Salah satu problema dalam hidup nan kekinian selain antre beli bubur ayam di belakang mbak-mbak yang orderannya custom (nggak pakai kacang, kacangnya dipisah, nggak pakai daun bawang, nggak pakai lama, dll) sejatinya adalah perihal kecerdasan di media sosial. Benda yang 10 tahun silam baru sebatas bahan menggebet dengan mengunduh seluruh foto gebetan dari Friendster dan menjadikannya desktop background, kini telah menjadi begitu menggurita sekaligus menjadi medium bagi banyak orang untuk memperlihatkan kecerdasannya.
Kenapa saya perlu menaruh perhatian tertentu tentang kecerdasan? Sebenarnya sepele, suatu kali saya diberi tahu oleh salah satu awardee beasiswa paling hits di Republik Indonesia perihal status Facebook seorang awardee lain yang kebetulan sama-sama berada di suatu negara di Eropa. Status Facebook itu berkaitan dengan bencinya si awardee lain itu pada Presiden kita, Joko Widodo. Kadang-kadang geli juga, masalah Jokowers, Cebongers, dan kawan-kawan itu tadinya saya pikir hanya perdebatan di dalam negeri. Kiranya saya salah karena bahkan mahasiswa S2 di tanah Eropa asal Indonesia saja ikut-ikutan begitu.
Saya merasa perlu membawa-bawa Presiden Jokowi dalam konteks bermedia sosial. Sepele saja, sebelum Jokowi muncul, seingat saja Facebook itu adem, Twitter itu tenang, apalagi Path, belum dikenal. Begitu Jokowi muncul, media sosial mendadak menjadi dunia nan terbelah. Salah satu yang patut diingat adalah penyebaran berita tentang ibunda Jokowi yang orang Kristen. Ketika sang penyebar dan ternyata adalah seorang raja dikonfirmasi, dia bilang asal informasinya adalah dari internet. Ya, wadah media sosial berada. Salah satu yang juga ramai adalah perihal luasan wilayah banjir yang dibandingkan antara saat Jokowi menjabat dengan sebelumnya. Entah bagaimana media sosial yang tadinya tenang bak kolam renang hotel menjadi penuh gejolak bagaikan Pantai Panjang di Bengkulu yang ombaknya besar-besar.
Tiada perlu saya kisahkan bagaimana keputusan Jokowi maju ke Pemilihan Presiden juga berdampak pada terbelah duanya masyarakat di media sosial. Sebuah fenomena yang menjalar sampai saat ini dan konstelasinya meluas tiada terkira. Sekarang sudah sampai bahwa-bawa agama. Ketik saja nama agama di Twitter, semuanya punya representasi akun Twitter yang isinya ajaran masing-masing, sesekali malah ada yang provokatif.
Bicara pilihan politik, itu suka-sukalah. Namun ada satu hal yang bikin saya nggak bisa diam kala melihatnya di media sosial. Sederhana sekali, begitu banyaknya kabar hoax yang disampaikan ulang kepada teman-teman di media sosial tanpa cek dan ricek, hingga pada akhirnya menjelma menjadi penyebaran kebohongan.
Umat Nasrani tentu paham bahwa salah satu Perintah Allah adalah ‘jangan bersaksi dusta’. Bagi saya, menyebarkan kabar hoax kiranya adalah bagian ‘bersaksi dusta’. Bahwa memang ada latar belakang dari aktivitas share atau retweet itu. Rerata berita hoax yang di-share adalah tentang obat berbahaya, minuman berbahaya, namun tidak lelaki berbahaya. Semua di-share dengan komentar, “Waspada, Bun!”.
Niatan baik kiranya tidak didukung oleh data yang baik. Padahal di Islam, kita mengenal betul kata-kata ‘iqra’. Sebuah perintah untuk membaca, dan jika diteruskan akan menjadi arahan untuk cek dan ricek terhadap sesuatu yang kita ketahui.
Kita ingat betul tentang isu beras plastik, muncul di Facebook dan kemudian menyebar begitu gila. Seluruh elemen pemerintah turun, termasuk sesama netizen melakukan konfirmasi sana-sini pada logika ihwal beras plastik itu. Sebuah penyebaran informasi berupa permintaan untuk waspada kemudian menjelma menjadi rusuh media dan orang-orang nan paham menjadi lintang pukang untuk mengklarifikasi. Apa daya, berdasarkan pengalaman, orang nge-share berita hoax itu lebih banyak daripada yang nge-share klarifikasinya.
Sederhana saja, ketika ada isu biskuit mengandung plastik sehingga mudah terbakar, saya melihat bahwa share gambar dan berita itu mencapai total jutaan. Sementara postingan saya di blog ariesadhar.com tentang klarifikasi kebohongan itu tembus seratus ribu saja tidak. Sedih hati ini.
Sungguh, di media sosial, saya berkenalan dengan banyak orang kece. Saya bisa menulis dan berkomentar tentang keberagaman di blog saya sendiri, di website semacam Mojok atau Voxpop, hingga di media sosial semacam Facebook dan Twitter. Saya mendapati banyak ilmu baru, mulai dari soal makanan hingga soal agama, dari media sosial. Saya juga merasakan betapa sulitnya melakukan klarifikasi pada ujaran kebohongan yang sebagian didasarkan pada ketidaktahuan itu. Sulit, Kak, sulit.
Sejak itulah saya mencoba menggunakan terminologi yang agak nylekit: kecerdasan jempol. Kebuntuan saya dalam menghadapi keragaman pola pikir pada media sosial yang ironisnya didominasi penyebaran hoax menjadi alasan munculnya istilah itu. Sering saya mengkritik bahwa orang yang menyebarkan hoax itu jempolnya tidak diolesi cairan otak atau kadang saya bilang bahwa penyebar hoax itu lupa menyuil sedikit isi otaknya dan menaruhnya di jempol. Semuanya dalam perspektif bahwa sebelum nge-share seharusnya kita berpikir dahulu. Kombinasikan saja ‘iqra’ dan ketakutan untuk ‘bersaksi dusta’, sesungguhnya kita akan menemukan bahwa menyebar hoax itu adalah penyakit.
Negeri ini masih sepicik itu dalam bermedia sosial. Maaf jika saya bilang begitu karena memang demikian yang tampak. Media sosial belum menjadi jembatan munculnya masyarakat yang beradab, malah memunculkan singa-singa di linimasa yang berubah jadi kitty si kucing imut di dunia nyata. Di media sosial kita, konflik antar agama maupun di dalam agama itu sendiri bukannya jadi lurus malah semakin tajam. Bagi saya, akar masalahnya nggak jauh-jauh dari akar si penyebar hoax tadi, kecerdasan jempol.
Jikalau kita selalu melibatkan otak dalam aktivitas jempol kita di linimasa, niscaya media sosial akan menjadi sepenuh-penuhnya berkah bagi kehidupan bermasyarakat di Indonesia, termasuk torenasi dan keberagaman. Namun jikalau otak masih dikesampingkan dan dianggap bukan pemberian Tuhan, jatuhnya ya musibah atas keberagaman. Jangan heran jika media sosial justru bukan meleburkan keberagaman, malah membuatnya semakin runcing.
Bukankah pada hakikatnya Tuhan menciptakan manusia untuk memberikan kebaikan pada dunia? Dan bukankah media sosial sebagai ciptaan manusia seharusnya juga memberikan kebaikan pada dunia yang sama? Mari, galakkan kecerdasan jempol di media sosial agar jempol kita memberi berkah pada dunia.
Tabik.
Artikel ini diikutsertakan dalam Kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh ICRS dan Sebangsa
duh mbak2 yang orderannya custom tu bikin gemez, untung yg jualam sabar *salah fokus*
Aku udah banyak unfollow temen di FB karena banyak yg suka nyebar berita hoax, biarin lahh dibilang songong daripada baca wall penuh berita2 geje dan ga masuk akal
LikeLike
Mbak Dita ga termasuk yang orderannya custom, kan? Heuheu.
Lha, aku malah mengingatkan seseorang tentang hoax malah diblok. Apa salah dan dosaku? *kikirkukudipojokanmonas*
LikeLike
gak donk, aku customnya sebatas..jusnya gak pake es dan gak pake gula ya bang, trus bijinya dibuang, blendernya dicuci dulu yg bersih pake sabun, gelasnya jangan yg penyok, plastiknya diiket dua kali pake simpul anyam ganda.
*kemudian diblender ama yg jual*
LikeLike
Kalo jus karena nggak ngantri-antri banget nggak apa-apa sih mbak. Tapi kalau buryam, haduh, itu peliknya seperti menghitung biaya nikah. Heuheu.
LikeLike
artikelnya menarik 🙂
LikeLike
Makasih… 🙂
LikeLike
Media sosial memang kalau tidak dipakai dengan bijak ya bisa jadi masalah 🙂
LikeLike
Ulasan yang Menarik.. TOP BANGET
LikeLike