Kisah Pria Tua, Kersen, dan Hujan

Pria tua itu selalu duduk di bawah pohon kersen kala lewat. Pria tua dengan segala kisah hidupnya. Pria tua yang merasa nyaman dengan bisa beristirahat di bawah pohon kersen. Pria tua yang selalu mengutuk kehadiran hujan. Baginya hujan itu mengganggu istirahatnya.

Atau mungkin, mengganggu kebersamaannya dengan pohon kersen.

Pria tua ini tidak pernah melewatkan waktu istirahatnya tanpa pohon kersen. Ia duduk dibawah pohon itu, mengagumi pohon kersen itu, di dalam hati. Pun ia pula yang merasa bunga gladiol tidak cocok ada disitu. Apalagi kumbang dan kupu-kupu. Itu mengganggu.

Parkit? Ah, biarlah ia diatas sana.

Telah berkali purnama lewat, pria tua memandang pohon kersen dalam keadaan yang nyaris tanpa asa. Ada apa?

Pria tua tidak dapat berbahasa layaknya pohon kersen kepada hujan, hujan kepada awan, awan kepada parkit, atau parkit kepada bunga gladiol. Ia hanya dapat berbahasa sendiri. Ia, pria tua, yang sendirian, pria tua dengan kesakitannya, dengan asa yang tersisa, merasa bahwa pohon kersen itu terlalu indah untuk berdiri tanpa asa seperti sekarang.

Ia masih bisa lebih dekat dan lebih indah.

Semakin banyak purnama lewat, semakin perih ia melihat keadaan pohon kersen. Semakin layu, semakin galau, dan tentunya tanpa asa.

“besok, akan kuselamatkan kamu. Kamu itu berharga, daripada kamu hanya menunggu hujan yang tidak kunjung tiba. Toh, hujan itu mengganggu. Besok kamu akan menjadi keindahan di dalam rumahku”

Petang menjelang, hujan yang sudah berkali purnama tiada tiba itu, muncul juga akhirnya. Pria tua hanya tersenyum kala hujan tiba. Toh, hujan tidak akan menghalanginya untuk semakin dekat dengan pohon kersen. Ia semakin tekun mengasah kapaknya.

Tiba saatnya, kita berdekatan, dan saling menyelamatkan.

Pagi tiba, pria tua menatap pohon kersen yang sejatinya dalam keadaan lebih baik. Mungkin karena telah bertemu hujan. Ia memandang pohon itu berdiri untuk terakhir kalinya.

“Kita akan bersama segera”

Dengan tekun, ia menebang pohon itu. Ini bukan untuk menyakiti. Ini untuk maksud lain yang lebih baik, lebih indah.

Karena ia yakin pohon kersen pun tidak kesakitan

Petang menjelang, ketika ia membawa pohon itu dengan susah payah ke rumahnya. Ia tidak sabar, ia tidak dapat menunggu esok hari. Maka dengan segera, melewati malam, menjelang pagi, menyelesaikan apa yang ia impikan akan pohon kersen.

Dan ketika matahari terbit, pria tua menyelesaikan suatu meja cantik, dari pohon kersen. Pohon itu kini tidak merana, ia dalam keadaan yang lebih baik, lebih cantik, dan lebih dekat. Itu yang penting.

Ia letakkan meja itu dekat jendela, agar ia bisa menikmati hujan dengan berpangku tangan pada meja kersen ini. Baginya itu suatu kepuasan. Ia bersama kersen, tanpa diganggu rinai hujan.

Mereka aman dibawah atap dan dibalik tembok.

Pria tua itu kini tiada lagi putus asa. Ia merasa lebih hidup. Jauh lebih hidup dari sebelumnya. Bersama meja itu ia melakukan banyak hal. Ia banyak menelurkan karya. Entah untuk dirinya, maupun untuk orang lain.

Ada baiknya ketika semua bisa bahagia.

Pria tua sesekali juga memandang parkit yang datang di sudut jendela. Ia hanya tersenyum, parkit pasti merindukan kersen. Tapi kersen sekarang dalam keadaan yang jauh lebih baik, bersamanya.

Indahnya kehidupan, ketika kehilangan menjadi jalan untuk menemukan.

* * *

terinspirasi dari:

http://dancingintherain-tere.blogspot.com

http://cicilia-menulis.blogspot.com

http://bailaconmigo-jola.blogspot.com

Advertisement

3 thoughts on “Kisah Pria Tua, Kersen, dan Hujan”

  1. Indahnya kehidupan, ketika kehilangan menjadi jalan untuk menemukan.

    Waduuuhhhh…, suka kata-kata ini. Mari terus menulis…

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.