Banyak hal yang bikin bete di dunia ini. Pertama, tentu saja makhluk hidup bernama Fahmi Wicaksono, agen properti yang selalu membawa serta bininya kemanapun pergi serta katanya sudah sering jualan tapi malah bikin uang saya amblas 36 juta. Kedua, mantan terindah dihamili oleh suaminya sendiri–suatu hal wajar nan menyakitkan. Ketiga, bertemu dengan taksi bandara nan galak tanpa tata krama sama sekali.
Alkisah dalam sebuah perjalanan dinas, saya dan tim sampai di bandara Hang Nadim, Batu Besar, Batam menggunakan penerbangan Garuda Indonesia terakhir. Itu lho, yang dari Jakarta jam tujuh kurang sedikit. Dasar penerbangan terakhir, sesudah semua penumpang berpulangan maka yang tersisa hanya sepi, rindu, dan kenangan. Tsah.
Bermula dari miskomunikasi antara tim dengan kantor di Batam, muaranya adalah sampai kami sampai belum ada yang menjemput. Dasarnya juga nggak sering-sering amat ke Batam, jalanlah kami mengikuti orang-orang ke arah parkiran mobil.
Yang kemudian terjadi…
Tiga orang bapak-bapak dengan muka sok galak mengikuti kami. Kami, antara bingung dan bengong, lantas ditanya dengan tidak baik-baik oleh mereka, “Mau cari apa?”
Kami tentu bilang, “Nunggu jemputan. Telat soalnya.”
Tampak tidak percaya, Pak Taksi membalas, “Kalau sudah turun kesini pasti mau cari online!”. Sungguh, kami menjadi malas seketika.
Pak Taksi lalu menyambung, “Di Batam ini online tidak boleh sama pemerintah, sama Kapolsek. Kalau main online begini, susah kami. Kami juga cari makan.”
Saya (dalam hati) kok ya pengen nimbrung, “Lah, saya ke Batam malam-malam baru nyampe ini juga cari makan, Pak.”
Berhubung itu bapak bertiga makin galak, kami naik lagi dan duduk persis di depan kantor taksi bandara. Sembari mendapat kepastian bahwa memang ada 2 mobil kantor Batam yang akan menjemput.
Masalah selesai? Tidak juga.
Dari pos keluar lagi orang dengan (sok) ramah menanyakan tujuan kami. Dengan (sok) baik-baik, kami juga bilang bahwa kami hendak ke hotel dan kami di Hang Nadim itu tinggal satu rombongan sendiri semata-mata menunggu dijemput sama mobil kantor. Sambil separuh ngancem, dia ngomong lagi dengan (sok) halus bahwa kalau di Batam ini ada zona merah, bandara masuk zona merah, taksi online tidak bisa masuk ke bandara, kalau ketahuan masuk dari Polsek akan turun tangan, dan bla-bla-bla lainnya.
Tidak cukup intimidasi verbal, lingkungan juga tidak kalah. Di belakang ada 2 orang, di depan ada taksi nongkrong 2, di agak jauh lagi yang bertiga si pembuntut kami hingga parkiran itu juga masih disitu. Seolah-olah nggak percaya kalau kami mau dijemput kantor.
Dalam hati, saya sih berharap bahwa armada yang akan dikeluarkan kantor di Batam adalah plat merah, biar skak sekalian. Nggak percaya bener, sih, sama orang. Kan saya sedih. Landasan berumah tangga kan saling percaya.
Lho.
Hingga akhirnya benar, sebuah mobil plat merah meluncur dari kejauhan dan berhenti persis di depan kami. Segera koper-koper dimasukkan dan kami nongkrong dulu menunggu mobil kedua. Entah ada hubungannya atau tidak, tapi segera sesudah mobil plat merah itu nangkring di Hang Nadim, manusia-manusia yang dari tadi ada di sekitar kami mendadak cling-cling-cling musnah.
Rasanya pengen bener ngomong, “mbok percaya lho Pak sama kami-kami ini. Tuh kan memang mobil plat merah yang jemput?”
Saya sudah pernah menginjak beberapa bandara di Indonesia. Mulai dari taksi di Makassar yang keukeuh minta ampun menawarkan jasanya, hingga travel di Padang nan intimidatif. Semuanya itu kemudian menjadi tampak wajar dan biasa ketika intimidasi-berbasis-taksi-online saya alami di Bandara Hang Nadim, Batu Besar, Batam. Pokoknya yang ini parah pisan.
Tapi, ya, namanya taksi bandara itu memang salah satu karya manusia paling spesial dan istimewa. Istimewa harganya sudah jelas. Kita bisa bandingkan bahkan dengan sesama taksi, dan gapnya cukup lumayan untuk beberapa batang udud. Istimewa monopolinya juga mantap, misalnya di Semarang dengan bapak yang leletnya istimewa juga. Maka, ketika kemudian si online-online ini muncul jadi pesaing dan memakan jatah mereka, perlawanan terjadi. Kembali lagi, ini soal perut.
Untuk itu, demi kenyamanan bersama pula, akan baik kiranya bagi pengelola bandara Hang Nadim untuk lebih menjaga bandaranya dari kelakuan semacam ini. Kalaulah memang online dilarang, pasang besar-besar di banyak tempat di bandara. Kalaulah memang orang dijemput biasanya nunggu di atas dan bukan ke parkiran (sebagaimana disebut oleh Pak Taksi Intimidatif kepada saya) ya ditulis juga besar-besar. Kami-kami para penumpang jelata ini juga nggak paham kalau nggak dikasih tahu. Giliran dikasih tahu, caranya malah istimewa begini.
Yah, begitu saja. Lumayan toh satu curhat ngisi postingan. Semoga di Batam, nasib online-online segera jelas supaya saya lebih enak lagi keliling Batam jika suatu saat diperkenankan bertugas maupun berkunjung ke Batam.
Ciao!
Terakhir ke Gang Nadim juga ketemu sama sopir taksi yang ga nyenengin. Mereka ga pake argometer. Ditawar malah ngambek macam anak perempuan 😂
LikeLike
*Hang Nadim
LikeLike
Iya Mas, masak Batam Center ke Panbil ditembak 80 ribu. Online cuma 30 ribu. Galaknya itu lho kayak ditinggal kawin, padahal sini juga nggak pakai online.
LikeLike