Jadi gini. Kemarin itu saya lihat-lihat di Youtube soal film “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” yang dibintangi oleh sebagian lakon di “5Cm”. Nah, bicara soal judul film itu, tentu nggak lepas dari nama seorang sastrawan besar Indonesia, Buya Hamka. Kebetulan, waktu SMA, saya menjadikan novel itu sebagai bahan tugas Karya Ilmiah di kelas 2. Silakan tanya seluruh anak De Britto perihal Karya Ilmiah ini. Ya, semua anak–tanpa kecuali termasuk anaknya Pak Bambang sama Pak Samino–juga harus buat KI. Kalau luput dari deadline? Dulu ada kelas 2-7. Sebuah kelas khusus anak-anak yang KI-nya belum kelar. Nggak boleh ikut pelajaran kalau KI-nya nggak kelar. Ganas bung!
Nah, judul KI saya adalah “Permasalahan Adat Minangkabau Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka“. Berbasis novel terbitan Bulan Bintang tahun 1979. Sebenarnya kalau saya ketik semua disini nggak akan panjang-panjang amat. Hanya 20 halaman A4 dengan margin atas bawah kiri kanan yang lebar. Saya taksir bahkan hanya sekitar 1 bab panjang di Oom Alfa. Cuma, dipotong-potonglah. KI sama blog kan beda.
Kita mulai ya.
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak suku. Setiap suku memiliki adat istiadat yang berbeda. Perbedaan adat istiadat antar suku seringkali menimbulkan permasalahan dalam proses pergaulan. Kadangkala masalah timbul setelah proses pergaulan terjadi.
Permasalahan adat merupakan bagian yang paling sulit dipisahkan dari interaksi antar suku. Masalah yang timbul seringkali disebabkan perbedaan tata dan pola hidup atau sistem kekerabatan.
Tema mengenai permasalahan adat kerap dijadikan tema dari sebuah karya sastra. Hal itu disebabkan karena permasalahan adat adalah teman yang gampang digali karena sumber-sumber referensi cukup mudah ditemui. Selain itu tema adat adalah hal yang cukup dekat dengan kehidupan masyarakat.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal dengan Hamka, sebagai penulis novel terkenal dengan tema-tema adat Minangkabau sebagai fokus novel-novelnya. Hal dimungkinkan latar belakang dirinya yang dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Dengan demikian pemakaian tema adat dalam novel menjadi lebih fleksibel.
Atas dasar itulah penulis mencoba mengamati permasalahan adat dalam novel yang ditulis oleh Hamka yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel tersebut penulis pilih karena suasana yang didominasi oleh latar belakang Minangkabau. Tidak seperti novel Hamka yang lain, seperti Dibawah Lindungan Ka’bah yang berlatar Mekkah dan Dijemput Makaknya yang berlatar Deli.
Berdasarkan judul serta latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka rumusan masalah yang dapat diajukan adalah apa sajakah permasalahan adat Minangkabau yang muncul dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka?
Tujuan penulisan karangan ilmiah ini adalah untuk mendeskripsikan berbagai permasalahan adat Minangkabau dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka.
Karangan ilmiah ini diharapkan akan dapat memperkaya khasanah pengetahuan mengenai novel. Terutama novel-novel era Balai Pustaka-Pujangga Baru yang mulai tergusur eksistensinya oleh kehadiran novel-novel kontemporer. Secara lebih spesifik karangan ilmiah ini diharapkan dapat membantu penulis dan pembaca untuk lebih memahami adat Minangkabau.
Karangan ilmiah ini akan membahas permasalahan adat Minangkabau dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Permasalahan adat lain dalam novel yang sama dan permasalahan adat Minangkabau dalam novel Hamka yang lain tidak dibahas dalam karangan ilmiah ini.
Karangan ilmiah ini akan menguraikan permasalahan lewat tiga tahap yakni pendahuluan, landasan teori, dan pembahasan. Hasil dari pembahasan akan dirangkum dalam kesimpulan sekaligus menjawab rumusan masalah dalam pendahuluan. Pada bagian akhir akan disebutkan daftar referensi yang digunakan dalam karangan ilmiah ini.
Landasan Teori
Salah satu pakar dalam bidang sastra, Prof. Dr. Andries Teeuw tidak memberikan definisi yang absolut mengenai sastra. Teeuw (1988) hanya memberikan batasan bahwa sastra tidak dapat dibedakan antara bahasa tulis dan lisan. Hal yang penting adalah unsur seni dalam sastra itu. Sehingga Teeuw (1982) menulis bahwa sastra menunjukkan paradoks yang cukup menarik. Kemenarikan itu timbul dari ketidakpastian dan kedinamisan sastra itu sendiri.
Sastra dapat disorot dari segi bahasa dan seni sastra itu sendiri. Segi bahasa merupakan suatu sisi yang timbul dari alur karya sastra. Sedangkan seni merupakan suatu nilai yang terkandung dari sebuah karya sastra.
Sastra merupakan suatu sistem yang memiliki sub sistem seperti tokoh, alur, tema, dan amanat. Berbagai sub sistem tersebut bergungsi membangun keutuhan cerita.
Tokoh ialah individu rekaan yang berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Dalam cerita rekaan tokoh juga merupakan rekaan semata.
Berdasarkan fungsinya di dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yakni: tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh yang memegang peranan pokok dalam cerita disebut tokoh sentral. Sedangkan tokoh bawahan berperan menunjang dan melengkapi kedudukan tokoh utama dalam alur cerita.
Kedudukan tokoh didukung oleh latar atau setting. Latar mencakup keadaan, masyarakat, kelompok-kelompok sosial, adat, cara hidup, bangunan, dan sebagainya. Latar berfungsi untuk media proyeksi batin tokoh.
Tema merupakan gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari penulisan suatu karya sastra. Tema juga membuat suatu karya sastra menjadi berharga. Dalam cerita rekaan ada berbagai macam penyampaian tema. Ada yang disampaikan secara eksplisit, terlihat dari judul, simbolik, dan implisit.
Dalam penyampaiannya ada berbagai macam cara. Ada yang secara universal, ada pula yang secara mendalam dan spesifik. Pada akhirnya tema menjadi suatu jalan untuk memperoleh amanat. Pada prinsipnya, amanat adalah kunci sebuah karya sastra.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma hukum, dan aturan-aturan yang satu dan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.
Sedangkan adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal dan turun-temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola kehidupan masyarakat.
Salah satu ciri masyarakat Minangkabay yang telah menimbulkan perhatian besar adalah sistem kekerabatannya yang bersifat matrilineal, yang keturunan dan harga benda diperhitungkan melalui garis ibu dan bukan garis bapak, sehingga yang berkuasa atas seluruh kelompok keluarga adalah saudara laki-laki seorang wanita dan bukan suaminya (Geertz, 1981: 73). Kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang laki-laki dewasa dari keluarga itu yang bertindak sebagai ninik mamak bagi keluarga itu (Junus, 1982: 248).
Sistem matrilineal secara sederhana dapat diartikan sebagai masyarakat yang anggotanya menarik garis keturunan melalui ibu. Sehingga yang diakui dan mendapat hak adalah yang memiliki hubungan darah dengan kaum perempuan atau ibu.
Secara adat, sistem pemerintahan di Minangkabau dibedakan dalam dua sistem yang disebut kelarasan yaitu:
1. Kelarasan Bodi Chaniago
2. Kelarasan Koto Piliang.
Daerah darat terbagi dalam tiga luhak, yaitu Tanah Datar, Agam, dan Lima Puluah Koto (Junus, 1982: 241). Daerah darat sendiri berarti daerah yang masih asli alam Minangkabau.
Permasalahan Adat Dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Sinopsis
Zainuddin adalah seorang anak keturunan Minangkabau yang tinggal dan beribu orang Mengkasar. Ia sudah yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal sewaktu ia masih kecil. Sebagai seorang keturunan Minangkabau, ia sangat ingin pergi ke kampung halamannya. Tempat ayahnya lahir dan besar.
Keinginan Zainuddin untuk melihat kampung halamannya, desa Batipuh di Minangkabau tercapaia setelah orang tua angkatnya di Mengkasar yakni Mak Base mengabulkan permintaan Zainuddin.
Dahulu di desa Batipuh yang terletak di dekat kota Padang Panjang itu, ayah Zainuddin yaitu Pandekar Sutan terpaksa membunuh mamaknya sendiri yaitu Datuak Mantari Labih yang berusaha menguasai harta warisan milik kaum. Akibatnya Pandekar Sutan dibuang ke Mengkasar sebagai hukuman adat. Di tempat pembuangannya itu, Pandekar Sutan menikah dengan perempuan asli Mengkasar bernama Daeng Habibah. Perkawinan ini membuahkan seorang anak yaitu Zainuddin. Setelah kedua orang tua Zainuddin meninggal di usia muda karena sakit, Mak Base mengasuh dan menjadi ibu angkatnya sampai ia besar.
Akan tetapi, di desa Batipuh ia malah dianggap orang asing karena lahir dari seorang ibu yang bukan keturunan ninik mamaknya. Ketidakadilan makin terasa ketika hubungannya dengan gadis Batipuh yang dikenalnya sewaktu hujan deras yakni Hayati, harus putus dan ia sendiri diusir dari tanah leluhurnya. Saat Zainuddin akan meninggalkan Batipuh, Hayati masih sempat memberikan kenang-kenangan berupa elai rambutnya. Zainuddin lalu hijrah ke Padang Panjang dan tetap berkirim surat dengan Hayati. Relasi ini berjalan karena ada ikatan batin antara Zainuddin dan Hayati sejak mereka mengikat janji pada suatu sore di dekat sawah di desa Batipuh.
Pada suatu saat, Hayati datang ke Padang Panjang untuk melihat pasar malam yang diadakan setahun sekali. Ia menginap di rumah Khadijah, sahabatnya. Zainuddin yang juga diberitahu seakan mendapat peluang untuk melepas rindu setelah lama tidak bertemu. Namun maksud itu tidak kesampaian akibat ulah Khadijah dan Aziz, kakanya.
Setelah masa itu, timbul ketertarikan Aziz pada Hayati yang juga dipengaruhi oleh provokasi Khadijah. Pada akhirnya Aziz sepakat melamar Hayati ke Batipuh. Di lain pihak Zainuddin juga melakukan lamaran meski dengan cara yang tidak lazim yaitu berkirim surat. Padahal Zainuddin baru saja mendapat warisan yang cukup besar setelah Mak Base meninggal. Para ninik mamak Hayati kemudian memutuskan untuk menerima pinangan Aziz. Zainuddin yang ditolak lalu dikirimi surat penolakan.
Zainuddin jatuh sakit setelah mendapat kabar bahwa Hayati dan Aziz benar-benar menikah. Ia bahkan sudah tidak punya semangat hidup lagi meski sudah melakukan perjalanan keliling Minangkabau. Dan yang paling parah, Zainuddin sempat tidak sadarkan diri hingga beberapa lama. Namun karena peran Muluk, seorang parewa yang merupakan anak dari empunya rumah tempat Zainuddin tinggal di Padang Panjang. Semangat hidup Zainuddin perlahan-lahan bangkit. Kemudian mereka berdua merantau ke Jakarta lalu pindah ke Surabaya. Di perantauannya Zainuddin menjadi pengarang terkemuka dengan inisial Z.
Di lain pihak suami istri Aziz dan Hayati pindah ke Surabaya seiring dengan penugasan Aziz ke kota itu. Namun tak lama kemudian Aziz dipecat karena sering melakukan perbuatan zinah di tempat-tempat pelacuran. Setelah itu pasangan Aziz dan Hayati diusir dari rumah kontrakannya. Mereka terpaksa menumpang tinggal di rumah Zainuddin hingga beberapa lama.
Aziz semakin tidak tahan pada malu yang harus ia tanggung karena lama menganggur. Ia lalu pergi ke Banyuwangi. Tak lama setelah itu ia mengirim surat yang mengabarkan bahwa ia menjatuhkan talak satu pada Hayati dan surat lain yang berisi keinginannya untuk bunuh diri yang pada akhirnya dilaksanakan.
Keadaan ini seolah membuat posisi Zainuddin berada di atas angin. Namun ia mengeluarkan keputusan kontroversial dengan menyuruh Hayati pulang. Esoknya Hayati pulang ke Padang dengan menggunakan kapal Van Der Wijck.
Setelah Hayati pergi, Zainuddin malah menjadi gelisah. Ia memutuskan akan menyusul Hayati ke Jakarta. Namun belum lagi mereka berdua berangkat datang berita bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Tujuan Zainuddin dialihkan ke Tuban.
Zainuddin dan Hayati masih sempat bertemu di rumah sakit Lamongan. Dan itu adalah yang terakhir karena setelah itu Hayati meninggal dalam pangkuan Zainuddin.
Setelah peristiwa itu kesehatan Zainuddin menurun dan tak lama kemudian meninggal. Muluk lalu menguburkan Zainuddin bersebelahan dengan pusara Hayati.
Pembahasan
Ada merupakan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari atas nilai-nilai budaya, norma hukum dan aturan-aturan yang satu dan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Para ninik mamak Hayati memegang teguh prinsip-prinsip yang terkandung dalam suatu sistem adat tersebut. Mereka memperhitungkan hal-hal kekerabatan yang akan terjadi bila Hayati menikah dengan Zainuddin. Aturan-aturan yang sudah diturunkan sejak beberapa generasi tetap dipakai.
Datuk ….. selaku mamak kandung Hayati adalah orang yang tegas memegang prinsip ini. Hal ini tampak dari kata-katanya sewaktu meminta Zainuddin meninggalkan Batipuh.
“Zainuddin,” ujarnya, “telah banyak nian pembicaraan orang yang kurang enak kudengar terhadap dirimu dan diri kemenakanku. Kata orang tua-tua telah melakukan perbuata yang buruk rupa, salah canda, yang pantang benar di dalam negeri yang beradat ini. Diri saya percaya bahwa engkau tiada melakukan perbuatan yang tiada senonoh dengan kemenakanku, yang dapat merusakkan nama Hayati selama hidupnya. Tetapi, sekarang saya temui engkau untuk memberi engkau nasehat, lebih baik sebelum perbuatan berkelanjutan, sebelum merusakkan nama kami dalam negeri suku sako turun-temurun, yang belum lekang di pana dan belum lapuk di hujan, supaya engkau surut” (Hal. 57-58).
Dalam ucapannya yang panjang lebar tersebut, Dt ….. mengusir Zainuddin secara halus dengan membawa nama adat dan turunan. Pada masalah ini faktor generasi mendatang ikut diperhitungkan. Ini adalah cermin dari adat Minangkabau yang keras dan ketat.
Pada pembicaraan yang lain kepada Hayati, Dt ….. mempermasalahkan soal bako anak Hayati kelak jika menikah dengan Zanuddin. Pemikiran ini muncul karena Zainuddin tidak memiliki saudara kandung, apalagi ia adalah anak dari perempuan Bugis.
“Hai Upik, baru kemaren kau memakan garam dunia, kau belum tahu belit-belitnya. Bukanlah kau sembarang orang, bukan tampan Zainuddin itu jodohmu. Orang yang begitu tak dapat menggantungkan hidupmu, pemenung, pehiba hati, dan kadang-kadang panjang angan-angan. Di zaman sekarang haruslah suami penumpangkan hidup itu seorang yang tentu pencaharian, tentu asal-usul. Jika perkawinan dengan orang yang demikian langsung dan engkau beroleh anak, kemanakah anak itu akan berbako? Tidakkah engkau tahu bahwa Gunung Merapi masih tegak dengan teguhnya? Adat masih berdiri dengan kuat, tak lapuk oleh hujan, tak boleh lekang oleh panas.” (Hal. 61)
Bako adalah saudara dari ayah dalam pengertian adat di Minangkabau. Sebenarnya status bako tidaklah terlalu penting layaknya mamak atau kemenakan. Namun adanya bako berarti memiliki kelengkapan keluarga. Zainuddin sendiri memiliki bako di Batipuh. Selama di Batipuh ia pun tinggal di rumah bakonya. Namun Zainuddin tidak diterima oleh petinggi adat setempat. Hal ini sekaligus menjadi bukti bahwa status bako jauh kalah dari mamak dan status lain.
Masalah mengenai bako juga masih diangkat dalam perdebatan antara Sutan Mudo dengan Dt. Garang, pada pertemuan sekaligus musyawarah yang dilakukan oleh ninik mamak Hayati untuk membicarakan masalah lamaran kepada Hayati yaitu dari Aziz dan Zainuddin. Dt. Garang marah kepada Sutan Mudo yang mencoba memberikan argumen tentang status Zainuddin. Bagi Sutan Mudo, status Zainuddin tidaklah jelek karena ia punya ayah orang Minangkabau. Akan tetapi Dt. Garang bersama ninik mamak golongan tua lainnya amat memegang teguh tradisi. Sulit untuk melakukan perubahan regulsi adat yang telah ada karena akan berpengaruh langsung pada kharisma dan wibawa ninik mamak di mata anggota kaum.
Dari uraian di atas dapat ditarik konklusi bahwa salah satu permasalahan adat yang timbul adalah sikap ninik mamak Hayati yang terlalu memperhitungkan masalah bako meski sebenarnya kedudukan bako sendiri lemah karena ia hanya saudara dari ayah. Padahal di Minangkabau ada istilah populer untuk suami yaitu “Abu diateh tunggua” (Abu diatas tunggul). Maksudnya adalah suami hanya memiliki kedudukan tipis dalam kaum istrinya. Hal ini terjadi karena suami harus tinggal di tempat istri bila sudah menikah. Hal ini berlaku umum. Kecuali ia bekerja jauh dari rumah kaum istrinya, seperti Aziz dan Hayati.
Terlepas dari segala kebijakan mamak Hayati, status Zainuddin memang memberatkan dirinya sendiri. Zainuddin adalah orang yang tidak memiliki suku karena ibunya orang Mengkasar. Padahal di Minangkabau persukuan diambil dan menurut garis keturunan ibu.
Pengaruh ibu dalam kehidupan Zainuddin di Minangkabau amatlah besar. Karena ibunya orang Mengkasar ia tidak bersuku. Karena ia tidak bersuku ia tidak memiliki pendam pekuburan. Ujung-ujungnya ia tidak memiliki kekuatan dan prasyarat untuk meminang Hayati.
Walaupun Zainuddin memiliki uang lumayan banyak hasil warisan Mak Base, ia tidak dapat mempergunakannya untuk melawan adat dan memperbaiki statusnya. Ini adalah penyebab ia tidak memberitahukan soal kekayaannya dalam surat lamaran.
Lain masalahnya dengan Aziz. Aziz memiliki kedudukan kuat. Asli Minangkabau, orang tuanya terkenal, asal usulnya jelas dan memiliki kondisi finansial baik. Status itulah yang membuat Aziz dapat meminang Hayati dan pinangannya itu diterima.
Dengan demikian faktor kedua yang merupakan permasalahan adat adalah status Zainuddin dalam adat Minangkabau terutama di wilayah Batipuh. Status yang menyusahkan ini semakin dipersulit dengan cara Zainuddin untuk meminang Hayati. Ia menggunakan surat. Padahal lamaran adalah hal penting dalam adat Minangkabau. Ada tata cara dan aturannya sendiri dan tidak boleh lepas dari rangkaian perkawinan Minangkabau.
Desa Batipuh yang menjadi latar cerita berada di wilayah Batipuh X Koto. Sedangkan Batipuh X Koto merupakan salah satu daerah luhak Tanah Datar.
“Kita harus kembali kepada suatu kejadian di suatu negeri kecil dalam wilayah Batipuh X Koto (Padang Panjang) kira-kira 30 tahun yang lalu.” (Hal. 11)
Seperti diketahui, luhak Tanah Datar menganut kelarasan Koto Piliang. Kelarasan Koto Piliang sendiri merupakan penganut cara kepemimpinan otokrasi. Otokrasi dalam pengertian ini bukanlah otokrasi murni melainkan mengambil cara musyawarah yang demokratis. Cara pengambilan keputusan adalah dengan musyawarah namun hasil musyawarah membuahkan keputusan mutlak.
“Dia hanya kelak akan diberi kata yang telah masak saja.” (Hal. 110)
Cara ini kemudian memunculkan permasalahan dalam pelaksanaan. Hal ini disebabkan oleh keterpaksaan menjalankan keputusan. Sehingga kadang-kadang menimbulkan pembangkangan atau minimal pelaksanaan keputusan dengan setengah hati.
Faktor otokrasi menjadi permasalahan adat lain yang muncul dalam cerita. Pemaksaan keputusan membuat Hayati terpaksa melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan. Pemaksaan itu juga menyebabkan Zainuddin terpaksa membiarkan pernikahan Aziz-Hayati terjadi.
Adat Minangkabau menganut kekerabatan menurut garis keturunan ibu atau lebih dikenal dengan nama matrilineal. Sistem ini berbeda dengan Mengkasar yang patrilineal.
Problem soal kekerabatan sebenarnya sudah diperkirakan oleh Mak Base beberapa waktu sebelum Zainuddin meninggalkan Mengkasar.
Akan tetapi saat itu Zainuddin kurang mempercayai kata-kata Mak Base tentang adat di Minangkabau. Ia menganggap adat Mengkasar dan Minangkabau sama saja.
Setelah sampai dan tinggal beberapa lama di Minangkabau, akhirnya Zainuddin menghadapi kenyataan seperti yang pernah dikatakan Mak Base.
“Sehingga lama-lama insaflah dia perkataan Mak Base seketika dia akan berlayar, bahwa adat di Minangkabau lain sekali. Bangsa diambil daripada ibu. Sebab itu walaupun seorang anak berayah orang Minangkabau, sebab di negeri lain bangsa diambil dari ayah, jika ibunya orang lain, walaupun orang Tapanuli atau Bengkulu yang sedekat-dekatnya, dia dipandang orang lain juga. Malang nasib anak yang demikian, sebab dalam negeri ibunya dia dipandang orang asing, dan dalam negeri ayahnya dia dipandang orang asing pula.” (Hal. 27)
Pada waktu itu Minangkabau adalah satu-satunya wilayah yang menganut kekerabatan matrilineal. Sebab di Minangkabau peran ibu sebagai pusat regenerasi menjadi pusat perhatian. Sehingga status ibu sangat dihormati.
Dengan demikian faktor kekerabatan matrilineal yang dianut Minangkabay menjadi permasalahan adat lain yang muncul dalam cerita novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka ini.
Penutup
Berdasarkan pembahasan dalam Bab III, maka dapat dirumuskan empat macam permasalahan adat yang muncul dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka.
Pertama, sikap ninik mamak Hayati yang terlalu memperhitungkan masalah bako meski sebenarnya kedudukan bako sendiri lemah karena ia hanya saudara dari ayah, padahal kekerabatan di Minangkabau adalah menurut garis keturunan ibu.
Kedua, status Zainuddin dalam adat Minangkabay terutama di wilayah Batipuh. Hal itu dipersulit dengan cara meminang yang salah.
Ketiga, faktor otokrasi sebagai dasar politik di wilayah Batipuh. Faktor ini sesuai sifat kelarasan Koto Piliang yang dianut oleh Batipuh sebagai bagian wilayah Luhak Tanah Datar. Pemaksaan, sebagai inti dari otokrasi, membuat Hayati terpaksa melakukan sesuatu yang tidak ia inginkan yakni menikah dengan Aziz. Padahal Hayati menginginkan menikah dengan Zainuddin.
Keempat, faktor sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau yang menyebabkan Zainuddin dipandang sebagai orang asing di kampung halaman tempat ayahnya lahir dan dibesarkan.
Dalam karangan ilmiah ini hanya dibahas tentang permasalahan adat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka. Maka disarankan kepada peneliti lain untuk meneliti matra lain dari novel tersebut seperti tema, tokoh, atau latar. Selain itu peneliti lain juga dapat mengangkat tema adat lain dalam novel Hamka yang lain.
* * *
KI saya diterima sama Pak Kartono pada 19 Desember 2002. Jadi tulisan di atas ini adalah asli tulisan saya lebih dari 10 tahun yang lalu. Jadi wajar kalau masih banyak labilnya. Lah sekarang saja tetap banyak labilnya.
Kalau sekarang saya malah menelisik pada pertentangan dua aliran konservatif dan modern di adat Minang, plus galaunya Zainuddin, sama apa kira-kira alasan Hamka memberi nama tokoh dengan “Dt …..”.
Semoga tulisan di atas dapat membantu teman-teman yang belum pernah baca novel ini. Okelah mungkin akan spoiler, tapi toh ini novel dari zaman yang sudah lama, nggak mungkin juga disembunyikan kan?
😀
One thought on “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”