Orang yang Lebih Bersyukur

Pernah punya mimpi? Saya yakin sih pernah, setidaknya yang cowok pasti pernah mimpi basah. Maksudnya, mimpi kehujanan.

Pernah merasakan sebuah mimpi menjadi kenyataan? Dalam hal kecil, pasti pernah. Misalnya mimpi ingin makan cimol, tahu-tahu di depan rumah ada tukang cimol lewat, dan kita beli. Atau hal level alay tapi krusial untuk seorang fans, seperti waktu saya berhasil nonton Inter Milan langsung di depan mata. Atau sampai hal besar kayak saya dulu bermimpi untuk bisa menulis di surat kabar, dan akhirnya terwujud juga pada 6 Januari 2006. Selengkapnya baca di buku saya yang judulnya Oom Alfa. *tetep promosi*

Ya, salah satu mimpi dalam hidup saya adalah menjadi penulis buku, dan sekarang mimpi itu sudah jadi nyata. Relevan dengan terwujudnya mimpi itu, kemarin saya jadi pembicara di talkshow “Dari Blog Jadi Buku” di FX Senayan. Ada satu pertanyaan dari Mbak Momod.

“Apa yang berubah dari kalian sejak jadi penulis buku?”

Saya menjawab dengan sebuah pernyataan yang diakhiri dengan:

“Saya menjadi orang yang lebih bersyukur.”

Mimpi jadi nyata itu selayaknya tidak dibanggakan berlebihan, tapi disyukuri. Kalaulah saya menggunakan media sosial saya untuk mewartakan kabar gembira atas nama Oom Alfa, itu tentu kewajiban saya untuk memperkenalkan Oom Alfa sebagai anak kandung saya. Kebetulan, proses pembuatannya sama dengan proses pembuatan bayi mulai dari terbentuknya zygot sampai partus.

Kenapa begitu?

Begini. Alfa (tanpa Oom) adalah bagian dari masa lalu saya yang syukurnya nggak melulu mulus. Ketika teman-teman saya naik Ninja, saya naik sepeda. Saat teman-teman saya naik sepeda motor matic–saat itu baru booming–saya baru dapat Alfa. Bahkan Alfa juga paralel dengan yang lainnya. Saat teman-teman saya punya handphone kamera, saya baru dibelikan handphone sejuta umat, itupun pegangnya satu berdua alias sepekan-sepekan sama adek saya. Atau sampai kuliah, ketika teman-teman sudah mulai berlaptop, bahkan ada yang Mac, saya baru dibelikan sebuah desktop.

Ketika saya sedang ngemper ngetik di rental, desktop di kamar kos adalah mimpi saya. Terwujud? Iya, terwujud di semester 6 mau habis. Jadi saya pakai komputer cuma 1,5 semester. Lama ya? Iya, tapi toh dengan segala sesuatu yang tampaknya terlambat itu, saya bisa kok lulus S1 dalam waktu 3,5 tahun.

Menjadi miris bagi saya begitu membaca berita ada anak-anak yang bahkan sampai ekstrem bunuh diri semata karena tidak dibelikan handphone atau sepeda motor. Itu salah satu maksud saya menulis kisah saya dengan Alfa. Supaya orang-orang tahu bagaimana dilemanya hidup bersama sebuah benda yang tidak benar-benar kita inginkan, tapi sementara ini adanya ya itu, nggak bisa lebih. Saya ingin, kalau anak yang mau bunuh diri karena nggak dibelikan sepeda motor, lalu baca Oom Alfa, mereka akan berubah pikiran.

Segala kisah yang ada di Oom Alfa, itu sejatinya ya belum semua. Masih ada kisah ketika saya part time membersihkan jendela di kampus. Iya, pegang ember kemana-mana dengan ramuan jitu yang bikin kaca kinclong. Saya ingat benar bahwa dulu ketika interview, ada user yang mengira “window” yang saya tulis sebagai pengalaman kerja pembersih jendela itu sebagai “window” buatan Bill Gates. Padahal ya ini “window” jendela beneran. Makanya kalau ke kampus ketemu sama Mas-Mas yang jadi mandor saya pas ngelap jendela, ya masih menyapa dengan akrab.

Masih ada juga cerita nggak penting soal menuntun Alfa dari perempatan Condong Catur sampai Paingan. Kurang lebih 10 menit naik motor kecepatan biasa, dan dituntunnya malam jam 10. Pun kisah ketika saya disuruh berangkat duluan 30 menit ke Prambanan, tapi kemudian di daerah Kalasan sudah disalip sama teman-teman saya yang berangkat belakangan.

Juga masih ada cerita ketika saya dan Alfa bertualang mencari rental komputer yang masih buka di malam hari sepulang latihan PSM. Masih ada lagi cerita ban robek dalam 24 jam, sementara harga ban dalam adalah 30.000 padahal uang saya tinggal 50.000. Dan aneka peristiwa kecil lainnya.

Semalam saya nginap di kosnya Coco. Buat yang sudah baca Oom Alfa, Coco ini ada di Bab “Dari Tadi Aku Kemana?”. Dia bilang kalau nggak kebayang bahwa saya dulu itu sampai sebegitu ngenesnya. Padahal selama kuliah, kalau main yang bareng sama Coco dan Donalers yang lain.

Ya semacam itu. Banyak peristiwa di masa lalu yang tidak mudah, tapi ketika dimaknai lebih dalam, itu adalah bagian dari perwujudan mimpi. Dan kalau mimpi terwujud? Mari kita bersyukur.

Saya tidak ingin Oom Alfa hanya sekadar sebuah novel yang dipajang di toko buku. Saya ingin ada nilai yang bisa diperoleh sama yang baca. Seluruh konteks peristiwa di dalam buku saya adalah nyata. Seluruh keajaiban, termasuk ganti busi 3 kali dalam waktu 30 menit, itu juga nyata. Semua saya tuliskan setidaknya agar yang baca tahu bahwa dalam kesusahan pun, ada banyak hal yang bisa disyukuri. Tanpa tendensi promosi, buat orang tua, kalau anak-anak kalian mintanya kebanyakan, coba deh dikasih suguhan Oom Alfa 🙂

Dengan menuliskan, dan kemudian membiarkan orang lain membaca kengenesan itu, saya menjadi bersyukur bahwa saya pernah menjalani masa yang tidak mudah itu. Tulisan ini adalah penjabaran dari jawaban saya pada saat talkshow kemarin.

Soal talkshow ini juga agak bikin mikir. Dulu SMA saya mempresentasikan buku orang, mewakili kelas, dan syukurlah menang. Waktu kuliah, saya pernah jadi MC bedah buku “Ekonomi Farmasi” punya Romo Spillane. Dan sekarang justru saya yang jadi pembicaranya.

Pernahkah kita meragukan kalau dunia dan semesta ini keren?

Selamat malam 🙂

3 thoughts on “Orang yang Lebih Bersyukur”

Leave a reply to Roy Saputra Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.