King Henry dan Monaco Yang Terlalu Sibuk Berbisnis

Marcus Lilian Thuram-Ulien berlari membelah lini pertahanan AS Monaco yang sepi. Sejurus kemudian, putra Prancis kelahiran Parma itu mendapat bola cantik dari Ludovic Blas yang mengelabuhi Giulian Biancone. Tidak ada Kamil Glik disana, pun Benoit Badiashile—sosok yang viral di video karena kena marah Thierry Henry akibat tidak membereskan kursi konferensi pers. Putra Lilian Thuram itupun kemudian memperdaya Diego Benaglio. Gol untuk En Avant de Guingamp.

Tujuh menit kemudian, dengan skema serangan balik yang serupa, Blas kembali mengirim bola cantik. Kali ini, Nolan Roux yang sukses membuat bola melewati Benaglio dan bersarang ke gawang. Dua untuk Guingamp, nol untuk AS Monaco yang merupakan tuan rumah dalam laga papan bawah tersebut. Guingamp, si juru kunci Ligue 1 yang sebelum ini hanya pernah menang sekali di kandang Angers SCO pada pekan ke-8, berhasil menghapus rekor buruk mereka.

Guingamp tetap di dasar klasemen, namun jarak dengan tim diatasnya tinggal sedikit. Ya, tim yang baru mereka taklukkan. Tim yang dua musim lalu adalah jawara Ligue 1. AS Monaco.

Kekalahan dari satu-satunya tim yang berkinerja lebih buruk dari mereka tersebut benar-benar menenggelamkan AS Monaco, tim yang gilang gemilang dalam urusan penjualan pemain di bursa transfer dua tahun belakangan. Kini, AS Monaco yang dua musim lalu adalah juara liga itu terjerembab di peringkat 2 dari bawah dengan 3 kemenangan, 4 imbang, dan 11 kekalahan. Mereka memang punya simpanan 1 laga tunda versus Nice—yang seharusnya bakal seru karena itu berarti Thierry Henry akan ketemu Patrick Vieira—tapi rasanya 1 laga tidaklah signifikan saat ini.

Sebagai gambaran, 11 kekalahan itu merupakan sudah lebih 1 dari total kekalahan yang mereka derita di Ligue 1 pada musim 2015/2016 dan 2016/2017 digabung. Bahkan, kalau merujuk ke era kejayaan rezim Leonardo Jardim, total kekalahan mereka di 2016/2017 dan 2017/2018 hanya 9 kali untuk dua musim sekaligus. Jadi kekalahan ke-11 hanya dari 18 pekan pertandingan itu sungguh betul-betul mengerikan.

Pada tahun 2010/2011 ketika terakhir kali AS Monaco terdegradasi, dalam semusim mereka juga hanya kalah 12 kali dalam semusim. Melihat buruknya performa AS Monaco kemarin, rasanya 1 kekalahan pasti akan diperoleh dalam waktu yang tidak lama. Mungkin akan langsung diperoleh kala melawat ke Marseille untuk membuka tahun 2019.

Terakhir kali AS Monaco tidak ada di 10 besar selepas akhir pekan ke-18 adalah pada tahun mereka terdegradasi. Ketika itu, bermodal 2 kemenangan dan 10 hasil imbang, AS Monaco nangkring di peringkat 18. Ya, masih 1 strip lebih baik dibandingkan AS Monaco musim ini.

Penampilan AS Monaco musim ini memang suram betul. Pasca meraih juara pada saat Paris Saint Germain nan kaya itu agak keteteran di musim perdana Unai Emery, AS Monaco tampak lebih seperti entitas bisnis alih-alih olahraga. Dalam dua musim terakhir, mereka mampu meraih lebih dari 400 juta Poundsterling hanya dari penjualan pemain! Tidak ada tim lain yang lebih untung daripada AS Monaco dalam 2 musim belakangan.

Penjualan Kylian Mbappe memang menyumbang porsi terbesar, kurang lebih sepertiga angka penjualan 2 musim terakhir. Namun dari daftar itu juga terselip Bernardo Silva, Tiemoue Bakayoko, Benjamin Mendy, hingga Fabinho yang dijual dengan harga sangat untung. Bahkan AS Monaco sempat-sempatnya menjual striker yang jarang benar dipakai, Guido Carillo, ke Southampton dan menjadi pembelian termahal sepanjang sejarah di tim semenjana itu.

Ketika pertama kali diambil alih oleh Dmitry Rybolovlev dan keluarganya, Monaco tampak akan menjadi tim serupa Chelsea-nya Roman Abramovich. Sesudah naik ke Ligue 1, Monaco mendatangkan nama besar seperti Radamel Falcao, James Rodriguez, hingga Joao Moutinho dan Geoffrey Kondogbia. Uang besar ini memang mendatangkan prestasi. Masih diasuh Claudio Ranieri, mereka meraih peringkat kedua dalam status sebagai tim promosi.

Sesudah itu, kursi pelatih diambil alih Jardim yang memang tampak cocok dengan ide bisnis Rybolovlev tapi prestasi tetap jalan. Empat musim Jardim mengasuh AS Monaco, mereka selalu berada di 3 besar dengan 1 kali juara Ligue 1. Prestasi yang betul-betul istimewa.

Model berdagang memang tampak jelas ketika Jardim menjabat. James yang kinclong di Piala Dunia 2014 langsung dilepas ke Real Madrid. Falcao yang psikisnya goyah karena cedera dipinjamkan ke Manchester United dengan fee setara dengan harga beli Tiemoue Bakayoko dari Stade Rennais ditambah sedikit. Betul-betul pintar jualan!

Sosok Jardim harus diakui mampu memberikan kestabilan pada Monaco meskipun setiap musim berganti pemain kunci. Lihat saja, sejak 2014/2015, Monaco telah melepas James dan Falcao. Musim berikutnya, Martial, Kondogbia, Layvin Kurzawa, dan Yannick Carrasco yang pergi. Paling dahsyat adalah musim 2017/2018 pasca juara. Mereka melepas Benjamin Mendy, Silva, Bakayoko, dan terutama Mbappe.

Sepandai-pandainya Jardim mengelola tim, pada akhirnya dia jatuh juga. Betul bahwa sepakbola itu soal datang dan pergi. Masalahnya, Monaco belakangan ini kehilangan kemampuan transfernya. Rekrutan mereka dua musim belakangan nyaris semua flop. Walhasil, sesudah 9 pekan musim ini berjalan, Jardim dipecat untuk digantikan oleh Henry.

Pemain termahal musim lalu yang digadang bisa menggantikan Mbappe, Keita Balde, gagal bersinar. Bintang muda Belgia, Youri Tielemans yang diharapkan menghapus jejak Bernardo Silva juga biasa saja. Terence Kongolo yang diangkut dari Feyenoord saat lagi jaya-jayanya juga tidak memberikan nilai tambah.

Yang lucu, pemain-pemain rekrutan musim lalu itu kebanyakan malah dijual untung oleh Monaco. Jadi, mereka benar-benar tidak menciptakan fondasi baru untuk tim. Lihat saja, Keita Balde dilepas dengan pinjaman seharga 4,5 juta Pound. Rachid Ghezzal yang didatangkan gratis, dilepas ke Leicester City di atas 10 juta Pound. Kongolo? Dilepas ke Huddersfield Town di Liga Inggris bersama Adama Diakhaby. Monaco untuk sekitar 5 juta Pound dari dua pemain ini. Penjualan itu di luar lepasnya para bintang seperti Thomas Lemar (Atletico Madrid), Joao Moutinho (Wolverhampton Wanderers), dan terutama Fabinho (Liverpool).

Pada musim yang suram ini, Monaco melengkapi diri dengan bintang Rusia di Piala Dunia 2018, Aleksandr Golovin. Datang juga sosok muda dalam diri Benjamin Henrichs dan Willem Geubbels. Sosok senior sendiri didapat Monaco dalam diri Nacer Chadli yang diangkut dari West Brom. Seharusnya, musim ini tidak buruk-buruk benar bagi Monaco.

Apa daya, tim ini telah benar-benar kehilangan pondasinya. Ibarat amblasnya jalan di Gubeng, kekuatan Monaco tidak kuat kalau dikeruk terus menerus hingga akhirnya jebol. Rupanya, kehilangan sosok Fabinho jadi cukup krusial. Musim lalu, dengan lepasnya Silva hingga Mbappe, Monaco masih bisa tetap kokoh dan masih jadi runner up. Kini, Kamil Glik (dan Diego Benaglio) benar-benar harus berjuang sendirian bersama bocah-bocah dalam formasi King Henry yang tampak frustasi dengan pemain-pemain lama seperti Jemerson dan Andrea Raggi.

Dalam laga versus Guingamp, Monaco memainkan Glik bersama Badiashile (17 tahun) di tengah. Biancone yang kena tipu bola cantik Blas itu juga baru 18 tahun. Henrichs sendiri baru 21 tahun dan itu lebih tua 3 tahun dari Sofiane Diop yang main di depannya pada sisi kiri lapangan Monaco. Sosok lain di tengah adalah Romain Faivre (20 tahun), Tielemans (21 tahun), dan Youssef Ait Bennasser (22 tahun). Di depan, Falcao ditemani Moussa Sylla (19 tahun).

Buruknya tim ini semakin diperjelas dengan profil (sedikit) gol yang dibuat Monaco di bawah asuhan Henry, utamanya di Ligue 1. Hanya 7 gol dari 9 laga, tiga diantaranya dari titik putih dan satu dari tendangan bebas, plus satu set piece (Kamil Glik vs Dijon). Ya, hanya 2 gol saja yang dicetak dari betul-betul permainan terbuka. Sebuah catatan yang semakin mengenaskan bagi tim yang diasuh striker legendaris.

Henry—yang sebenarnya adalah legenda Arsenal itu—harus putar otak benar-benar untuk menyelamatkan timnya. Diharapkan jadi penyelamat, Henry bisa saja mengulangi nasib Alan Shearer, sesama legenda klub yang justru jadi pelatih yang membawa timnya degradasi. Sebuah beban yang sungguh berat, apalagi untuk seorang manajer newbie yang diminta mengasuh tim doyan jualan.

Pada akhirnya Henry tidak lama menjadi manajer AS Monaco. Dirinya kemudian digantikan lagi oleh Jardim dan kemudian menyelamatkan tim itu dan hingga kini AS Monaco belum lagi bisa kembali pada keajaibannya waktu itu.