Beberapa menit yang lalu, ada pesan muncul di chat FBku, bunyinya “Piye kabare?”
Sebenarnya itu ucapan yang sangat standar, biasa diucapkan. Tapi agak menggelitik ketika yang menyebutkannya adalah seseorang bermarga Batak. Semakin menggelitik lagi, ketika aku dalam posisi ngobrol langsung dengan sang pemberi pesan (dan saudara-saudaranya), mereka sangat fasih berbicara bahasa Jawa. Sebenarnya nggak aneh juga, toh sejak kuliah mereka sudah hidup di pulau Jawa. Jadi wajar jika kemudian sangat familiar berbahasa Jawa.
Negara kita tercinta Indonesia ini memang punya banyak keunikan, salah satunya bahasa. Negeri ini punya banyak koleksi bahasa, bandingkan dengan negara-negara lain yang bahkan menggunakan satu bahasa (misal Perancis) bersamas-sama. Kita punya Bahasa Indonesia dan segepok bahasa daerah.
Bahasa daerah seolah menjadi keharusan untuk bisa membaur dengan lokasi yang baru. Waktu masih kecil, dimana di rumah tidak dibiasakan berbahasa Minang, aku agak kesulitan juga saat berbahasa dengan teman. Sampai suatu momen, seorang guru menyuruhku memanggil anaknya, “Kecekan ka si X, diimbau amak”. Poin di percakapan tadi adalah kata Imbau. Pada saat mendengarnya, aku sama sekali tidak tahu artinya. Tapi malu juga mau tanya. Ya dilogika sendiri, kebetulan benar. Itulah yang aku sebut momen berbahasa.
Memasuki era kehidupanku di Jawa, beda lagi. Meski sudah dibekali siji loro telu sampai sepuluh di rumah, tetap saja aku belum memperoleh momen berbahasa itu. Uniknya momen itu didapat lewat kata yang agak kurang sip: Asu.. hehe.. Ceritanya di hari ketiga Masa Orientasi Siswa SMA dulu, ada forum diskusi. Seorang teman asli Jogja mengacungkan tangannya ingin berpendapat, eh ternyata diberikan ke teman yang lain. Spontan ia berucap, “Asu”. Yap, momen sepele, namun itu jadi momenku berbahasa. Perlahan-lahan, berbahasa Jawa mulai menjadi kebiasaan.
Lain halnya dengan era baru kehidupan di Palembang. Dari awal sudah ngeri, soalnya ada kesamaan dengan dua bahasa yang sudah kukuasai sebelumnya. Model banyak O ala bahasa Minang, dan kesamaan beberapa istilah dengan bahasa Jawa. Tapi, mau tidak mau, menguasai bahasa lokal itu penting. Kali ini momen berbahasanya tidak terlalu spektakuler, hanya muncul ketika seorang teman menyebut “Galak pempek dak?” tanya-tanya sedikit muncullah statement “Galak tu sama dengan Gelem” Owwww… Yah, sesederhana itu, dan sejak itu mulailah era berbahasa Palembang.
Memang, apa yang aku lakukan ini hanya mencakup permukaan saja, hanya memaknai bahasa-bahasa pergaulan. Jadi ingat dulu belepotan untuk menyebut gerah, nderek langkung, dan sejenisnya yang halus-halus. Namun setidaknya, ada bekal untuk sekadar mengerti bahasa lokal. Disadari atau tidak, banyak kok gunanya. Itu sebabnya aku agak menyesal hanya mengerti arti kata Awa’ai (selesailah sudah) ketika berada 9 hari di Nias. Dan aku masih memegang kata-kata: aya naon, sabaraha, kadie yang ternyata cukup untuk modal keliling Bandung sendirian.
So, what next? Semoga ada tantangan berbahasa yang baru.
Semangat!!!