Kalau para pembaca berada di Kota Bukittinggi, cobalah mampir sejenak ke Jalan Bagindo Azischan. Lokasinya persis di belakang Gereja Katolik Santo Petrus Claver yang letaknya di Jalan Sudirman. Jalan Bagindo Azischan dapat diakses dari Hotel Karisma atau juga Swalayan Masyitah.
Di lokasi tersebut, persis di sebelah gerbang masuk kompleks Yayasan Prayoga yang berisi 4 sekolah dari 4 tingkat pendidikan, terdapat sebuah tempat bernama HK Mart. Sekilas terlihat seperti swalayan biasa saja. Akan tetapi, berbicara soal HK maka ada sejarah yang sangat panjang di baliknya.
Pertama-tama, kita harus kembali ke tahun 1981 alias lebih dari 40 tahun yang lalu. Di bulan November, Pastor Yohanes Halim bersua dengan Bapak Trisna Ansarli dari Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia (BK3I) dan memperkenalkan tentang Credit Union (CU). Sebulan kemudian, Pastor Yohanes Halim menyampaikan ide tentang CU kepada umat di Paroki Santo Petrus Claver Bukittinggi. Ide koperasi yang diusung oleh konsep CU tampak cukup menarik bagi umat yang kemudian ditindaklanjuti dengan kursus dasar dan studi banding ke beberapa CU yang sudah ada di Sumatera Utara.
Mengacu pada skripsi senior-jauh-banget saya di Universitas Sanata Dharma, Kak Elysabeth Desmawati, dijelaskan bahwa sekembalinya dari studi banding, tepatnya tanggal 2 April 1982 diadakanlah pemilihan pengurus CU di Bukittinggi. Terpilih Bapak N. Mariyo sebagai Ketua Dewan Pimpinan dan salah satunya adalah Bapak M. Sumarno, BA. sebagai anggota. Bapak Mariyo adalah bapaknya Kak Desmawati dan Bapak Sumarno adalah bapak saya~
Pada tahun 1982 tersebut terbentuknya CU yang diberi nama Hati Kudus. Nyambung kan dengan ‘HK’ yang tadi disebut di awal tulisan ini?
Demikianlah kemudian CU Hati Kudus dibentuk dengan modal awal Rp350.000,00 dari 51 orang anggota dengan uang pangkal Rp200, uang simpanan pokok Rp1.000, dan uang simpanan wajib Rp200, serta uang simpanan sukarela. Sampai dengan tahun 2001, modalnya telah berkembang menjadi Rp365.494.675,00. Terakhir saya memutakhirkan data dari bapak saya, modal tersebut sudah jauh lebih besar jumlahnya.
Sebagaimana diketahui bahwa koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi memiliki sejarah panjang di negeri ini dan benar-benar bertumbuh dari rakyat. Mengacu pada dokumen Bappenas, pada tahun 1896 tersebutlah seorang Pamong Praja bernama Patih R. Aria Wiria Atmaja dari Purwokerto yang mendirikan bank untuk priyayi. Dirinya terdorong oleh keinginan menolong para pegawai yang makin menderita karena terjerat lintah darat yang memberikan pinjaman berbunga tinggi.
Seorang asisten residen Belanda bernama De Wolffvan Westerrode kemudian memberi masukan berdasarkan konsep koperasi kredit di Jerman. Terlepas dari intervensi Pemerintah Hindia Belanda, koperasi di nusantara tetap bertumbuh hingga kemudian muncul pengaturan-pengaturan. Koperasi menjadi semangat ekonomi yang dibangun oleh gerakan Budi Oetomo pada tahun 1908, Serikat Dagang Islam pada tahun 1927 hingga Partai Nasional Indonesia tahun 1929.
Selepas penjajahan, tepatnya 12 Juli 1947 dilakukan Kongres Koperasi pertama di Indonesia bertempat di Tasikmalaya. Hari inilah yang kemudian ditetapkan sebagia Hari Koperasi Indonesia dan terus diperingati hingga kini.
Konsep murni koperasi sejatinya menjadi hal yang mendasari CU Hati Kudus. Kak Desmawati menyebut bahwa gereja Katolik Santo Petrus Claver di Bukittinggi terdiri atas beberapa suku yang kemudian berkelindan membetuk kebutuhan berkoperasi. Pertama, ada suku Batak yang lebih tepatnya dari Tapanuli Utara. Para perantau mulai berdatangan ke Bukittinggi tahun 1970-an. Mereka umumnya kemudian bekerja sebagai pedagang keliling yang mengkreditkan barang-barang rumah tangga dari kampung ke kampung. Sebagian lainnya menjadi buruh kasar, loper koran, penjaja sayur mayur keliling, hingga tukang angkut barang. Sebagian dari elemen ini cukup mapan, tapi sebagian lainnya tidak dan bahkan cenderung prasejahtera. Kedua, ada suku Tionghoa yang memang sudah ada sejak lama. Mereka memiliki toko di pusat kota dan aktif di gereja. Sayangnya, kebanyakan anak-anak dari suku ini melanjutkan studi ke luar kota begitu lepas sekolah menengah. Dalam 1 tahun, pemuda-pemudi yang meninggalkan kota bisa mencapai 70 anak secara total dengan sebagian besar dari suku Tionghoa. Pada saat naskah referensi itu ditulis yakni tahun 2001, maka saya termasuk 1 dari 70 anak yang meninggalkan Kota Bukittinggi untuk menempuh pendidikan di luar kota. Ketiga, suku Jawa. Terlepas dari sisa-sisa pasukan penumpasan Pemberontakan PRRI–yang saya kenal beberapa diantaranya dan memang kebetulan sudah meninggal, hadir pula kalangan guru, karyawan, dan sejumlah pegawai negeri.
Nah, dalam hidup bermasyarakat terjadi campur baur ketiga suku utama ini. Penting untuk dicatat bahwa sesuai dengan konsep Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah maka sejatinya untuk suku Minangkabau adalah beragama Islam sehingga keterlibatannya di CU Hati Kudus yang merupakan cabang dari gereja tentu menjadi tidak lekat. Walau begitu, bukan berarti terpisah sama sekali. Bapak yang jaga sekolah bersimbiosis mutualisme mulai dari jualan minuman sampai kadang-kadang dapat nasi Padang konsumsi juga~
Kelindan suku Batak, Tionghoa, dan Jawa itu terlihat sekali pada dewan pimpinan awalnya. Ketua Pak Mariyo (Jawa), Wakil Ketuanya Pak Turnip (Batak), dan Anggotanya ada Ibu Lelyana (Tionghoa). Saya sendiri bertumbuh dalam keaktifan bapak saya di CU Hati Kudus ini dan melihat sekali dinamika antar suku yang menarik dan sangat mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika demi membantu sesama.
CU Hati Kudus ini pada mulanya hanya buka sekali sebulan. Kalau tidak keliru, bukanya di minggu ketiga saja persis di hari Minggu. Proses penyetoran simpanan wajib, simpanan pokok, dan simpanan sukarela terjadi pada 1 hari itu saja termasuk juga proses bayar pinjaman berikut bunganya. Makin lama, kebutuhannya semakin besar sehingga kemudian butuh 2 kali seminggu dan lantas bertambah lagi.
Sebagai bagian dari pengurus dan sebagai PNS zaman dahulu sudah tentu bapak saya menjadi pelanggan setia fasilitas pinjaman di koperasi kredit yang turut didirikannya ini. Sudah tidak terhitung lagi kontribusi ‘utang CU’ pada keberhasilan pendidikan saya dan juga adik-adik. Belum lagi, karena skemanya koperasi, maka semakin banyak kita berkontribusi lewat transaksi, semakin banyak juga dividen alias Sisa Hasil Usaha (SHU).
Percayalah, hari-hari ketika Rapat Anggota Tahunan (RAT) di bulan Februari merupakan salah satu momen kegembiraan dalam hidup orangtua saya. Pertama, karena akan ada SHU yang dibagikan dan jumlahnya boleh dibilang cukup lumayan. Kedua, karena bapak saya juga akan menerima ‘gaji’ sebagai pengurus CU. Iya, kerjanya sepanjang tahun tapi gajiannya setahun sekali saja. Ya, namanya juga sampingan~
Melalui koperasi, bapak saya juga sudah berkeliling Sumatera Barat untuk mengajar mengenai koperasi kredit. Beliau memang guru, sehingga semangat mengajarnya itu selalu ada bahkan ketika sudah pensiun dan menunggu jadwal Mamak saya pensiun.
Saya juga mengenal salah satu nama yang menjadi Ketua Badan Pengawas CU Hati Kudus saat pendiriannya: J. Simamora. Dia adalah Paktua saya yang 10 tahun sesudah mendirikan CU Hati Kudus mutasi ke Kota Bandung, tepatnya tinggal di Kota Cimahi.
Ketika bersua beliau semasa hidupnya, Pak Sim–panggilan akrabnya–kerap berkisah soal pendirian CU tersebut dan bagaimana dampak baiknya bagi anggota. Beliau juga berkisah mengenai upaya membangun koperasi serupa di Cimahi dan sudah mulai ada gerakan. Saya tentu tidak update lagi sejak tahun 2017 ketika beliau meninggal dunia seperti saya tulis di post ini.
Saya sendiri juga merupakan anggota CU Hati Kudus secara nama dan secara uang. Baru berhenti ketika orangtua saya menyelesaikan tugas di Bukittinggi dan kemudian beralih ke Jawa untuk mengisi masa purnabakti. Saya juga mencicil laptop pertama dan sepeda motor pertama saya lewat CU. Dari sisi bunga, penawaran di koperasi kredit sangat kompetitif. Belum lagi ketika kontribusi berupa pinjaman juga diperhitungkan sebagai dividen kala RAT. Enaknya CU ya itu, tidak ada keuntungan buat entitas atau orang per orang. Setiap keuntungan kemudian dibagi menjadi sisa hasil usaha. Dan karena dikembangkan bersama, maka transparansi menjadi kunci. Tuh lihat sendiri pada tahun 2015 doorprize-nya sudah sepeda motor. Hal yang tidak terjadi 10 tahun sebelumnya. Pertumbuhannya drastis sekali, kan?
Pada tahun 2022, hari jadi Gerakan Koperasi Indonesia mengambil tema “Transformasi Koperasi untuk Ekonomi Berkelanjutan” dengan gelora gerakan “Ayo Berkoperasi”. Di era modern ini, transformasi koperasi jelas menjadi penting karena model perekonomian juga berubah. Sebut saja pergerakan di pasar saham yang menggaet mayoritas milenial atau pasar kripto yang menawarkan high risk high return. Belum lagi dengan format-format lainnya.
Berkoperasi sejak lama telah menjadi kisah sukses. Seperti saya sebut tadi, sekurang-kurangnya dibuktikan dari saya sendiri yang uang kuliahnya berasal dari kombinasi pinjaman ke CU untuk semester ganjil dan SHU CU untuk semester genap. Dan teman-teman masa kecil saya juga demikian. Ada yang sudah jadi Pejabat di Kementerian Keuangan juga dan pas kecilnya juga saya bersua Mamaknya lagi nyetor di kantor CU.
CU Hati Kudus sejak tahun 1982 telah menjadi pendukung transformasi banyak manusia, mulai dari peningkatan kesejahteraan hingga derajat melalui pendidikan. Hal itu kemudian menjadi wujud nyata peran koperasi. Dan agar koperasi juga tidak menjadi modus yang merugikan masyarakat sejatinya peran Kementerian Koperasi dan UKM untuk pengawasan juga menjadi sangat krusial. Di era deregulasi, peran pemerintah justru menjadi sangat terdepan. Ingat bahwa paradigma administrasi publik telah menjelma jadi New Public Service (NPS) dengan fokusnya adalah citizen, bukan sektor bisnis belaka.