Tag Archives: macam macam

Dan Satu Lagi Mimpi Jadi Nyata

Saya sedang di kamar, dan tentu saja bukan kamar mandi, karena saya sedang berada di depan Tristan. Di samping saya ada 10 eksemplar buku yang semuanya sama persis. Bukan buku yang biasa-biasa saja bagi saya, karena disitu tertulis nama “Ariesadhar” sebagai penulisnya. Di halaman terakhir bagian dalam juga ada nama dan foto saya.

Judul buku itu adalah “Oom Alfa”, ditulis oleh saya, dan diterbitkan oleh Penerbit Bukune. Satu-satunya penerbit yang ada di otak saya ketika saya menuntaskan naskah “Oom Alfa” itu.

Oom Alfa

Dan saya masih setengah percaya bahwa saya sekarang sudah punya buku sendiri. Makanya, sambil menulis posting ini, saya masih suka lirik-lirik ke tumpukan buku bercover hitam bergaris kuning itu. Masalahnya, di kamar ini memang nggak ada cewek atau bahkan foto cewek sekalipun yang bisa dilirik. Maklum, jomblo.

Ada sekian “kalau” yang kemudian menjadi titik kunci kenapa kemudian mimpi saya untuk menjadi penulis buku akhirnya bisa jadi nyata.

11 Januari 2011, persis ketika saya berganti usia, atasan saya di kantor yang lama memanggil saya ke dalam ruangannya yang mirip akuarium *if you know what i mean*. Sesudah mengucapkan selamat ulang tahun, PakBos bilang macam-macam hal, yang pada intinya kemudian adalah…

…sebuah tawaran untuk promosi.

Saya kerja belum genap 2 tahun, dan sudah ditawari jabatan baru yang lebih tinggi. Hanya orang gila yang akan menolak tawaran semacam itu.

Dan kebetulan, saya termasuk yang gila. Tawaran promosi itu saya tolak. Kenapa? Semata-mata karena hati saya memang menolaknya. Dan ada seseorang yang menjadi tempat curahan hati saya ketika ada tawaran ini, dia selalu bilang, “ikuti kata hatimu”. Perkara tawaran promosi itu yang kemudian menuntun saya mencari-cari, apa sih passion saya yang sebenarnya. Ada kali 1-2 minggu saya bergulat penuh nafsu kegamangan. Sampai akhirnya saya menemukan kembali blog ini, yang pernah saya buat tahun 2008. Ada kok riwayatnya disini, cari aja.

Kalau saja PakBos di kantor lama tidak menawari saya promosi, tidak akan ada blog ini.

Lalu, kemudian, seseorang yang menjadi faktor kunci keputusan saya menolak promosi dengan selalu mengingatkan saya soal hati itu, mengirimi saya link blog-nya. Bahkan saya baru tahu kalau dia itu bisa menulis, bagus pula. Saya kemudian menjadi penikmat setia blognya, bahkan sesudah dia tidak lagi mengirimi saya link postingan barunya.

Sampai suatu saat, dia menulis sebuah cerita pendek. Ahay! Terakhir kali saya menulis cerita pendek adalah ketika perjanjian Renville. Jadi sudah lama sekali saya tidak menulis cerpen. Terpacu oleh blognya, saya kemudian mulai menulis cerita pendek. Sebelumnya, blog saya memang hanya berisi refleksi-refleksi ringan saja, kadang-kadang malah copy paste berita yang ditambahkan sedikit komentar.

Kalau saya tidak membaca sebuah blog yang itu, maka saya tidak akan pernah mulai menulis cerpen.

Cerpen demi cerpen kemudian dihasilkan dari sebuah inspirasi yang datang itu. Hingga kemudian ketika saya buka-buka laptop, saya melihat sebuah foto bersama Alfa. Iseng, saya kemudian membuat posting khusus soal itu. “Cerita Alfa” adalah awal mula dari semuanya. Memang, Alfa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari perjalanan kehidupan saya.

Sebagai orang yang baru kembali menulis sesudah sekian tahun tidak menulis, naskah tentang Alfa menjadi sebuah PR besar bagi saya, yang pada akhirnya memang selesai juga. Bagi saya, harus ada cara buat saya untuk menjadi penulis di penerbitan mayor, karena itulah yang ada di benak saya ketika saya ogah menapak tangga karier yang lebih tinggi–waktu dapat tawaran dulu.

Nyatanya, ya, jalannya tidak mudah. Tapi tidak perlulah saya berkisah soal ketidakmudahan itu. Mungkin nanti jatahnya ada di kisah benda-benda mati saya yang lain, seperti si LEPI–laptop sebelum Tristan–, atau juga Bang Revo atau Si BG. Akan ada waktunya.

Masih ada sederet kalau yang lain, sampai kemudian “Oom Alfa” bisa mendarat di kamar saya. Sebagai penulis, saya mengalami fase yang lebih baik daripada J.K. Rowling. Naskah pertama saya tidak ditolak. Iya sih, naskah kedua dan ketiga saya yang bergenre Romance malah sudah ditolak. Bahkan kata “Oom Alfa” itu adalah judul asli dari naskah yang saya kirimkan ke Bukune, alias tidak diubah sama sekali.

Melalui posting ini, saya hendak mengucapkan terima kasih kepada seluruh pembaca setia ariesadhar,com atau yang dulu masih bernama ariesadhar.wordpress.com, karena disitulah sebenarnya embrio dari “Oom Alfa” ada. Kisah-kisahnya masih ada kok di blog ini, tapi saya simpan agar tidak kebanyakan spoiler. Nanti kalian nggak beli. Uhuk.

Terima kasih kepada seseorang yang sudah memberikan petunjuk soal hati pada saya, berikut juga ilham untuk turun tangan menulis cerita pendek, yang lantas malah jadi novel ini. Saya berharap bisa mengucapkan terima kasih secara langsung sama kamu.

Terima kasih juga kepada Bukune, Mbak Windy, Fial, dan Elly, serta tim lain yang ikut serta dalam perdamaian dunia…

…eh, salah, ikut serta dalam proses meluncurnya “Oom Alfa” ke pasaran. Saya ingat betul bahwa Bukune adalah satu-satunya penerbit yang ada di bayangan saya ketika “Oom Alfa” ditulis. Bahkan file-nya, sudah menyesuaikan standar pengiriman naskah ke Bukune. Entahlah, tapi dari hati saya keukeuh bahwa “Oom Alfa” hanya untuk Bukune.

Seperti biasa, mimpi saya akhirnya tercapai dengan tidak mudah. Ada usaha dan rangkaian doa disana. Tentu saja, saya akan berbuat yang terbaik pada buku pertama saya ini. Kalau bisa ya best seller, atau apapun yang lebih baik dari itu.

Thanks all!

🙂

Suami Bunuh Istri dan Orang-Orang yang Ingin Jadi Suami

Judul macam apa itu?!?!

Judul macam itu ditulis oleh orang yang ngakunya sudah nulis di 3 antologi? Iye.. iye.. Kalau judul saya rada bagusan, saya mah udah nggak nulis di antologi, tapi bikin antologi sendiri. Udah bisa bikin buku sendiri. Udah kaya dari buku. Susah amat.

Tapi intinya gini. Tadi saya nonton berita soal pembunuhan istri oleh suaminya. Berita dan penyebabnya macam-macam. Misal disini, disini, dan disini.

Dalam kejombloan saya, pikiran ini kemudian terusik. Lha saya ini ya, yang namanya mukul wanita itu nggak pernah (paling mentok nepok jidatnya si cici). Buat saya, wanita itu bukan makhluk untuk dikuasai dan dikasari secara fisik, tapi disayangi. Sengegemesin dan sebikinemosinya mereka.

Tentu saja ni disebabkan oleh masa kecil keluarga saya yang baik-baik. Syukur kepada Tuhan. Seingat saja, dari jaman saya bisa mengingat, nggak pernah ada cerita Bapak menyentuh Mamak saya sambil marah-marah. Jadi saya nggak pernah lihat adegan suami nampar istri, nggak pernah adegan suami memarahi istri dengan frontal, nggak pernah lihat adegan istri lempar piring ke suami, dan lainnya. Yang saya lihat adalah rumah tangga yang penuh dengan perjuangan dan penuh dengan kesabaran. Proud to be part of that!

Which is, saya pernah menjadi saksi ketika di pagi buta seorang saudara datang. Saya bukain pintu, dan tidak menduga kalau dia datang. Awalnya saya kira berkunjung, eh ternyata kabur karena takut sama suaminya. Sampai sekarangpun saya masih mendengar bahwa kekerasan itu masih ada. Bahkan sampai saking frontalnya, ada anak mereka yang bilang ke Bapaknya, “kalau sampai kau pukul Ibuku, kubunuh kau!”

Hey, itu anak yang ngomong ke Bapaknya lho! Sangar e rek..

Hidup ini memang sungguh semakin keras. Saya mulai merasakan pembenaran kepada orang-orang yang kemudian nggak tahan lalu bunuh diri. Saking kerasnya, kadang kesabaran pun nggak cukup untuk menghadapinya.

Cuma, dalam kaitan dengan perkawinan. Apakah membunuh istri itu hal yang masuk akal? Bahwa membunuh saja sudah salah, apalagi ini membunuh orang yang kita bawa ke depan Tuhan dan kita minta untuk dipersatukan seumur hidup dengan kita. Ini orang yang bersama-sama dengan kita mengucap segala macam janji di hadapan Tuhan untuk selalu bersama. Dan… dibunuh?

Saya ada di usia ketika teman-teman bergantian menikah (bukan berganti-ganti menikah loh yaaa…)

Saya ada di lingkungan yang memutuskan untuk menikah itu mikir berkali-kali. Bahkan ada nih teman yang akhirnya menikah setelah kena skak dengan pertanyaan, “emang kowe bakal siap kapan?”

Lantas, apakah menikah itu kemudian hanya dimaknai sebagai legalisasi seks di muka agama dan negara? Apakah menikah itu kemudian hanya menjadi hal yang terjadi karena desakan lingkungan? Apakah kemudian menikah itu dilihat sebagai sebuah institusi yang tidak sakral sampai partnernya kemudian bisa dibunuh?

Saya tetap ingin menjadi suami bagi seorang wanita kelak. Dan saya akan belajar dari keluarga tempat saya ditumbuhkembangkan. Meski jelas darah Batak di arteri saya tentu akan buat saya nggak sesabar Bapak saya sih. Saya juga tetap ingin menjadi Bapak yang baik bagi beberapa orang anak.

Tapi pertanyaannya, sama siapa?, siapkah saya? Kalau siap, mana calonnya? Kalau nggak siap, kapan siapnya? Nggak tahu. Tapi entah kenapa, saya meyakini akan mendapatkan jawaban-jawaban itu dalam waktu yang tidak lama. Ini keyakinan saya saja sih. Sangat mungkin untuk keliru.

Yang jelas, keluarga itu adalah sakral, dan mengakhirinya dengan membunuh, apalagi dengan sebab yang sepele, buat saya adalah bentuk pengingkaran terhadap apa yang terucap di hadapan Tuhan. Kalau Tuhan tidak pernah mengingkari janjinya pada manusia, pantaskah kita untuk ingkar?

Jawabannya dalam hidup kita masing-masing *ala Romo Hari*

😀