Category Archives: Review

:)

Review: Student Guidebook For Dummies (Kevin Anggara)

Akhirnya dapat juga buku ini. Sesudah berputar-putar di toko buku yang ada di Cikarang–yang memang hanya ada satu–dan gagal, saya malah mendapatkan #bukukevin yang bertanda tangan. Jadi total saya sudah punya berapa buku bertanda tangan nih? Sekitar 4 atau 5 sepertinya. berhubung koleksi lain tidak ada tanda tangannya, jadi saya tanda tangani sendiri. Yang penting kan buku yang bertanda tangan.

Buku Student Guidebook For Dummies (SGFD) yang diketik sama Kevin Anggara ini sejak bab awal sudah memperlihatkan bahwa di era modern masa kini, dengan membuat tulisan berkarakter khusus di blog, bisa saja ada editor yang mendapatkan arahan untuk nyasar ke blog itu, dan ujung-ujungnya bisa jadi buku. Bab awal itu adalah…

…pertemuan absurd dengan editor.

Yah, bahkan janjian untuk pertemuannya saja sudah membawa cerita gaib sendiri ketika Kevin dan editor sama-sama mengklaim berada di depan Hotel Mercure dan dekat Sevel tapi tidak saling bertemu. Nah loh, ini buku horor apa buku komedi sih?

BACA AJA BIAR TAHU. HAHAHAHAHA

Buku Kevin ini ceritanya soal sekolah, mulai dari MOS, ulangan, PR, pacaran, gebetan, ekskul, dan sejenisnya. Nah, masalahnya buat saya adalah pada usia saya yang tu…

…juh belas tahun sudah lewat banyak. Uhuk.

Saya itu lulus SMA aja waktu Presidennya belum Pak SBY lho. Pas saya lulusan itu Pak SBY lagi asyik nyanyi Pelangi Di Matamu, lagu andalan pas kampanye. Sekarang Pak SBY sudah mau menjabat dua periode. Jadi secara kontekstual mungkin ada beberapa perbedaan. Sama satu lagi, SMA saya isinya cowok semua, jadi nggak ada ceritanya menggebet teman sekelas, kecuali maho.

Oke, secara kontekstual mungkin kurang cocok buat saya, tapi buat yang lain dijamin sesuai. Bagi kalangan uzur seperti saya, isi buku ini bisa menguak nostalgia masa remaja. Jadi bisa nih kakek-kakek cerita pakai buku Kevin sambil bilang, “dulu Kakek juga ngelempar hasil ulangan nilai 3 ke ring basket lho, cu…”

Untuk anak muda masa kini yang ada pemuda harapan bangsa?

Tersedia aneka tips yang penerapannya dikembalikan pada keinginan masing-masing.

Oya, buku ini saya baca sambil ngemper di Stasiun Senen, dan syukurlah saya sudah dilatih untuk ngakak dikulum, sama halnya dengan latihan nguap ditelen agar nggak kelihatan ngantuk waktu meeting, serta tidur melek agar tetap tampak serius waktu pembahasan supply produk.

NASIB KANTORAN.

Dan sebagai orang Supply Chain, saya agak shock dan ngakak ketika Kevin, si anak SMA, menulis soal…

…Demand Supply.

Buset. Saya belajar bertahun-tahun untuk menjadi seorang Supply Chain Officer, dan Kevin menulis soal itu di bukunya.

*kemudian garuk-garuk laporan demand supply*

Satu lagi, ilustrasi di dalam SFGD ini keren habis, menunjang isinya yang juga keren. Cukup layak dibaca bagi anak sekolahan, dan bakal saya kasih ke Bapak dan Mama saya yang bekerja sebagai guru. Supaya dapat input tambahan dalam menangani anak labil, berhubung buku ini ditulis sendiri sama anak muda labil…

…dan review ini ditulis oleh pemuda dewasa yang juga labil.

#YEAH

The Wolverine: Film Dengan Terlalu Banyak “Kenapa?”

Sudah lama sekali saya nggak nulis review film. Ya memang saya semakin jarang nonton film. Dan semakin jarang nulis soal film. Review saya sebelumnya itu Battleship (16 April 2012), The Avengers (4 Mei 2012), dan Soegija (7 Juni 2012). Memang sih saya juga sempat menonton film seperti 5 Cm, Cinta Dalam Kardus, dan juga Monster University. Cuma nggak tahu kenapa kok malas nulis review.

Jadi mumpung kemarin diajakin nonton The Wolverine, bolehlah kita nulis lagi 😀

Kita semua harusnya tahu tentang Wolverine, karakter yang bagi sebagian orang paling berkarakter dari segambreng tokoh di X-Men. Kalau saya sih, tetap lebih suka Cyclops. Hehehe.

Dalam The Wolverine ini, tokoh Wolverine diperankan oleh Hugh Jackman. Pecinta film tentu tahu soal aktor yang satu ini. Secara umum, Hugh Jackman memang “wolverine banget”.

Sumber: thetorchonline.com
Sumber: thetorchonline.com

Oya, saya bukan pembaca setia komik Marvel, jadinya saya memang tidak terlalu paham plot asli dari cerita yang diterjemahkan ke film ini. Itulah sebabnya saya kasih judul seperti di atas.

Film dimulai dengan adegan di Jepang. Awalnya biasa saja sebelum kemudian saya melihat adegan harakiri dari 3 perwira Jepang, dan adegan Wolverine mengintip dari sebuah tempat di bawah tanah.

Clue utamanya kemudian muncul, yakni sebuah benda yang jatuh dan ternyata adalah bom atom Nagasaki. Yah, saya baru tahu kalau di dalam sejarahnya bom Hiroshima dan Nagasaki ada superhero disana.

Singkat cerita seorang tentara bernama Yashida (Ken Yamamura) sudah mau harakiri tapi diselamatkan sama Wolverine, disuruh masuk ke lubangnya Wolverine alias Logan, dan dilindungi dari dampak bom atom.

Selesai disini.

*kunyang popcorn*

Adegan langsung lompat ke tokoh Jean. Penikmat X-Men dan The Wolverine sejati pasti tahu soal Jean ini. Orang yang dicintai sama Logan, tapi dibunuh sendiri sama dia. Buat saya ya lucu adegan yang ini, wong lagi bermesraan tapi kok kukunya sudah nancep aja di perut.

Ternyata itu hanya mimpi belaka. Jadi jangan heran dengan 2 adegan semula yang sebenarnya kurang korelatif. Kenapa juga harus begitu? Tampaknya sutradara pengen memberikan background cerita utama di adegan pertama, tapi juga hendak memberikan konteks kehilangan tujuan hidup di adegan kedua.

Hingga akhirnya sampai di adegan bangun tidur di tengah hutan. Nah, disinilah cerita sebenarnya dimulai. Tetap saja ada adegan lucu yang ditampilkan di film ini. Salah satu yang buat saya menarik adalah adegan beruang grizzly kencing dengan mengangkat kaki kanannya. Itu beruang beneran kalau pipis begitu ya?

Nah, si beruang kemudian sekarat gara-gara pemburu, lalu Logan menuntut balas. Pas sedang menuntut balas inilah muncul Yukio (Rila Fukushima). Ini juga menurut saya kurang smooth. Tapi ya mungkin memang cerita aslinya begitu sih. Kenapa juga si Jepang ini sampai menemukan Logan di posisi lagi berantem, kenapa nggak pas nangkring di hutan atau apalah.

Sumber: marvel-movies.wikia.com
Sumber: marvel-movies.wikia.com

Yukio kemudian mengakui kalau dia disuruh bosnya, Yashida, yang ingin berterima kasih kepada Logan. Ceritanya si Yashida sakit keras, tapi pengen mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal. Sesuatu yang kemudian membuat Logan sampai ke Jepang.

Iye. Jauh amat.

Dikisahkan kalau si Yashida itu jadi orang kaya raya banget sekali di Jepang. Jadi nyambung juga sih, gimana seorang prajurit waktu muda, kemudian bisa jadi kaya raya waktu tua. Ini kayak di sebuah negeri yang pernah dijajah sama Jepang selama 3,5 tahun. Ada gitu deh sebuah negara yang banyak prajurit menjelma jadi orang kaya di masa tuanya.

Bermunculanlah tokoh semacam Shingen Yashida (Hiroyuki Sanada), juga Kenuichio Harada (Will Yun Lee), dan dua penyegar utama dalam film ini atas nama Viper (Svetlana Khodchenkova) serta Mariko Yashida (Tao Okamoto).

Yashida tua ternyata hendak “mengambil” keabadian Logan untuknya. Disebutkan bahwa Logan yang mimpi buruk terus sepanjang malam itu sudah tidak punya tujuan hidup.

Iya. Ngapain hidup dan nggak mati-mati, tapi nggak punya tujuan hidup? Ini justru pelajaran yang saya petik disini.

Lewat sebuah ciuman, Viper yang menyamar jadi dokter Green berhasil membuat sisi penyembuhan sendiri dari Logan hilang. Dan bersamaan dengan itu, Yashida tua “mati”. Ketika pemakaman malah jadi heboh karena ternyata Yakuza berhasil menculik Mariko, si cucu-nya Yashida.

Sumber: Yahoo.com
Sumber: Yahoo.com

Namanya juga superhero, Logan berhasil juga menyelamatkan Mariko dari Yakuza itu. Mariko dengan bantuan mahasiswa-kedokteran-hewan berhasil mengoperasi Logan untuk mengambil peluru yang ada di tubuhnya. Kan imortal-nya hilang, jadi ada peluru ya sakit. Mariko lalu membawa Logan ke selatan, ke sebuah rumah yang disebutkan tersembunyi.

Disitu kemudian mereka berciuman dan kayaknya sih ML.

*khas film barat.. hehehe…*

Ada banyak kenapa di sini. Pertama, kenapa rumah yang rahasia itu tidak dikunci, atau ditunggui tapi tetap tampak rapi. Kedua, kenapa orang-orang suruhan ayahnya Mariko dan tunangan Mariko, Menteri Keadilan, Noburo Mori (Brian Tee), nggak bisa tahu dengan cepat tempat persembunyian yang sepertinya akrab dengan Mariko itu. Ketiga, kenapa akhirnya mereka ML? *tetep*, dan keempat, kenapa penculikan Mariko berhasil dilakukan padahal dia lagi tidur di samping Logan yang tidur saja nggak nyenyak.

Arah cerita juga membawa Logan dan (tahu-tahu nongol) Yukio ke tempatnya Noburo. Kalau mau yang lucu lagi dan bin garing, ya pas Noburo dipelesetkan nggak sengaja sama Logan jadi Nostramo. Emangnya Nostradamus? Hehe.

Kenapa berikutnya muncul ketika ada Menteri Keadilan yang main sama pelacur bule tanpa pengawalan sama sekali. Ya jelas saja Logan bisa masuk dengan mudah, sampai bisa melempar Noburo ke kolam yang jauh sekali di bawah.

Nah, kenapa berikutnya rada ruwet.

Jadi Shingen minta Mariko ditemukan. Sudah ketemu tuh. Nggak jadi dibunuh. Karena ternyata ninja yang bekerjasama dengan Viper dan Harada berhasil mengambil alih Mariko. Si cantik ini lalu dibawa ke sebuah tempat yang tinggi dan canggih.

Sumber: spinoff.comicbookresources.com
Sumber: spinoff.comicbookresources.com

Awalnya, Viper tampak ingin Mariko untuk memancing Logan datang. Pas dengan Harada yang ingin Mariko kembali padanya.

Tapi….

ini yang ruwet.

Begitu Logan berhasil ditangkap, ternyata ada robot adamantium yang bangun dan bertarung lalu pengen mematahkan kuku-nya Logan. Ini kenapa yang besar, karena ternyata isinya robot itu adalah orang yang kita kenal dari awal cerita. Lah kan saya bingung. Jadi sebenarnya dia mati nggak sih? Lalu sebenarnya si Viper itu tujuannya mau ngapain sama si Logan? Terus katanya Yashida mengkhawatirkan Mariko makanya nggak pengen mati, lah kok nggak kelihatan gelagatnya waktu ‘bertarung’ dengan Mariko.

Kalau Harada jelas kayaknya. Dibutakan cinta, malah bekerjasama dengan penjahat. Kasian deh lo.

Jadi kenapa sih Yashida tidak ingin mati? Kenapa kemudian ada Viper bisa disana? Kenapa adamantium yang sudah disedot dari Logan bisa balik lagi? Dan banyak kenapa lain yang bikin saya bertanya soal plot-nya.

Kalau menurut saya ceritanya kurang kuat. Waktu workshop novel saya selalu dibilang sama editor kalau plot sebab-akibat itu penting. Nah, di film ini saya tidak menemukannya dengan tegas.

Tapi sebuah box office begini pasti punya keunggulan. Aspek pertarungan di atas shinkansen tentu nggak bisa kita lewatkan. Itu keren. Juga soal pertanyaan “tujuan hidup” yang penting banget. Eksploitasi sisi Jepang juga andalan yang oke. Dan jangan lupa si cantik Mariko yang bikin film ini seger abis.

Sumber: www.theage.com.au
Sumber: http://www.theage.com.au

Perkara act saya nggak banyak komentar, karena sudah keren. Perkara visual, ya paling hanya kurangnya efek darah dari setiap cabikan kuku-nya Wolverine. Perkara cakep, Mariko sudah cakep banget. Kekurangpuasan saya pada film ini adalah sisi plot yang menimbulkan banyak tanya. Plot yang lebih runyam sebenarnya ada di The Avengers, tapi bisa disampaikan dengan baik tanpa harus melontarkan banyak “kenapa?”

Begitu saya ulasan dari saya. Secara umum tentu saja tetap layak dinikmati sebagai summer movie. Tapi dari sisi apapun, saya tetap lebih suka The Avengers daripada The Wolverine, tapi masih suka The Wolverine daripada Battleship.

*ngebandingin kok nggak apple to apple ki piye*

😀

[Blog Review] CoretaN si boCah r@ntau

Blog yang paling sering saya komen dan paling sering ngomen blog saya. Maklum, sama-sama jomblo #lohkokngono

Si bocah rantau yang sebenarnya sudah nggak tergolong bocah ini adalah salah satu yang menginspirasi saya nge-blog, terutama di kebangkitan blog saya. Thanks a lot for him.

Dia tampaknya nggak mau bikin cerpen dan lebih memilih untuk posting reflektif, utamanya tentang leadership. Sebagai orang yang membawahi banyak orang tentu saja ilmu-ilmu leadership-nya bisa dipercaya. Apalagi nih, suka main akronim-akronim. Nggak percaya? Monggo dicek.

Dan terutama yang menarik adalah karena bocah tua nakal ini hobi tanya-tanya orang dan menuliskan hasil wawancara kehidupannya ke dalam kisah di blognya. Jarang orang yang iseng nanya, dan biasanya memang iseng nanya itu selalu punya cerita.

Soal produktivitas, tentu kita nggak bisa berharap lebih pada seseorang dengan tanggung jawab besar macam beliau ini. Jadi, apa yang dituliskannya sekarang sejatinya sudah lebih dari cukup.

Dan, ehm, bagian paling menarik tentu kalau postingnya sudah membahas soal.. ehm.. JOMBLO dan JODOH. Hehehe.. Saya nggak mau bahas panjang kalau yang begini, tapi coba deh lihat dan baca. Plus, di blog ini kita bisa melihat perjuangan sepasang guru untuk melahirkan dua orang anak dan kemudian profil cerita masa kini-nya.

So, silahkan dikunjungi 🙂

[Blog Review] My Koffie Time

Bahwa dunia maya ini gila, bermula dari asal naruh link blog di Leutika, eh, saya ketemu dengan rekan se-almamater yang punya blog My Koffie Time ini. Syukurlah karena dia mengapresiasi konten blog saya, ‘jatuh cinta’ katanya. Apalagi waktu dia baca, ada serentetan cerpen galau yang lagi saya posting. Hahaha..

Lalu saya tengok balik ke blognya, dan–ehm–menarik juga.

Kenapa?

Postingnya jarang yang berjudul panjang sekarang-sekarang ini, bahkan belakangan hanya 1 kata. Misal: monyet, lalu ada juga judul lain: Cabe. Bikin senyum saja itu judul. Ada cerita-cerita yang bikin senyum, misal di posting ‘monyet’, plus ada posting-posting yang bikin hati haru apalagi di posting tentang kematian. Ehm, setidaknya soal kematian ini saya baca 3 kali dengan perspektif yang sama. Buat saya, keren.

Produktivitas Miss B1P buat saya sih relatif lumayan dengan 8 dari 12 bulan di 2012 ada postingan.

Dan disini juga banyak diceritakan asyiknya menjadi guru dan–terutama–pilihan menjadi guru Bahasa Indonesia (lulusan Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah), bukanlah pilihan buruk. Apalagi kalau diceritakan soal tempat kerjanya yang pindah-pindah dari sekolah elit ke sekolah elit lainnya. Hehehe..

Tentu tidak ada yang meragukan kalau seorang guru Bahasa Indonesia menulis. Demikian kan? Jadi, silahkan kunjungi 🙂

[Blog Review] Tintusfar’s Weblog

Dari baca judulnya saja sudah nggak niat, apalagi lihat isinya. Ehm, maksud saya, bahkan Tintus (si empunya blog ini) nggak mengganti tag line ‘Just Another WordPress weblog’. Plus, jangan harap bisa menemukan ‘archive’ blog ini selain dengan menekan ‘older post’. Ya, kalau dari manajemen blog, buat saya Tintus kurang niat. Hahaha.. *piss ah*

Tapi jangan ragukan soal konten.

Ini adalah satu dari sedikit blog unik yang ditulis dengan sederhana, jauh lebih sederhana daripada blog saya yang nyata-nyata pakai judul ‘sederhana’, tapi punya sisi-sisi penceritaan yang di luar kebiasaan. Membaca blognya Tintus pasti akan bikin tersenyum kecil dari caranya bercerita.

Ya, sederhana. Kenapa? Karena runut sekali, habis A, lalu B, lalu C, lalu D, dan selesai. Sudah. Tapi di dalam A, B, C itu ada twist yang mampu bikin blog ini jadi unik.

Contoh:

Sesaat setelah melewati genangan air tersebut, rintik demi rintik airpun turun. Bunyinya bukan hanya di atas genting, melainkan juga di atas helmku, di atas kap mobil, di atas atap halte bis, dan di atas lainnya. Lama kelamaan airnya turun tidak terkira. Kutengok kiri dan kanan, pohon, ranting, rumah, basah semua. Termasuk diriku. Dan air hujan tidak kenal tempat. Di tengah jalan raya yang banyak dilalui orang ini, ia terus merambat sampai ke dalam celanaku. Bahkan lebih jauh lagi, sampai ke dalam celana dalamku. Dingin, dingin, gimanaaa gitu..

Ingat lagu ‘tik..tik..tik.. bunyi hujan di atas genting.. airnya turun tidak terkira..dst…’? Dibawakan dengan manis dan mengundang senyum hanya dengan menceritakan lagi kehujanan.

Atau cara lain penyampaian yang begini:

Di foto yang terpajang di papan pengumuman tersebut, wajahnya mulus tanpa jerawat. Aslinya, dalam kamus bahasa halus untuk kaum hawa, wajahnya bagai rembulan. Mungkin selama mengenalnya, dia sedang puber.

Penggunaan majas yang asyik sekali tampak di kalimat barusan.

Yah, kisah-kisah sederhana, ditulis dengan sederhana, tapi penuh dengan twist yang oke punya. Yah, cuma kurang niat melengkapi widget-nya aja ni orang. Oya, Tintus ini hanya berselisih NIM 1 dengan saya waktu kuliah, jadi hampir pasti saya dan dia 1 kelompok, apapun itu kuliahnya. 😀

Silahkan dikunjungi 🙂

Ibuk: Mencintai Tidak Bisa Menunggu

Sejak kerja, saya mungkin tambah gila pada buku. Kalau kuliah, saya hanya beli buku (non buku kuliah) kalau harganya dibawah Rp. 30 ribu. Nah, karena mulai kalap buku, maka saya nggak mengabaikan Jakarta Book Fair. Salah satu sisi positif saya pindah kerja ke Cikarang adalah akses yang lebih cepat ke ajang beginian. Karena sudah baca di twitter, saya lantas memburu stand Gramedia dan sebuah novel berjudul singkat “IBUK”.

Jakarta Book Fair itu udah agak lama, dan novel IBUK saya diamkan saja selama beberapa lama karena entah kenapa saya lagi kehilangan daya membaca novel. Nah, berhubung hari ini saya agak selo, baru deh saya baca.

Dan…..

Mas Iwan mampu membuat saya BERKACA-KACA dengan kadar melebihi novel 9S10A!

Saya sih yakin, siapapun yang masa kecilnya penuh perjuangan, pasti akan berkaca-kaca dengan tulisan Mas Iwan. Seperti biasa, ditulis dengan kalem dan memang terkadang tampak lambat, persis novel sebelumnya. Semuanya dijalin dengan manis dan yang patut diingat, hampir semua itu banyak dianggap “derita”, yah sebut saja sepatu rusak, telur bagi sekian, tempe, dan lainnya.

Jujur saya langsung ingat rumah. Ya walau memang pada level yang berbeda, saya juga merasakan perjuangan hidup orang tua dengan 4 anak. Beda dikit sama keluarga Bayek.

Sebenarnya bagian yang paling menyentuh adalah separuh awal dan seperempat akhir. Yang di tengah, sebenarnya mirip sisi lain dari 9S10A. Jadi bagi saya yang sudah baca 9S10A, merasa semacam diulang. *ini sekadar membahas saja ya Mas Iwan* hehehe..

Tentunya pelajaran hidup tampak dari sosok IBUK dan tentunya BAPAK. Novel ini memang jelas menonjolkan sosok IBUK sesuai judulnya. BAPAK bahkan hanya dikisahkan pergi pagi pulang malam. Dan itulah sudut pandangnya. Tapi bagian terakhir ketika BAPAK meninggalkan dunia itu sungguh sangat menyentuh sekali *kalau ada hiperbola lain, pasti saya pakai*

Dan sisi lain yang saya lihat, sebagai seorang karyawan, adalah:

1. bagaimana berjuang hidup, bekerja, sambil tetap menyisihkan uang untuk keluarga di rumah -> semacam balik modal investasi yang diawali dari kemauan sang anak.
2. ternyata bekerja dimana-mana sama ya.. Rasanya kok sama-sama pengen resign kalau lagi hectic.. Hehehehe..
3. bagaimana berada di “rumah” adalah sebenar-benarnya hidup, buat saya semuanya tampak demikian.

Terima kasih untuk tulisan yang menyentuh dari Mas Iwan, sungguh membuat saya berkaca-kaca, sambil mengenang masa silam. Saya bersyukur beli buku yang ada tanda tangannya. Hahaha..

Dan terakhir, soal foto keluarga. Sejak kecil, keluarga saya sudah ada foto keluarga. Dulu awalnya gratisan di tempat wali murid. Lalu berikutnya pas kami sama-sama mudik via Pak Campin (ini masih pake film sodara-sodara!). Lanjutannya pas saya wisuda dengan pose yang teramat sangat parah karena harga 2 pose 30 ribu, pake film pula (di era digital, what do you expect dengan harga segitu?). Dan karena keinginan saya untuk foto keluarga yang paling maksimal, maka saya berusaha agar ada sebuah foto yang dibuat di studio bagus. Syukurlah sudah pernah ada di wisuda adik cowok saya, dan saya ingin itu diulang lagi di wisuda adik saya tercinta tahun ini. Dan yang pasti, saya ingin membuat “foto keluarga” ala Bayek, sebuah buku. Semoga!

Inspiring!

*thanks a lot, Mas Iwan sudah mampir (lagi) ke blog ini*

Review Film: Soegija

Saya mendengar akan ada film Soegija sudah lama, sejak jaman penggalangan dana. Jujur saya awalnya meragukan Puskat dapat membuat film yang selevel dengan rumah produksi ternama yang biasa bikin film besar. Tapi fakta bahwa ini adalah film beraroma Katolik pertama yang tayang di 21 (yang saya tahu lho), membuat saya merasa harus nonton film ini, di hari pertama.

Kalau di The Avengers saya nonton pertama bener di Cikarang karena cuti, kali ini saya nonton penayangan ketiga dari empat slot. Meski di web Soegija dibilang tidak ada Cikarang, tapi karena saya cek di Cineplex ternyata ada, langsung deh lima kurang seperempat melajukan si BG ke Mall Lippo, nonton Soegija.

Oke baik, kita mulai review sekilasnya.

sumber: article.wn.com

Kisah ini berlatar masa perjuangan, mulai dari Belanda, Jepang, lanjut Sekutu, dan berakhir di masa sekitar KMB di akhir 1940-an. Jadi periodenya 40-an bener. Hmmm, setting awalnya bagus, memperlihatkan Romo naik sepeda unta. Ehm, Romo masa kini, maaf kata, ada yang minta ganti mobil ketika pindah paroki 😦

Kisah bergulir dengan sulit karena tampaknya film ini ingin menonjolkan beberapa kisah sekaligus dengan hubungan yang sekilas. Keluarga Ling-Ling membuat soto, dibawa oleh Mariyem-Maryono ke Romo Kanjeng. Lalu ada pula Robert dan Hendrick di tengah perjalanan itu. Ada lagi Nobozuki. Kisah ini kemudian diselingi oleh munculnya Koster Toegimin bersama Romo Kanjeng. Lalu ada pula Pak Besut. Dan kemudian, dua sosok paling menarik yakni si bocah kuncung dan si tukang gelut. Sebut saja begitu, saya nggak tahu namanya.

Kisah-kisahnya dimulai dan bermuara pada catatan Romo Kanjeng di sebuah halaman, dan rentang kisahnya 2-3 tahun. Hmmm, beberapa baris kata mengantar penonton pada parsial-parsial kemanusiaan yang berbeda, namun muaranya jelas.

Yak, Romo Kanjeng ada di tengah kisah-kisah itu. Romo Kanjeng tidak bertemu dengan Robert dan Hendrick memang, tapi ia selalu ada ketika plot sedang menaikkan Mariyem. Romo Kanjeng juga muncul dengan dialog segar bersama Koster Toegimin. Ia juga muncul dengan Ling-Ling. OOT sedikit, Ling-Ling ini sungguh cacat alias calon cantik. Hehehe..

Yak, pada intinya memang perang itu tidak berguna. Even kemerdekaan pun tidak serta merta berguna karena ternyata kemudian banyak penjarahan. Si bocah tukang gelut mempertanyakan itu. Buat apa merdeka kalau sapi dicuri, ngapain? Sebuah pertanyaan besar hingga masa kini.

Tokoh-tokoh semacam Mariyem-Maryono, Nobozuki, Suwito, Robert dan Hendrick, muncul selang seling hingga terkadang memusingkan. Tapi intinya memang satu, sejatinya perang ini memang tiada gunanya. “Aku juga benci dengan perang ini,” begitu kira-kira kata Hendrick.

Penonton harus memadukan masing-masing kisah, tapi itu dibantu kehadiran Romo Kanjeng dalam slot tertentu yang kemudian membuat itu menjadi kesimpulan. Itu sisi positif film ini.

Dan sungguhpun namanya saja saya nggak ngerti, tapi si kuncung dan si tukang gelut sungguh memberi makna dari film ini. Ketika si kuncung yang dibilang sama Marwoto “anak setan”, dan ikut-ikutan melempari Hendrick di Hotel, hingga pada kenyataan bahwa ia bisa membacaa adalah kesegaran dalam alur yang kadang berat.

Termasuk si tukang gelut. Lakunya kadang membuat emosi, termasuk ketika (sepertinya) membunuh Nobozuki yang sedang bernyanyi dan (sepertinya) juga membunuh Robert yang sedang membacakan surat ibunya, tapi ia adalah warna berbeda. Termasuk kata-kata, “aku saiki iso moco: merdeka!”

Tentunya warna jelas adalah Butet yang tetap segar dalam guyon. Mulai dari bilang Romo Kanjeng hampir mirip Bajak Laut hingga saat curhat jomblo pada Romo Kanjeng.

Overall memang butuh mikir, tapi kesimpulannya jelas, sepenuhnya kemanusiaan. Angkat jempol untuk Garin Nugroho atas film-nya 🙂

Tapi.. Ehm, kritik sedikit boleh kan?

Adegan tembak-tembakan dan dor-doran di depan mata mungkin perlu, tapi ada beberapa yang terlalu ekstrim, termasuk Nobozuki mati. Kalau bisa dipoles seperti caranya Robert mati, mungkin lebih baik.

Dan kritik saya yang paling keras adalah adegan ketika Romo Kanjeng merokok. Ehm, terlepas dari argumen bahwa itu fakta, apakah memang seperlu itu membuat adegan Romo Kanjeng merokok. Saya takutnya, anak-anak yang nonton bilang, “tuh, Romo Kanjeng aja ngerokok lho.”

Okelah merokok bukan dosa, saya hormati, karena saya juga mantan perokok, tapi mungkin bukan wadahnya ketika hampir seluruh orang tua datang ke bioskop bersama buah hatinya. Sayang balutan apik itu terkendala oleh adegan yang menurut saya juga nggak penting-penting amat kalau harus berasap. Tanpa asap juga bisa.

Sungguh, setting Jawa banget dan ada Jogja-nya, membuat saya sepenuhnya kangen. Dialog Jawa yang membuat tertawa, hingga gereja Bintaran benar-benar bikin merindu masa silam. Ah, dasar.

Oya, sepertinya ada adegan di studio Puskat, semoga saya benar. Setidaknya saya dulu pemakai wisma dan studio alam Puskat untuk Makrab. Hahahaha… Dan satu lagi yang keren, sebagai bass sejati, saya sangat suka lagu yang sangat menonjolkan bass, dalam hal ini mari kita bernyanyi, “Kopi susunyaaa… dst..” *minta teks dong*

Angkat jempol! 100% Katolik, 100% Indonesia!

🙂

Review Film: The Avengers

Hari ini cuti, jadi bisa menyaksikan penampilan perdana Film ‘The Avengers’ di bioskop, dan karena nonton jam 12.15, maka jelas saja sepi. Apalagi saya kan di tempat karyawan-karyawan berada yang notabene jam segini masih kerja.

Itu pengantar saja. Hehe.. Baiklah, kita mulai.

13361299621451335273

The Avengers benar-benar film yang mengaduk-aduk rasa. Dimulai dari sebuah pernyataan bagus di awal film “The humans, what can they do but burn?” dari makhluk luar dimensi yang mengincar The Tesseract sebuah kubus biru dengan tenaga tak terbatas yang ditemukan dalam evakuasi Captain America puluhan tahun silam. Loki, yang terbuang dari Ansgard karena katanya dikhianati melihat benda itu sebagai sarana bagus untuk mengorbankan bumi. Kaitannya sih sama saudaranya Thor yang memang bersikap ‘melindungi’ bumi.

Dengan banyak tokoh, maka perlu plot yang bagus untuk menata kemunculan tokoh demi tokoh dan Joss Whedon dengan baik melaksanakannya. Awalnya tentu Fury (Samuel L. Jackson) sebagai pemimpin projek dimunculkan lalu ada Hawkeye alias Agen Barton (Jeremy Renner) dan kemudian lagi ada Loki (Tom Hiddleston). Semuanya bermuara pada hilangnya si kubus biru, diambil sama Loki. Dan tidak cuma itu, Loki juga mengambil dua orang terbaik di S.H.I.E.L.D dengan tongkatnya.

Nah, dalam upaya merebut kembali sumber energi tidak terbatas itu mulai dimunculkan satu-satu. Panggilan terhadap Natasha Romanoff alias Black Widow yang diperankan si cantik Scarlett Johansson, dilanjutkan dengan memanggil kembali jago lama Captain America (Chris Evans). Lalu Natasha juga berhasil membajak Dr. Bruce Banner (Mark Ruffalo) untuk membantu. Orang yang baru nonton serial Marvel, pada awalnya nggak akan tahu kalau tokoh ini adalah Hulk karena di awal memang tidak dimunculkan. Mereka lalu dikumpulkan di tempat yang canggih. Oh, lupa, ada juga si Iron Man alias Tony Stark (Robert Downey Jr).

Nah, kisah sebenarnya dimulai ketika Loki tampil beraksi jahat di Jerman dan dengan kata-kata bijak ala pemimpin yang bilang kebebasan hanya bayangan semu manusia saja. Disitulah kemudian muncul Captain America dan dari situ juga Loki ditangkap.

Ini mulai aneh ketika Loki mau-mau saja ditangkap. Bahkan Captain America alias Steve Rogers berdialog dengan Tony Stark, kenapa rocker ini mau-mau saja ditangkap. Ini bagian dari dialog-dialog di film ini yang bisa mengundang senyum.

Dalam posisi ini muncullah Thor (Chris Hemsworth). Konflik dipermainkan dengan pintar oleh sutradara ketika Iron Man menyerang Thor yang datang dari dimensi lain itu. Pertentangan karena Iron Man menganggap Thor mencuri tahanannya. Nah, berbagai efek pertarungan juga dibalut apik disini, termasuk keterlibatan Captain America.

Loki kemudian di bawa ke S.H.I.E.L.D dan ditaruh di kamar Hulk. Natasha lalu interview ke Loki dan akhirnya menemukan bahwa maksud Loki mau ditahan adalah hendak membangkitkan Hulk. Kebeneran pada saat yang sama, ada motif yang terungkap oleh masing-masing jagoan. Baik Steve, Stark, Bruce, Thor, dan lainnya menangkap motif lain dari kubus biru itu. Pertentangan antar tokoh yang sejatinya satu kubu ini juga dibalut apik. Jadi jelas, bahwa film ini tidak semata-mata mengutamakan efek layaknya Battleship, tapi plot juga dijalin menarik. Termasuk ketika pertentangan itu akhirnya gagal membuat Bruce tidak marah. Hulk yang tidak dapat dikendalikan akhirnya muncul.

Fury tidak digambarkan sebagai sejati hitam-putih, tapi abu-abu. Disinilah Samuel L. Jackson bisa menampilkan karakter yang menarik. Mulai dari tipu menipu misi, hingga berkeras dengan direktur misi.

Hawkeye sempat menelusup masuk dan menghancurkan beberapa bagian di markas S.H.I.E.L.D namun kemudian pertemuan dengan Natasha bisa membuatnya sadar kembali, tentu lewat pertarungan keras.

Dalam analisisnya masing-masing akhirnya perjuangan dilanjutkan. Dialog menarik dari Steve dan Stark adalah kala Steve bilang, bahwa Fury memang tidak sepenuhnya benar, tapi abaikan dulu. Keduanya langsung bersiap dan lantas didukung oleh Hawkeye dan Black Widow. Dua jago lain? Yak, Thor dan Hulk terhempas jauh ke bumi dengan cara masing-masing.

Kelimanya kemudian bersatu guna mengalahkan Loki yang kebetulan masang aksi di gedungnya Stark. Dan tentunya pertarungan dimenangkan oleh protagonis, layaknya film-film jagoan lainnya. Itu sih biasa ya?

Banyak sisi-sisi lucu yang membuat senyum terkembang. Dialog yang menyebut Loki seorang rocker adalah salah satunya. Ada juga ketika tongkat ajaib Loki tidak bisa mengubah jiwa Stark karena ada logam di dada Stark. Dan yang buat saya ketawa banget adalah ketika Hulk dan Thor sama-sama habis mendarat sesudah menghancurkan Chitauri, keduanya berdampingan. Seketika tangan kiri Hulk menghajar Thor. Yak, sangat bisa dimaklumi karena Hulk tidak bisa dikendalikan. Hehehe.. Juga adegan miris ketika ada seorang polisi diarahkan oleh Captain America dan malah bilang, “siapa anda sehingga saya harus menuruti anda?” Maklum juga, si Captain kan tidur lama banget. Ada juga adegan ketika Bruce bugil dan berdialog dengan polisi plus datang ke lokasi Stark dengan motor super butut.

Film ini juga kembali menekankan poin bahwa niat buruk itu tidaklah baik. Si kubus biru hendak dijadikan senjata pemusnah massal dan pada akhirnya gagal. Direktur yang menyuruh melepaskan nuklir malah nyaris menghancurkan kota, untung ada Iron Man yang mengarahkan nuklir ke dimensi lain. Avengers sendiri adalah proyek yang dicancel, dan membangkitkannya dianggap ide buruk, padahal mereka jadinya penyelamat dunia.

Secara efek memang tidak sedahsyat perang kapal di Battleship karena pertarungan antar badan banyak disini. Satu hal yang pasti, film ini benar-benar mampu menyatukan berbagai karakter. Membuat novel dengan lima karakter saja sulit, bagaimana bisa di film dibalut sedemikian apik? Tepuk tangan!

CNN bilang begini “but if it’s a Friday Night SmackDown you’re after, ‘Avengers’ gets the job done“. Tulsaworld menyebut “When was the last time you cheered at the movies? ‘The Avengers’ could be that opportunity.”

Orang-orang yang tidak mengikuti cerita Marvel juga pasti akan bingung dengan Bifrost atau HYDRA, tapi sekelebat pertanyaan itu akan hilang oleh keping yang menyatukan setiap informasi.

Kesimpulan saya, film ini oke banget. Perpaduan efek dengan kemampuan ‘meracik’ berbagai karakter dengan apik. Kelemahannya menurut beberapa reviewer adalah membangun plotnya kelamaan, tapi kalau saya bilang itu wajar dengan tokoh yang sedemikian banyak.

Oya, satu quote menarik hati adalah, “And you, Hulk, SMASH!

Selamat menonton!

Salam 🙂

Referensi: cnn.com, tulsaworld.com

Disalin dari halaman Kompasiana saya http://hiburan.kompasiana.com/film/2012/05/04/review-film-the-avengers/

Battleship: Menjual Pertarungan

Battleship disutradarai oleh Peter Berg dengan skenario oleh Jon dan Erich Hoeber. Menampilkan Taylor Kitsch, Alexander Skarsgard, Brooklyn Decker, Rihanna, Liam Neeson, Tadanobu Asano, Peter MacNicol, Josh Pence, Stephen Bishop, John Tui, John Bell, Hamish Linklater, dan Adam Godley. Film berdurasi 131 menit digarap keroyokan Battleship Delta Productions, Film 44, Hasbro, Ponysound, dan Stuber Productions dalam lindungan Universal.

sumber: http://danieldokter.wordpress.com

Peter Berg adalah pengampu Hancock (2008) dengan Will Smith dan Charlize Theron sebagai bintang. Taylor Kitsch sebagai bintang utama adalah lakon di film John Carter.

Dari awal, film ini sudah jelas fiksi karena mengambil setting masa yang sudah lewat yakni 2005/2006. Bagian paling aneh sebenarnya adalah karakter Alex Hopper (Kitsch). Pada awal kisah tampak Stone Hopper (Skarsgard) kuat karakter kakak-nya. Ia begitu tidak suka dengan tingkah laku Alex, adiknya. Terutama terakhir sekali membuat masalah dengan membongkar mini market dalam rangka janji 5 menit menyediakan Chicken Burrito kepada Samantha (Decker). Sam sendiri adalah anaknya dari Laksamana Shane (Neeson), bosnya Stone.

Guliran plot aneh memang sudah kelihatan. Mulai dari Sam yang tersenyum dengan Chicken Burrito yang diberikan. Lalu Alex yang tidak ditangkap. Dan terakhir yang sangat tanda tanya bagi saya adalah bagaimana mungkin Alex bisa tiba-tiba jadi perwira dengan pangkat lumayan di Angkatan Laut. Dan tahu-tahu juga sudah berpacaran dengan Sam. Bagaimana mungkin juga, apa mungkin mentang-mentang pacar anaknya bos, Alex bisa seenaknya telat apel. Yah, konsen-konsen logika yang tidak masuk akal memang. Tapi Battleship tidak menjual itu.

Satu hal yang juga tidak jelas adalah alur cerita membawa Alex sebagai karakter yang smart tapi tidak rendah hati. Buktinya? Tidak ada. Karakter itu hanya dibawa dalam pembicaraan dengan Stone dan Admiral Shane. Tidak ada yang lain. Stone sendiri diperankan dengan sangat apik sebagai kakak yang sabar dan penuh perhatian pada adiknya yang bengal.

Perseteruan dengan Nagata (Asano) juga aneh. Seorang tentara dengan latar berseteru akibat tackling pas main bola, mungkin itu mentalitas yang aneh untuk level latihan militer tingkat dunia. Tapi namanya juga film.

Casting yang menarik tentu saja Reakes (Rihanna) sebagai anak buah yang dikisahkan smart dan bertugas di bagian eksekusi misil. Agak aneh sih, melihat Rihanna yang kurus kering itu ditaruh mengoperasikan senjata kelas berat. Tapi lagi-lagi, namanya juga film.

Ada banyak logika-logika sederhana yang tidak dipenuhi di film ini, namun masih permisif karena jualan di sini adalah efek pertarungannya. Namun ada satu link yang nggak nyambung. Ketika sinyal dikatakan sampai ke planet G, dan datang kunjungan balasan ke bumi, itu alien mau ngapain sih? Apa benar mereka mau merusak? Ada ketidakkonsistenan juga saat alien itu ketemu manusia, ada yang langsung libas, ada yang mendeteksi jantung dan mata. Jadi kadang aneh tampaknya.

Lalu juga saat di malam hari ada pergerakan itu aneh bin ajaib. Kenapa ketika dua kapal menyerang, si kapal alien nggak rusak, giliran dua biji misil bisa menghancurkan kapal alien hanya karena pelampung tsunami? Entahlah. Biar seru mungkin.

Film ini baru memperlihatkan karakter Alex saat di dalam kubah pembatas milik alien. Keputusan yang awalnya neko-neko mulai bijak. Pilihan-pilihan yang ngawur juga mulai benar. Terutama ketika berhasil menghancurkan dua kapal alien terakhir yang tersisa.

Dalam hal ini ada logika-logika ilmiah yang diperoleh. Penalaran mekanis untuk penghancuran kapal terakhir bisa diterima akal. Hanya masih aneh juga saat ledakan-ledakan besar tidak memberi pengaruh pada ombak. Apa iya?

Plus, apakah iya, kapal Missouri yang sudah 10 tahun jadi museum itu bisa menyala dalam waktu sangat singkat? Masih bisa menembak dengan dahsyat? Masih bisa berjalan kokoh? Tidak ada yang tahu.

Dalam percakapan yang minimalis dan kurang berisi, masih ada beberapa quote menarik dari Alex, “kita akan mati, tapi bukan hari ini.”

Boleh juga.

Dan di bagian akhir, bagaimana Sam dan Mike Canales–seorang mantan tentara yang pakai kaki robot karena korban perang–turun dari puncak bukit yang ada satelit alien, tidak dikisahkan sama sekali. Tahu-tahu keduanya sudah ada di penyerahan gelar.

Dibalik logika yang tidak nyambung, spesial efek di film ini lumayanlah.

Namun buat saya, ada pelajaran menarik. Ketika diprediksi bahwa panggilan ke luar angkasa itu akan membuat dunia jadi mirip Indian, itu sudah tanda. Janganlah kita neko-neko ke dunia luar sana. Tidak ada yang tahu. Lalu juga, ketika Missouri dipakai kembali, jelaslah bahwa yang tua, yang uzur, masih bisa berkarya. Dua pelajaran yang bisa dipetik dari film yang tampaknya berbudget besar ini.

Begitu sekilas review dari saya. Satu hal, saya sarankan jangan menonton film ini ketika anda sedang membaca novel Dewi Lestari yang Partikel. Dipastikan konsep anda tentang alien akan kacau. Jadi tuntaskan satu-satu, agar lihat film enak, baca novel enak. Konsep alien masih misteri bagi kita, dan setiap orang berhak menerjemahkannya, apalagi dalam ranah fiksi. 🙂

9 Summers 10 Autumns

image
sumber: dok pribadi

Judul Buku: 9 Summers 10 Autumns
Penulis: Iwan Setyawan
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Buku ini saya peroleh dengan membeli (tentu saja!) di Pameran Buku di Istora. Sungguh Cikarang bukanlah tempat yang friendly dengan pencinta buku, maka untuk memuaskan hasrat saya harus lari-lari ke Jakarta. Ongkos pulang perginya bahkan sudah bisa beli buku 1 🙂

Saya mungkin telat membacanya, karena di buku itu sudah tertera “National Best Seller” tentunya sudah ribuan orang membeli buku ini sehingga lantas jadi Best Seller, tapi tidak ada kata terlambat untuk membaca buku. Saya sempat menimang lama buku ini karena budget saya hanya 200 ribu sementara di sini adalah ribuan buku yang semua bagus-bagus. Dengan tekad kukuh berlapis baja saya ambil buku ini.

Sebuah kisah yang inspiratif membuat saya tidak menyesal membeli buku ini. Saya ini kalau beli buku dan nggak suka, maka itu buku nggak akan habis dibaca. Jadi, kalaulah sebuah buku habis dibaca, itu artinya saya cocok. Sebuah kebiasaan yang absurd 🙂

Sudut pandangnya sebenarnya kisah-kisah global yang didetailkan. Misalnya, perkenalan siapa Bapak, siapa Ibuk, bagaimana masa kuliah, masa kerja, dan lainnya dibungkus bab demi bab dalam bentuk obrolan bersama si kecil yang sampai akhir nggak ketahuan siapa. Kalau saya tebak sih itu Mas Iwan versi kecil. CMIIW.

Dan saya terhenyak ketika ada yang meninggalkan posisi bagus di NY demi pulang ke rumah di Batu. Tapi itu sungguh pilihan hati. Dan tidak ada yang salah soal itu.

Konten menarik itu membuat saya menghabiskan buku itu segera dan menomorduakan borongan saya yang lain dari pameran. Hanya saja, secara alur yang menurut saya terlalu slow, sebenarnya membuat saya pengen buru-buru membalik halaman. Ini versi saya lho Mas Iwan hehehe..

Pada intinya ini buku bagus dan menjawab bagaimana perjuangan itu pasti ada buahnya. Dan sesudah membaca buku ini, saya segera menelurkan outline tentang masa-masa keluarga saya jadi kontraktor alias mengontrak rumah dari tempat satu ke tempat lain. Semoga kelak bisa dijadikan buku macam punya Mas Iwan ini. Sip!

Update:

Terima kasih Mas Iwan atas tanggapannya 🙂