam. Dengan sukses, ehm, sangat sukses bahkan!

* * *

“Sesungguhnya, ku tak rela…”

Tanganku terjulur memberikan sejumlah koin kepada pengamen bersuara indah ini. Tapi bagiku akan lebih indah kalau dia pergi. Aku butuh suasana tenang.

“Kok disuruh pergi?” tanya Raras.

“Nggak apa-apa. Galau lagunya.”

“Yah, kenapa? Ada hubungan dengan suasana?”

“Sedikit.”

“Oke. Jadi apa yang mau dibicarakan?”

Aku menghirup nafas dalam-dalam. Nafas udara malam Jogja yang belum banyak kontaminasi.

“Aku sayang sama kamu, Ras.”

“Hmm, tapi mukamu sendu begitu?”

“Yah justru itu. Aku sayang sama kamu, tapi ternyata aku tidak bisa memiliki kamu sepenuhnya.”

“Masih masalah yang sama?” tanya Raras sambil melempar pandang ke sekeliling.

“Sepertinya masalah diantara kita hanya itu.”

“Dan itu yang terbesar, Jo.”

“Yah begitulah. Aku takut, semakin kita tidak mengindahkan masalah ini, semakin aku bertambah sayang pada kamu, dan semakin aku akan membuat hubungan ini menjadi penderitaan.”

“Maksudmu, Jo?”

“Yah, kalaulah kita menikmati kebersamaan kita, di saat sebenarnya kita tidak bisa bersatu. Pada akhirnya kita akan berpisah kan? Kalau itu terjadi nanti, ehm, akan sangat jauh lebih susah untuk melepaskanmu Ras.”

“Hmmmm, satu tembok ya Jo. Tapi memang terlalu tinggi.”

“Ini berat, Ras. Tapi akan jauh lebih baik buatmu. Memang sebaiknya kita berpisah.”

Raras terdiam, pandangnya masih di tempat yang sama. Nasi goreng sapi yang biasanya lahap disantapnya, kali ini terdiam manis dan malah digapai lalat.

“Mungkin memang begitu Jo. Setidaknya kita masih bisa menjadi teman yang baik.”

“Itu pasti, Ras. Kamu pasti akan jadi teman terbaikku.”

“Cinta itu ya begini kali Jo. Menggelitik. Bikin aku jatuh cinta pada kamu, tapi dengan pandainya membuat kita tidak bisa saling memiliki.”

“Mungkin iya, Ras. Sukanya main-main.”

“Atau mungkin kita yang mempermainkannya, Jo?”

Giliran aku yang terdiam. Bahwa tembok ini sudah aku tahu dari awal, dan tetap aku anggap tiada. Hingga kemudian aku sadar bahwa tembok ini ada dan nyata, tertulis jelas di KTP bahkan.

“Yah, mari kita lanjutkan hidup kita Ras. Pasti ke depan akan lebih baik.”

Aku menutup perpisahan di malam itu dengan mengalihkan pandangan ke nasi goreng sapi di depanku. Kutolehkan kepalaku sekejap, sebuah senyum manis Raras terkembang disana. Ah, senyum itu, masih sama dengan senyum yang membuatku jatuh hati padanya.

* * *

Langkahku masih sendirian saja, tidak akan yang menemani. Sebuah pertemuan, dan permainan yang aku ciptakan sendiri, lantas diakhiri dengan perpisahan yang juga aku buat sendiri. Semuanya terkuak di depan mata.

Dasar pengamen di sebelah ini tahu saja.

“… katamu hadirkan senyummu abadi..”

Raras, senyummu pasti abadi dalam hidupku. Selamanya.

* * *

Sebuah interpretasi dari lagu Jogjakarta-nya KLA Project.

Batik, Dari Pengantar Tidur Sampai Panggung Pentas

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya.
Indonesia sejak dulu kala, slalu di puja puja bangsa.

Hey! Lagu itu jadi pengantar di company profile tempat saya bekerja sekarang. Kenapa? Kantor saya mengabdikan diri dalam penelitian obat yang berbasis bahan alam Indonesia. Jadi, agak pantas kalau pakai lagu itu. Dan menyoal pusaka abadi nan jaya, selain tanaman obat, ada sebuah benda lain bernama Batik Indonesia.

Batik, sejatinya identik dengan Jawa. Itu perspektif saya jaman kecil. Harap maklum, saya besar di Bukittinggi yang kental Minangkabau sangat. Disana ada seni tersendiri soal kain-kainan. Keunikan Indonesia, sungguh kaya.

Kenapa lantas identik, karena bapak saya dari Jawa dan segala selendang yang ada memang didatangkan dari Jawa alias bekas pakainya Mbah Putri saya. Kalau dari mamak saya, ada yang namanya Ulos. Jadi, saya zaman kecil bergaul dengan dua jenis kain-kainan bernama batik dan ulos 🙂

Dan selendang batik yang jelas-jelas adalah batik Indonesia adalah pengantar tidur saya jaman dahulu kala. Eh, bukan. Itu tempat tidur saya! Sudah jamak dimana-mana, selendang dengan motif batik digantung di dua sisi sekuat-kuatnya dan memuat sesosok bayi mungil harapan bangsa yang susah tidur di dalamnya. Bayi dan selendang batik itu digoyang sampai akhirnya terlelap.

Adakah dari antara pembaca yang masa kecilnya demikian? Seru yak!

Dan saya lantas menjadi tukang dorong ayun batik untuk adik bungsu saya.

Batik juga jadi motif mendasar selendang ibu-ibu membawa anak, JAUH sebelum sesuatu bernama HOLDER muncul di Indonesia Raya tercinta ini. Maka, anak-anak pastinya akrab dengan motif batik Indonesia lewat selendang mereka. Yah, walaupun pada akhirnya malah dipakai untuk sarana ekskresi. Sayangnya.

Batik di Indonesia tidak sebatas itu saja. Ketika saya beranjak dewasa, mulai deh batik dipakai lagi. Pertama kali saya pakai batik (lagi) adalah waktu jadi Juara 3 Lomba Penulisan Hari Ozon 2003. Dengan batiknya Mbah Kakung, celana kain punya bapak waktu muda, plus sepatu kets. Sungguh sangat tidak nyambung batik itu pada saya. Nggak apa-apa, setidaknya batik Mbah Kakung bisa jalan-jalan ke Bidakara 🙂

Lalu saya dan batik menjadi akrab waktu kuliah. Lewat ajang dan event bernama paduan suara, saya mendapatkan sebuah baju batik gratis. Bagi anak muda labil, gratis itu mempesona. Batik ini menjadi kostum wajib kala melakoni tugas-tugas menyanyi di ajang pelepasan wisuda atau sumpahan apoteker.

Tampaklah, bahwa batik Indonesia sejauh saya ikut mengenakan, ada penyerta dalam setiap kesempatan budaya, dalam hal ini menyanyi.

Terus beranjak ke dunia kerja, akhirnya saya memperoleh baju batik paling mantap sepanjang hayat saya. Jadi ceritanya, dalam rangka ulang tahun perusahaan, saya disuruh ikut ke Jakarta dari Palembang, menyanyi di kantor pusat, di sebuah tempat yang mirip Teater.

Rasanya, tak terlukiskan.

Batiknya memang berbeda-beda, tapi sebuah warisan bernama batik Indonesia itu sudah menemani saya dari ayunan sampai ke panggung yang megah. Batik yang sama pula yang sejak dulu kala menjadi kekayaan bangsa dari waktu bangsa ini belum ada, sampai sekarang bisa tegar berdiri di kala krisis dunia dan isu-isu disparitas.

Maka, percayakah teman-teman sekalian bahwa batik ini kekayaan?

Bahwa menggunakan batik Indonesia adalah kebanggaan untuknya diterapkan di kantor saya sekarang dengan 1 hari khusus batik. Setidaknya, menurut saya, hal ini bisa mengingatkan kita semua bahwa bangsa yang besar ini punya warisan yang besar, yang menemani dari jaman lahir sampai besar dan penuh karya.

Kita sekalian, yang dari kecil ditemani batik, pastinya akan tetap dalam naungan batik Indonesia kan? Biarlah batik menjadi teman kita bertumbuh besar, karena dia adalah warisan yang sangat berharga.

Salam Batik!

Tulisan ini disertakan pada lomba Blog Entry bertema Batik Indonesia, kerja sama Blogfam dan www.BatikIndonesia.com

 

Cinta Diam-Diam

Jemari kokoh dengan lengan berbulu, berbalut arloji mahal merk Alba, menari indah di atas keyboard. Tampak jelas di layar monitor bahwa waktu sudah menujukkan jam 12.07 AM alias tengah malam. Segelas kopi yang telah menjelma dari kopi panas menjadi es kopi masih tergeletak manis di sisi kiri layar monitor. Setumpuk dokumen tampak di sisi sebaliknya. Sesekali terdengar bunyi klik.

Jam yang tidak logis untuk menarikan jemari apalagi dilakukan di sebuah meja kerja, dengan seragam rapi, masih berbalut dasi, pun sepatu masih pantofel. Ini di kantor. Jam 12 malam, di kantor, sungguh sebuah perpaduan romansa cinta, wajib, dan terpaksa.

Dear Pak Wiryono,

Terlampir saya kirimkan draft Master Planning dengan perhitungan kapasitas sesuai remark meeting hari ini. Mohon dapat direview.

Terima kasih atas perhatiannya.

Best Regards,
Axel Ricardini

“Done! Hufftttt..,” teriak Axel, si pemilik jemari berbulu yang menari tadi. Tak masalah baginya berteriak-teriak jam segini. Tidak akan ada yang mendengar. Paling mentok satpam di depan, itupun paling lagi bobo juga. Yang paling logis untuk ikut mengikuti teriakan Axel adalah tikus-tikus yang nongol di malam hari. Makhluk hidup yang semacam makhluk gaib karena masih tampil eksis di sekitar kantor meski pest control sudah diterapkan di kantor.

Kantung matanya sudah semacam pemimpin terkemuka. Lama-kelamaan properti itu sudah tidak bernama kantung lagi, tapi karung. Yak, sebut saja karung mata. Kekayaannya itu jelas memperlihatkan bahwa Axel sudah sangat-sangat mengantuk.

“Ah, jumat ini. Besok libur juga,” gumam Axel di sela keheningan malam. Dalam posisi begini, Axel memang sering melakukan monolog dengan berbagai alasan. Salah satunya tentu untuk membunuh sepi karena playlist lagu-lagu di laptopnya sudah membentuk paham monotonisme. Namanya juga laptop kantor, setiap data yang masuk banyak tetek bengek yang harus dipenuhi. Walhasil, Axel menjadi malas dan menerima apa adanya file yang tersimpan di laptop turunan dari pejabat Demand Planning Supervisor sebelumnya.

Dan tampaknya DP Spv itu galau. Bisa dilihat dari pilihan lagu-lagunya.

Bila Rasaku Ini Rasamu
Demi Cinta
Harusnya Kau Pilih Aku
Tegar
Cemburu

Yah, lagu-lagu getirnya cinta. Dan entah mengapa dan bagaimana, kompilasi lagu itu menjadi pas, cocok, dan sesuai untuk kondisi kejiwaan Axel ketika masuk ke kantor barunya ini.

Axel adalah petualang cinta sejati. Tak hanya cinta dengan lawan jenis, namun cinta terhadap employer. Total, dalam 5 tahun kerja dari level bawah selepas lulus S1, Axel sudah berada di 4 perusahaan. Ya, kira-kira setiap tahun 1. Artinya lagi, sepanjang kerja, Axel belum pernah menikmati indahnya hak cuti. Ya tentu saja, ketika sudah tiba waktunya mendapat hak cuti, Axel malah minggat ke perusahaan lain dan memulai kembali dari nol.

Bagi Axel, hidup itu tidak bisa monoton. Setiap pekerjaan dilakoni sebagai proyek, karena dia terbiasa berpikir demikian ketika kuliah. Di dunia kerja yang keras, kualitas orang yang dibutuhkan, kesetiaan? Ah, itu menyesuaikan. Orang yang sudah puluhan tahun kerja di sebuah perusahaan saja bisa pindah haluan. Ada juga yang pindah kesana kemari lalu kembali lagi. Nggak ada yang salah soal itu.

Mouse yang tampaknya juga sudah mengantuk itu masih dipaksa untuk melakoni kegiatan. Kali ini yang dibuka halaman-halaman media sosial, Facebook, Twitter, dan Koprol. Axel juga membawa mouse tua sisa pendahulunya itu membuka tab-tab WordPress, Blogspot, dan Tumblr.

Satu hal yang selalu menjadi pertanyaan mendasar Axel ketika membuka akun Facebooknya. Dia punya teman FB sebanyak 1291, tapi ketika giliran membuka timeline, di bagian kanan atas tempat foto 8 orang teman yang terpilih, selalu muncul orang yang itu-itu saja. Masak sih FB tidak bisa membuat random yang sebenarnya random? Sebenarnya sih, yang lebih mengusik Axel adalah nongolnya foto dan nama akun Dara Milyana. Mengusik sesi 1 karena setiap kali refresh timeline, 7 teman lain berubah tapi Dara tetap. Mengusik sesi 2 adalah karena gadis itu sudah berusaha direfresh berkali-kali dari hati Axel, dan nggak pergi-pergi.

Hasil permenungan Axel adalah, gagal refresh merupakan manifestasi cinta diam-diam. Perihal cinta diam-diam tentu nggak bisa pakai terminologi move on, karena cinta diam-diam tidak mengenal move. Be silent, observe, and hurt. Cinta diam-diam ya sesederhana itu.

Jemari lemas Axel memandangi foto sampul Dara, lanjut ke foto profilnya, diteruskan dengan memantau posting satu demi satu. Entah wall post, entah status. Selalu semacam inilah Axel. Padahal dia sendiri tahu, bahwa Dara adalah gadis yang penuh kedalaman. Apa yang dia tulis di FB hanyalah bagian kecil dari kehidupannya. Artinya? Cek FB tidak berdampak signifikan.

Axel hanya kangen pada Dara. Dan cara itu adalah satu-satunya bentuk penghapus rindu.

Jam 1. Kantor sudah benar-benar sepi. Axel menutup laptopnya dan bergegas pergi tanpa peduli pada es kopi dan tumpukan dokumen di sekitarnya. Dia lelah.

Senin pagi.

Kata Coach Rene, kalau Senin pagi membuat anda hendak masuk sumur saja, itu berarti anda tidak menikmati pekerjaan. Untunglah, Axel tidak demikian. Dia memang ngantuk, tapi itu wajar untuk senin pagi. Ngantuk tidak relevan dengan pola pikir. Dalam kantuk-pun, Axel masih bisa bekerja.

Masalahnya, hari ini Axel bukan hendak kerja, tapi ada jadwal seminar. Uang perusahaan berjuta-juta terhampar untuk membawa Axel ke seminar, dan kemudian dibalas dengan kantuk sepanjang seminar? Sungguh bukan Axel.

Maka peraduan pagi itu adalah kopi.

Penyelenggara seminar sudah cukup biasa tampaknya. Terbukti dengan sepagi ini, coffee break sudah tersedia dengan damai. Axel membawa goodie bag berisi materi seminar plus beberapa cendera mata. Matanya sudah menagih kafein sebagai syarat untuk tetap menyala sepanjang hari.

Gelas elit sudah ada dalam genggaman Axel. Gula dalam porsi wajar sudah masuk, pun dengan sedikit krimer. Menu dasar untuk acara coffee break, yang sudah ada sebelum acara. Aneh ya, acara belum mulai, kok udah break?

Axel tertunduk sambil mengaduk kopinya. Aroma kopi di pagi hari itu sudah cukup untuk menggugah suasana tubuh untuk sirkulasi biologis yang lebih baik. Dalam kondisi tertunduk pula, mata Axel menemukan diksi yang tiada asing tertulis pada sebuah call card yang terletak di atas meja kopi.

Dara M.

Ini Dara?

Wajahnya mendongak, melihat ke sekeliling. Paras cantik itu mestinya tidak akan sulit ditemukan, apalagi di tempat semacam ini. Tapi Axel juga memposisikan diri untuk tidak berharap lebih. Terkadang, berharap lebih itu bisa sakit, apalagi dalam terminologi cinta diam-diam.

“Xel!”

Suara paling merdu sedunia itu membuat kaget. Kemerduan suaranya saja sudah bikin kaget, ditambah intonasinya memang ditujukan untuk mengagetkan. Axel sontak berbalik. Dan benarlah, keindahan diam-diam itu ada di depan mata. Dara.

“Heyyy.. Ikut ini juga to?”

“Yoilah. Kalau nggak ngapain aku kesini, Xel.”

“Haha. Iya juga. Masih di tempat lama, Ra?”

“Masihlah. Aku kan setia.”

Aku juga setia loh, pada cinta diam-diamku untukmu, batin Axel. Tentunya sebatas batin, karena kalimat itu akan tampak absurd kalau terungkap dengan jelas.

“Udah supervisor dong?”

“Ya, begitulah. Aku ya nggak terima kalau udah kerja segini lama masih gitu-gitu aja. Kamu?”

“Ya sama kalau gitu. Artinya kita sama-sama supervisor. Hehe.”

“Pastinya gajinya beda. Axel kan pakar bidang forecasting. Ini kata bosku loh.”

“Bosmu siapa?”

“Pak Alef. Katanya kemarin ketemu Axel Ricardini waktu training Manajemen Operasi.”

“Oh, Pak Alef bosmu to? Tahu gitu tak akrabin lagi kemarin. Hehehe..”

“Bisa aja kamu, Xel. Ayo sambil masuk aja deh. Udah lama nggak cerita-cerita kita.”

Udah lama aku ingin saat-saat ini, Dara. Untaian kata-kata itu masih stuck di otak Axel saja.

Axel dan cinta diam-diamnya, Dara, sudah duduk manis di dalam ruang seminar. MateriVendor Managed Inventory menjadi topik besar hari ini. Axel sendiri sejatinya malas, karena menurutnya ada banyak metode lain yang secara komunikasi lebih simpel alih-alih VMI. Tapi kalau bos sudah nyuruh, mau apa?

“Eh, bukannya kamu dulu di Jakarta, Xel?”

“Iya. Ini kan baru pindah.”

“Pindah? Udah berapa kali?”

“Hahahaha.. Aku tukang pindah kok, Ra. Terakhir di Bandung, baru pindah kesini.”

“Gila..”

“Mencari yang terbaiklah.”

“Udah nemu?”

Ini di depan mataku, batin Axel. “Ya dalam proses. Masih mencoba menemukan, ” ujar Axel dengan pilihan kata yang tidak berkoneksi relevan dengan yang sejatinya hendak keluar.

Seminar dimulai tepat pukul 9, bagus untuk ukuran Indonesia yang suka molor. Mungkin karena orang yang ikut disini adalah pesohor rantai pasokan yang jelas taat waktu. Bagaimanapun waktu dan kejar-kejaran adalah sebagian dari iman orang rantai pasokan. Diakui atau tidak.

Axel tidak fokus sempurna. Teori VMI masuk ke kepala dan berbaur dengan kisah cinta diam-diam-nya dengan teman lamanya, yang sekarang persis ada di sebelahnya. Aih, indah dan penuh dilema.

“By the way, udah married, Ra?” tanya Axel. Sebuah pertanyaan mendasar untuk memastikan. Sebenarnya di Facebook tidak tampak tendensi Dara menikah, meski statusnya disembunyikan. Pertanyaan mendasar yang butuh keberanian tingkat delapan untuk melontarkannya. Tapi masih dapat konteks ketika coffee break.

“Aih, bukannya kamu? Aku mah masih gini-gini aja, Xel. Masih mencari yang bisa dicintai sekaligus dimiliki.”

“Kayak pernah denger. Dimana ya, Ra?”

“Ah masak?”

Itu kan statusmu tiga hari yang lalu, teriak batin Axel. Kali ini hendak keluar, masih tercekat di esofagus.

“Mungkin dari tivi kali ya..” Axel akhirnya berusaha ngeles.

“Wah, setahuku, itu kata-kataku. Tivi nyontek dong.” Dara berkata-kata dalam keindahan paras, kesempurnaan senyum, dan kepenuhan cinta diam-diam Axel. Kombinasi letal penuh dilema. Apalagi ditutup dengan bubarnya break.

Materi VMI kembali masih ke otak para peserta, termasuk Axel. Teori dan contoh praktek terpapar satu per satu, termasuk bagaimana mengelola komunikasi tentang stok yang harus ada di vendor, termasuk pula problem yang mungkin terjadi dalam pelayanan material, termasuk juga soal terminologi pembayaran dan kontrol kualitas. Penuh pokoknya.

Dan karena penuh itu, mendadak Axel punya ide.

Makan siang.

Sapi lada hitam adalah menu populer di hotel tempat seminar digelar. Axel dan Dara, sebagai kawan lama, memilih makan berdua, di tepi kolam, sambil melihat bule gendut berbulu berenang. Ah, nggak ada penambah nafsu makan bentuk lain?

“Ra, kayaknya aku punya contoh model VMI yang paling gampang,” kata Axel sambil mengiris sapi lada hitamnya.

“Apaan tuh?”

“Tadi kan katanya, vendor mengetahui stok di pabrik, dan sebaliknya.”

“Iya, terus?”

“Nah, anggap kamu pabrik, aku vendor. Kamu boleh tahu stok cintaku padamu.”

“Heh?” Dara melongo.

“Terus tadi katanya, pabrik bisa melakukan permintaan sesukanya. Nah, kamu silahkan meminta cintaku sesukamu. Dan terakhir, vendor harus memastikan kalau stok nggak akan habis saat pabrik membutuhkan. Tenang saja, akan selalu ada cinta untukmu.”

Dara masih melongo.

“Ra?”

“Ehm… itu tadi apaan ya, Xel?”

“Anggap saja aplikasi training, merangkap katakan cinta.”

“Hah? Perasaan kita baru ketemu lagi?”

“Tapi perasaanku ke kamu sudah dari jaman nggak enak, Ra.”

“Ohhh.. so?”

“Ya terserah sih. Tadi kan cuma ngomong doang.”

“Tidak berharap komen kan?”

“Ya kalau ada komennya, lebih baik sih, ” kata Axel sambil nyengir.

“Hmmm.. aku pikir dulu deh komennya, harus dijawab pakai teori VMI juga nih. Hehe..”

Dara tersenyum, Axel tersenyum.Mungkin, sapi lada hitam juga ikut tersenyum.

Bagian terbaik dari cinta diam-diam adalah ketika dia diungkapkan.

 

Bolat

Jam 3 pagi, seisi bus sudah ngorok semua. Malah ada yang sampai mengalahkan suara desir AC. Mungkin sebelum berangkat tadi, bapak yang di belakang sono makan mikrofon. Abis ngoroknya kenceng banget.

Yana sebenarnya masih hendak terkantuk-kantuk. Sejak Jakarta, dia cuma tidur dari Cikarang ke Cikampek. Begitu Cikampek sampai Weleri matanya terang benderang. Meskipun dia sudah menarik selimut dan berusaha menutup mata, yang ada malah bayangan mesum. Huyyy, ngelamun jorok tidak diperkenankan dilakukan di atas bus. Dampak tidak ditanggung.

Dan sekarang Yana ngantuk pakai banget alias ngantuk banget. Dia ngantuk pada saat yang tepat, di jalan tol Semarang. Tepat sekali karena di ujung tol ini, Yana akan turun. Jadi tepat kan? Tepat ketika Yana turun, maka dia akan tertidur pulas di pinggir trotoar. Ingat, ini jam 3 pagi.

Takut akan terlelap di trotoar atau kebablasan, Yana menguat-nguatkan matanya. Mulai dari mengoles balsem, sampai dengan makan balsem. Harap dimaklumi, dia hanya punya balsem. Ehm, sebenarnya ada dua, balsem dan cinta. Yak betul, Yana hanya punya dua itu.

Tol yang baru tapi semacam tidak baru itu sudah mendekati ujung, Yana berdiri dan beranjak maju ke depan. Ya iyalah, mana ada maju ke belakang?

Bus keluar pintu tol, tak jauh dari situ, ada swalayan ADA. Ya memang ADA swalayan kok, beneran deh. Ini memang ADA, jadi nggak mengada-ada.

Di seberang swalayan itu, Yana turun.

Ini jam 3 pagi dan Semarang baru mulai menyalakan hidupnya. Aktivitas manusia menuju pasar di daerah Banyumanik mulai bergerak. Lampu-lampu menyala terang.

Masalah besar hari ini bagi Yana, hotelnya dimana yak?

Yana ini macam hendak backpacker, jadi dia sudah cari referensi macem-macem dan memilih hotel di Jalan Setiabudi. Nah, menurut googlemap dan tanya-tanya loket bus, pilihan paling oke adalah turun di ADA. Ya itu tadi, beneran ADA ini swalayannya.

Smartphone-nya lantas keluar dari sarangnya. Agak beresiko sih mengeluarkan benda yang dibeli pakai uang ikutan arisan ibu-ibu tetangga, di malam yang sesunyi ini. Padahal kan Yana sendiri, tiada yang menemani. Akhirnya Yana sadar bahwa barusan ini mirip lagu ‘Kisah Cintaku’.

Bateraipun tinggal setengah, dan Yana melupakan kebutuhan primer nomor 4 sesudah sandang, pangan, dan papan, yakni charger. Apalagi, menyalakan GPS sama saja dengan membunuh smartphone-nya lebih cepat karena pemakaian daya karena GPS sungguh sangat mempersona.

Mau tidak mau GPS dinyalakan.

2 km.
Sebuah profil yang cukup nanggung. Ya di pagi buta belum subuh, Yana harus berjalan 2 kilometer atau diam di tempat sampai ada kendaraan pengangkut. Mungkin bisa serupa truk sayur. Sungguh indah menumpang truk sayur lalu check in di hotel. Tampak bahwa ironi kehidupan itu bisa muncul pada saat yang sama.

Mengingat itu tadi, Yana hanya punya balsem dan cinta, maka dia memilih untuk berjalan kaki saja. Toh, kalau pegal, kan ada balsem. Apa susahnya?

Yana berjalan menyusuri jalan di depan ADA, terus ke utara. Gelap masih mendominasi, maklum, subuh saja belum. Yana asyik melihat bintang-bintang bercengkrama di langit, tikus-tikus berkelana dari got ke got, dan coro-coro menikmati hidup kotornya. Tentunya tetap waspada. Baik waspada kemalingan hingga waspada disangka maling. Jaket hitam, celana hitam, baju hitam, tas besar yang juga hitam plus kulit hitam tentu identik dengan maling. Mana ini jam belum subuh pula. Ngapain ada pria yang sepenuhnya hitam jalan-jalan sebelum subuh? Lebih banyak logika pembenaran bahwa Yana maling alih-alih calon menginap di hotel.

Jalannya perlahan sekali sambil menikmati dan memotret jejak-jejak malam, sehingga 1 jam hanya dapat beberapa ratus meter. Persis ketika keramaian mulai tampak, Yana mendapati penampakan lain.

“Semacam Rida..,” gumam Yana, “kenapa bisa nongol disini?”

Yana tercekat, lamunannya melayang ke masa lima tahun silam. Ehm, maksudnya, dari lima tahun yang lalu sampai beberapa waktu silam. Sebuah durasi panjang Yana untuk menjalani ketololan terbesar dalam hidup, mencintai tanpa tendensi memiliki. Dan Rida adalah gadis yang dicintainya itu.

Logika Yana mulai berjalan, berlompatan satu persatu. Di suasana pagi buta dan kantuk, namanya lamunan bisa tampak realistis, atau kalau tidak ya ini makhluk semacam jadi-jadian. Siapa yang tahu?

Batin Yana masih menolak fakta bahwa gadis yang sedang lari pagi itu adalah Rida. Nggak mungkin, katanya begitu.

Tapi fisik Yana tak peduli sama perintah otak. Soalnya, hati kali ini menang. Dia menggerakkan tubuh Yana kencang, setengah berlari, separuh melompat, dan sesekali berputar. Macam balet saja.

Pertama, pastikan dulu ini manusia. Yana mengamati langkah demi langkah gadis yang lari pagi dan yakin bahwa itu beneran manusia.

Kedua, pastikan orangnya benar. Nah ini susah. Manusia itu ada-ada aja. Dia pernah ngawur menyapa orang gara-gara mirip, Yana kenal di Bogor, nyapa orang di Palembang. Hemmmm..

Yana lantas mengejar perlahan, mengamati detail gadis pelari pagi itu. Matahari masih mengintip malu-malu sehingga tahi lalat di pipi kanan yang menjadi identitas Rida, tidak kelihatan. Sayang ya, coba tahi lalat itu bisa berflourensensi, kan jelas bercahaya.

Maka tidak akan ada orang yang berani ronda kalau begitu.

Tidak ketemu cara, Yana akhirnya nekat.

“Ridaaa…” setengah berteriak, Yana memanggil gadis pelari pagi. Kalau stop berarti bener, kalau lanjut berarti bukan. Beres.

Gadis pelari pagi tidak berhenti, masih lanjut saja.

“Oh, bukan.. hehehe..” gumam Yana sambil memuluk jidatnya.

Posisi orang mukul jidat itu biasanya melihat ke bawah, Yana juga demikian. Sambil senyum-senyum macam orang gila, pun dengan Yana. Sampai dia nggak lihat di depannya ada orang.

“Yana?” suara lembut manis yang Yana sangat hafal nada dasarnya.

Yana mengangkat pandangannya, lurus, dan ada gadis pelari pagi. Hemmm..

“Rida?”

“Ngapain nyasar kesini Yan?”

“Biasa.. Bolang, bocah ilang.. Lha ini ada gadis cantik lari pagi-pagi, maksudnya apa?”

“Nggak lihat nih kentongan maling. Uda kayak kakinya SNSD,” ujar Rida sambil memperlihatkan lengannya.

“Hahahaha.. perut pasti menyesuaikan..”

“Dasarrrrr…”

“Emang sekarang disini ya?”

“Iya, itu di seberang masuk dikit belok kiri. Masih buruh gitulah..”

“Sama kali.. Sesama kaum buruh..”

Nostalgia cinta tanpa tendensi memiliki itu pahit. Yana masih memandang dengan kekaguman yang besar dan dengan jarak yang jauh untuk dapat memiliki keindahan di depan matanya. Termasuk kentongan maling itu tadi, pasti itu kentongan terindah yang pernah ada di dunia.

Obrolan merangsek jauh. Macam Barcelona memainkan tiki taka, maka bola dan obrolannya sudah kemana-mana.

“Jadinya, sama yang itu nggak?” tanya Rida.

“Hahaha.. Bubarrr.. Bubar jajan..”

“Kok bisa?”

“Ya bisa, kan pelik pakai K.”

“Huuu.. Saru… Trus single dong Yan?”

“Ya begitulah. Kenyataan kadang pahit. Lha kamu?”

“Ya beginilah..”

“Jiahh.. tiru-tiru..”

“Hehehe.. Masih kayak biasa.”

“Pasti isu lawas. Kamu pasti terlalu memilih. Nggak berubah dari jaman batu non?”

“Dari jaman kuda gigit besi sampai besi gigit kuda. That’s me Yana..”

“Ya, ya.. bisa dipahami. Aku kan sangat paham kamu Rid. Apa sih yang aku nggak tahu soal kamu?”

“Lha itu tadi nanya?”

“Anggap saja retorika. Hehehe..”

Yana menikmati percakapan indah itu, sampai mentari menjelang naik. Kantung mata Yana sudah semacam Pak Bueye. Maklum, nggak bobok dari Cikampek sampai ke ADA.

Dan tiba-tiba, dalam obrolan sambil jalan itu, di sebuah mobil yang berhenti, Yana mendengar sebuah lagu.

“Kalau cinta ya bilang cinta
Kalau sayang bilang-bilang sayang
Jangan ditunda-tunda
Nanti diambil orang.”

Penta Boyz. Haishhh.. Kenapa nongol di saat semacam ini? Yana mendadak menggelegak hendak meledak. There is something to explode.

“Rid..”

“Hmm..”

“Kenapa kamu jatuh cinta?”

“Pada?”

“Ya, pada siapa aja..”

“Nggak tahu, kalau hatiku sreg, ya jatuh deh..”

“Pernah nggak jatuh cinta dari pendengaran pertama?”

“Apaan tuh Yan? Pandangan pertama kali..”

“Serius kali Rid, aku pernah jatuh cinta pada pendengaran pertama. Baru denger namanya, udah jatuh cinta. Klepek pokoknya,” urai Yana.

Rida tersenyum dan berkata, “Ada-ada aja.. Kapan? Dulu jaman SD?”

“Ya, beberapa waktu silam lah. Dan aku lengkapi dengan keindahan bercinta lho..”

“Apa lagi nih?”

“Jatuh cinta tanpa tendensi memiliki. Hehehe.. Seru kan?”

“Ngeri. Apaan cinta trus nggak memiliki?” protes Rida.

“Yah, sampai pada titik tertentu, itu indah Rid. Sampai pada titik tertentu lho..”

“Aku masih nggak paham. Agak absurd kamu Yan. Pasti gadisnya istimewa banget tuh..”

“Tentu. Mana ada orang berpikir dan merasa gitu kalau bukan untuk orang istimewa?”

“Sure.”

“Titik itu menjadi nggak indah, ketika tendensi memiliki itu nongol. Dari mana, dari hasil pengamatan bertahun-tahun pastinya. Jatuh cinta biasa, tapi kalau ketemu sifat dan sikap yang oke dan prinsipil, baru deh ada rasa ingin memiliki.”

“Misal?”

“Simple, Rid. Misal hobi ternyata sama. Visi hidup juga sama. Banyaklah. Kalau kamu?”

“Aku mah simpel Yan. Nggak kayak kamu. Aku mau memiliki yang aku cintai.”

“Sekarang pun aku begitu, Rid. Rasa itu udah nggak ketahan lagi.”

“Ungkapin dong. Keburu diembat orang.. Galau lagi ntar..”

“Hahaha.. Bisa aja. But, it’s serious. Bagaimana kalau orang yang aku kisahkan panjang lebar itu tadi adalah kamu?”

“Maksudnya, Yan?”

Bahwa wanita itu sukanya yang pasti-pasti aja, tapi nggak suka membuatnya pasti-pasti aja. Penyakit zaman kalau ini.

“Oke, diperjelas. Semuanya yang tadi, tentang cinta, memiliki, dan semuanya. Kamu gadis yang aku cinta sejak pertama kali mendengar namanya.”

Rida diam. Seribu satu bahasa. Seribunya diam, satunya helaan nafas.

“Hihihi.. Ngobrol pagi buta, aku malah jadi nembak orang deh..” Yana langsung garuk-garuk kepala. Kutu berserakan, coro juga. Itu rambut atau selokan?

“Sebenarnya masih sulit Yan. Sudah lebih dari setahun berjuang. Ampun-ampun dah.”

“It’s oke Rid. Aku tahu itu kok. Sesulit aku melupakanmu dan gagal. Hehe..”

“Hihihi.. Ya.. ya.. bisa dimengerti. Tapi apa kamu yakin Yan? Gimana kalau pandangan kamu selama ini tentang aku salah?”

“Heyyy Rid. Aku memantau kamu itu bukan sebulan dua bulan. Lima tahun lebih. Masak ya salah?”

“I’m deep, Yan.”

“Tentu saja. Supaya aku tahu, aku harus mencoba memilikimu dulu. Kan gitu biar tahu kamu sedalam apa. Paling juga kalah sama dalamnya cintaku padamu.”

“Malah gombal..”

“So?”

“Hmmm.. OK, let’s try. Kadang kita nggak tahu kalau nggak dicoba. Tapi, bantu aku meyakinkan jawaban ini ya..”

“Dengan senang hati tuan putriku. Aih, dari dulu aku pengen manggil kamu begini.”

“Hehehe.. Jadi kamu dulu sama si dia itu, sayang bener apa nggak?”

“Halah, malah diungkit. Bagaimana tuan putriku ini. Kan tadi aku udah bilang, aku cinta kamu tanpa tendensi memiliki. Jadinya aku nyari yang bisa dimiliki. Eh, kok ya ternyata hati ini nggak bisa dilawan. Bubar juga. Hehe..”

“Dasarrrrr…”

Semarang sudah terang. Percakapan panjang lebar di pagi hari. Aneh kalau orang lihat, bayangkan seonggok hitam yang macam maling dengan kantong mata macam Pak Bueye berjalan bersama gadis cantik dengan pose jogging. It’s about black and white. Macam Yin dan Yang, di dalam putih ada hitam, dan sebaliknya.

“Jadi aku ini bukan bolang lagi Rida,” kata Yana sambil menyambar tangan halus pacar barunya itu.

“Apaan dong?” tanya Rida sambil mengeratkan genggaman baru itu.

“Bolat. Bocah ilang mencari cinta. Hehehehe..”

“Ngawurrrr..”

Tawa lepas ke udara, sepasang keceriaan ikut menghangatkan pagi hari. Keceriaan yang bermula dan berakhir pada satu kata, cinta.

 

Menjalani Hidup Itu Seperti Lewat Batu Lubang

Teman-teman tahu Batu Lubang?

Kalau nggak tahu, saya kasih tahu, soalnya saya juga baru tahu. Hehehe.. Batu lubang ini adalah sebuah tempat di jalan Tarutung-Sibolga, Sumatera Utara. Ini khas Sumatera banget karena bisa dibilang menjadi penanda berakhirnya jalan kelok-kelok setengah mati dari Tarutung ke Sibolga. Yah, jalan Tarutung ke Sibolga itu kayaknya nggak ada yang lurus. Berkelok melulu.

Batu lubang ini konon adalah batu yang dilubangi oleh pemerintah kolonial dengan “bantuan” warga lokal secara rodi. Bayangkan ngeruk batu? Waw… Pasti melelahkan. Dan kabarnya banyak yang tewas selama proses pembuatan. Mayatnya dibuang dimana? Di jurang, persis di sebelah jalan. Dan ada 2 lho. Jadi ada 2 batu yang dilubangi, dan posisinya pas BELOKAN. Ngeri sak pole mbahe pokoknya.

Untung waktu itu yang bawa mobil Bapak Uda yang sudah fasih luar dalam jalanan situ.

Konon, kalau mau masuk lewat Batu Lubang kudu klakson dulu. Kalau nggak klakson bisa berhenti mendadak di tengah jalan dan mesin akan nyala dengan rokok yang dinyalakan sebagai penolak sial. Nggak percaya? Silahkan, tapi banyak buktinya. Logikanya sih sederhana, klakson dan lampu diperlukan. Ya iyalah, ini gelap pas tikungan pula, klakson jadi penanda bahwa mau lewat, jadi yang di seberang sana hati-hati. Itu kok.

Oke, kembali ke perspektif hidup ala lewat Batu Lubang.

Mau tahu jalannya? Ini dia.


Di depan itu adalah lubang yang pertama dari arah Tarutung ya. Hidup ini yang seperti itu. Maksudnya? Kita itu udah nyaman loh di jalanan sebelum lubang. Tapi kita harus maju untuk tujuan hidup kita. Kalau nggak maju? Diam aja deh di tengah hutan situ. Hehehe.. Klakson dan lampu perlu, kenapa? Dalam PERJALANAN HIDUP kita kan perlu PERSIAPAN.


Foto berikutnya adalah setelah keluar lubang pertama dan menuju lubang kedua. Dalam hidup? Yah, nggak selalu cahaya terang akan bermakna terang sebelum kita melaju. Bahwa mungkin masih ada gelap di depan. Cara menghadapinya? TERUSKAN perjalanan. So Simple! Kalau nggak, mau terjebak diantara dua lubang?


Foto diatas adalah pemandangan sungguh indah. Kenapa? Cercah cahaya itulah ujungnya. Gelap berakhir, dan terbit terang. Terang yang besar. Yang bisa dilalui pasca gelap. Dan ini gelap nggak enak loh. Di dalam lubang yang panjangnya sekitar 8 meter itu jalannya jelek karena kena tetesan air terus menerus.

Ya caranya harus begitu, teruskan perjalanan. Mau tahu yang kita peroleh kemudian?


Cahaya terang saudara-saudara! Foto di atas adalah lubang dilihat dari arah Sibolga. Ini akhir dari dua Batu Lubang. Dan jangan salah, di sebelah kanan ada AIR TERJUN yang sangat indah, tapi agak berbahaya karena langsung jurang. Hiii.. Ngeriiii….

Sedikit pelajaran yang saya dapat bahwa dalam HIDUP itu ada PERJALANAN, dan kita perlu PERSIAPAN, serta yang utama adalah MAJU TERUS, namun terkadang kita perlu BERHENTI untuk MENIKMATI capaian indah yang sudah kita peroleh.

Bukan begitu?

hehehe..