Tag Archives: religion

Sarung Tangan

Setelah pergumulan sekian waktu, akhirnya saya memutuskan untuk membeli sarung tangan kiper. Yah, secara nominal sih nggak banyak. Saya pernah kalap beli buku dengan harga 2 kali lipat sarung tangan ini. Hehe..

Bermula dari ngelihat sebuah sarung tangan keren di mall lippo dengan harga 199 ribu. Pastinya keren itu. Saya sih ogah beli yang ecek-ecek 20-30 ribu kalau hanya untuk rusak dalam waktu singkat. Tapi dipikir-pikir lagi, dan akhirnya ditemukan sebuah model yang harganya lebih masuk akal. Jadilah saya beli.

Oke, kenapa dengan sarung tangan?

Tentu kejadian kuku galau waktu futsal bareng Raditya Dika masih membekas. Sejak itu saya memang sudah mulai mengubah teknik menangkap bola saya yang dulu buruk menjadi sedikit tidak buruk. Sejak itu juga saya mulai lebih cermat, tapi ya namanya yang nendang bola kencang-kencang, siapa yang ngira sekeras apa itu bola.

Lagipula jari-jari saya nggak kokoh, perlu penopang. Dan berdasarkan panggilan jiwa (berhubung dipecat di posisi mana-mana) jadilah saya konsen di kiper. Hmmm, sebenarnya ada 1 quote yang bikin saya termotivasi untuk mencoba lebih baik. Itu dari pemilik blog ini yang bilang, “saiki dadi kowe” atas sebuah tepisan sederhana di waterboom. Ya, setidaknya ada apresiasi 🙂

Dan sarung tangan itu mulai membantu saya kemarin.

Menjadi kiper itu remeh, seperti seorang teman bilang, “halah, jadi kiper doang, nggak ada kerjaan.”

Tapi saya tahu kok, menjadi kiper tidak sesederhana yang terlihat. 🙂

Sebuah Percakapan

Aku datang, sendiri, ke tempat yang sangat aku rindukan ini. Sebuah tempat di ketinggian, dengan suasana sunyi senyap nyaris horror. Tapi meski ada dua pohon beringin disini, aku tidak merasa ketakutan. Sosok tersenyum yang menjulang di depanku membuatku tidak merasa takut sama sekali.

“Mengapa kau datang anakku?”

“Sekadar ingin bertanya.”

“Tanyakanlah.”

“Aku mensyukuri yang aku dapat sepenuhnya, terima kasih sepenuh hidupku untuk itu. Tapi ada sedikit yang aku heran.”

“Apakah itu?”

“Aku memohon untuk satu hal, namun yang datang kepadaku justru hal lainnya. Apakah maksud dari itu?”

Sosok itu tersenyum penuh ketenangan. Damai yang tidak pernah aku rasakan. Ah, mana ada damai di dunia yang semakin keras? Mana ada damai ketika semua sibuk mengetengahkan ego sendiri dengan dalil kepentingan bersama? Mana ada damai ketika semua sibuk membenarkan diri sendiri? Mana ada damai ketika setiap masukan yang diberikan dianggap sebagai aib?

Hanya senyum itulah yang menenangkan.

“Kamu bermasalah dengan yang datang itu?”

“Tentu tidak.”

“Kamu bersyukur?”

“Dengan sepenuh hidup.”

“Kenapa kamu masih bertanya?”

Aku terdiam. Sebuah pukulan balik untukku.

“Kamu berdoa sepanjang waktu untuk sebuah permohonan. Aku meyakini itu bukanlah yang terbaik untukmu.”

“Artinya aku mendapat yang lain, yang sejatinya lebih baik?”

“Aku hanya memberikan yang terbaik untukmu.”

“Terima kasih untuk itu.”

“Pulanglah. Nikmatilah berkatmu.”

Aku menunduk sedikit, lalu mundur. Kedamaian ini memang hanya berlangsung sebentar. Sedikit lagi aku akan menikmati lagi dunia tanpa damai. Ah, itu kan nanti.

Anak tangga yang kecil-kecil itu kupijak dengan santai. Setiap pijakan mengingatkanku pada percakapan tadi. Aku memohon dengan sangat untuk suatu hal, namun aku justru diberikan hal yang lain. Sebuah hal yang pada akhirnya menjadi nyata bahwa itulah yang terbaik untukku. Jadi untuk apa aku mempertanyakan?

Bahwa jalan terbaik untuk hidup adalah bersyukur. Aku perlahan mencoba memahami itu lewat anak tangga yang membawaku pada dunia yang sebenarnya.

Menghormati Prinsip

Kemarin, Sabtu, dapat telepon dari Bapak saya yang awesome 🙂 Selain pertanyaan mendasar seperti sehat dan lagi ngapain, tentunya ada pertanyaan soal pasangan hidup. Yah, namanya kemarin itu lagi nyari, masih aja ditanyain. Hedeh. Tapi satu yang pasti, Bapak menekankan, SEIMAN kan?

Itu satu.

Nah barusan ini telepon lagi sama Mamak saya yang tak kalah awesome. Rada hebat ya saya punya dua orang tua yang sangat-sangat awesome, hebat, dan terkadang gila. Gila-gila nekat malah. Mamak sih nggak nanya soal ada atau belum. Ya, tampaknya sudah tahu perasaan saya yang ogah ditanyai begituan. Tapi intinya, Mamak menekankan lagi, harus SEIMAN dan Mamak maunya UMURNYA di bawah saya (lebih muda).

Well, meski saya termasuk ngeyelan, tapi untungnya dalam hal ini orang tua saya berhasil membuat saya tidak membantah mereka. Saya menerima syarat mereka dengan tanpa protes. Yak, SEIMAN dan LEBIH MUDA. Nggak banyak syarat lain. Mungkin karena Bapak dan Mamak berasal dari dua suku yang berbeda, mereka nggak mempermasalahkan suku mana. Toh, kalau dari suku selain Batak dan Jawa, maka keluarga saya akan menjadi sangat meng-Indonesia. Iya kan?

Yang saya heran, adalah orang lain di luar saya dan keluarga. Pertama, kalau saya single, apa coba urusannya? Okelah, even saya pun kadang menjodoh-jodohkan, tapi saya selalu berusaha melihat respon. Kalau yang dijodoh-jodohkan nggak suka, ngapain diterusin? Bikin orang sakit hati, nambah dosa malah. Huhuhu…

Dan kedua, ketika DENGAN TERPAKSA saya berkoar tentang dua kriteria utama tadi, masih ada saja yang MEREMEHKAN.

“Halah, nanti kan juga bisa berubah kriteriamu.”

“Nanti kan juga bisa diajak.”

Sungguh ya, saya nggak habis pikir soal ini. Soal Agama, saya angkat jempol dengan orang-orang yang mampu memfasilitasi perbedaan mendasar itu. Bos DP misalnya, dengan sip menceritakan itu di berbagai posting blognya. Masalahnya, secara psikis saya nggak bisa. Jadi mosok ya kudu dipaksakan? Soal ajak mengajak juga, wah, secara psikis saya nggak bisa. Itu aja masalahnya.

Lalu soal ketidakmauan saya menjadi brondong, itu juga mendasar kan? Salut deh buat yang bisa memfasilitasi perbedaan usia itu, tapi lagi-lagi, saya pribadi nggak bisa. Lha kalau saya nggak bisa, masak mau dipaksa?

Setiap orang kan punya levelnya sendiri-sendiri.

Ini mungkin yang bikin saya bergerak perlahan, secara ya, di dunia kerja sekarang yang saya temui hanya kayu manis dan cacing tanah. Hahahahaha..

Satu hal, dialog, gojeg, dan sejenisnya itu sangat diperkenankan, TAPI kalau sudah menyinggung soal prinsip, buat saya pribadi, ini bukan hal yang layak untuk diperbincangkan. Saya hormati prinsip situ, jadi kita sama-sama menghormatilah. Nggak susah sebenarnya, kalau sama-sama mau.

Ehm, terlepas dari itu, saya bangga pada ORANG TUA SAYA yang LUAR BIASA! 🙂