“Pinter cucu kakek,” ujar Pak Tino kepada cucunya, Mora, setelah lelaki mungil itu mengambilkan asbak.
“Pinter itu sebenarnya apa kek?” tanya Mora.
“Pinter itu kalo kamu mengerjakan sesuatu dengan fasih, Mora. Selain itu, pintar itu kalau kamu bisa mengatasi masalah dengan baik.”
“Bukannya di sekolah dibilang, kita sekolah biar pintar kek?”
Pak Tino mengambil rokok klobotnya, sambil menggulung benda keramatnya itu ia berkata, “Sekolah tinggi-tinggi nggak ada gunanya Mora, kalau kamu tidak bermanfaat bagi orang lain. Pintar itu lebih dari sekadar sekolah. Memangnya yang sekolah tinggi-tinggi itu bisa nge-sol sepatu? Nggak kan?”
“Iya sih kek. Lalu gimana caranya biar Mora tetap pintar? Kan katanya tadi Mora pintar?”
“Cucu kakek pandai juga bertanya ya. Gampang kok Mora. Kalau kamu sudah pintar, tetaplah mendengarkan orang lain. Di dunia ini orang pintar itu banyak, tapi sebagian terjebak.”
“Pada apa kek?”
“Terjebak dalam diri sendiri, sudah merasa pintar sendiri.”
“Lalu kek?”
“Lalu mereka nggak ada mudah menerima perubahan. Padahal bumi saja berputar. Artinya perubahan itu adalah bagian dari hidup.”
“Jadi kek?”
“Selalu dengarkan orang lain, Mora. Pikirkan pendapat orang lain, olah dengan kepintaran kita, dan cari yang terbaik. Kita manusia Mora, pasti nggak sempurna.”
Mora mantuk-mantuk ringan. Pak Tino tersenyum simpul sambil menyalakan rokok klobotnya.