Balada Bayi Pup di Ketinggian 34000 Kaki Dpl

Ini sisa #IstoMudik2018 yang lalu. Bayi millennial yang satu itu sebelumnya sudah naik pesawat 2 kali. Jakarta ke Jogja pulang pergi. Jogja doang, selow. Tantangan berikutnya lebih mantap. Penerbangan 1,5 jam ke Padang. Istoyama mau paskahan di Gereja tempat Bapaknya belajar agama.

Penerbangan ke Padang dijalankan dengan sukses. Sengaja saya pilih penerbangan pukul 06.15 karena menurut jadwal Daycare, kurang lebih 06.30 sesudah mandi, Istoyama akan tidur dengan durasi ya 1-2 jam. Harusnya pas.

Keberangkatan sukses. Dengan demikian, Isto telah 3 kali terbang dengan pola ciamik. Tidur sejak take-off dan baru menggeliat saat landing. Saya cukup bangga dengan kemampuannya beradaptasi pada perjalanan.

Singkat kata, perjalanan pulang dilakoni dengan naik travel AWR bayar 3 seat. Karena pukul 5 pagi, jadi si bayi ini statusnya juga masih lelap. Ibarat berangkat ke Daycare saja jadinya. Tapi naik mobilnya 2 jam.

Kami tiba di Ketaping dengan sela waktu yang sangat cukup bahkan untuk mengganti Presiden sekalipun. Waktu tersebut pada akhirnya kami manfaatkan dengan menggunakan fasilitas bermain anak yang baru ada di Ketaping. Lha, baru Desember yang lalu, saya ke Bandara ini, segalanya sudah bersalin rupa. Oya, jadinya tidak ada lagi ruang tunggu khusus Garuda di sebelah kanan, karena disitulah tempat bermain berada.

Rencana jahatnya adalah memberikan sarapan pada Isto, kemudian membiarkannnya merangkak dan gulang-guling sampai jengah supaya pukul 10 pada saat berangkat, dia mengantuk. Rencana kemudian berjalan dengan cukup baik hingga take-off. Kami hanya perlu menanti 1,5 jam dan berharap dia akan tidur selama itu. Meskipun jarang sih dia tidur selama itu pada rentang waktu jelang siang begitu.

Maka terjadilah…

Pada saat pesawat berada di atas Lampung, bayi ini menggeliat. Emaknya mencoba menidurkan kembali. Apa daya, kehendaknya adalah bangun. Tiga puluh menit jelang landing.

“Erghhh.”

Ow. Ow. Saya dan Mamaknya berpandangan, tanpa cinta. Tiada sempat memikirkan cinta kalau urusannya adalah feces begini.

“Erghhh.”

Dua kali. Isto fix ngeden. Dan jika sebelumnya dia lebih doyan ngeden di atas taxi online atau mobil Opungnya, kini dia ngeden di pe-sa-wat. Pada ketinggian 34000 diatas permukaan laut. Heu.

“Erghhh.”

Ngeden ketiga, aha, sudah terasa bahwa Istoyama menuntaskan eekyamanya. Perkaranya kemudian: gimana ceboknya?

Saya dan istri adalah orang yang jarang ke toilet kalau di pesawat. Jadi setahu kami, di pesawat itu ya toilet dengan sedotan vakum yang jelas nggak bisa dipakai buat cebok. Dan agak ragu juga karena pesawat sudah belok kiri ke arah Teluk Jakarta. Salah-salah, kami masih di toilet, keluar pengumuman “prepare for landing..”

Jadi, keputusan yang diambil kemudian adalah menahan bayi ini pada tempatnya, sambil berharap tidak ada eekyama yang keluar dan mengganggu peradaban serta merusak upaya ganti Presiden.

Ini adalah 20 menit terlama dalam hidup saya, disertai bayi dengan eek penuh tapi lasak minta ampun. Dan akan mendarat di Soekarno-Hatta pula. Kita tahu, mendarat di Bandara tersibuk di Indonesia itu bukan perkara mudah. Akan ada kesialan ketika pesawat landing di runway 2, padahal terminalnya dekat runway 1. Itu 20 menit sendiri, lho.

Belum lagi kalau sudah landing, pesawatnya susah cari parkiran. Adalah sebuah kewajaran untuk parkir di tempat tanpa garbarata dan kemudian perjalanan dilanjutkan 2 periode, eh, naik bis.

Pesawat turun, dan dari kejauhan sudah tampak Terminal 3 Ultimate yang puanjanggg itu. Ahay, handicap runway hilang!

Begitu pesawat jalan di landasan, parkiran bergarbarata tampak begitu penuh. Hingga hampir ujung, tidak ada tanda bahwa pesawat akan belok kanan. Sudah terbayang saja akan membawa bayi bereek dalam bis yang sesaknya lumayan juga itu.

Eh, pesawat kemudian tidak juga belok kiri, tapi mulai melambat dan kemudian berhenti. Yeah, dapat garbarata! Pesawat akhirnya parkir di gedung ekstensi. Itu lho, terminal 3 yang lama, yang tampak tidak signifikan dibandingkan proyek ultimate.

Istoyama masih tetap lasak, namun untungnya tidak memperlihatkan eek bocor di celananya. Begitu ada kesempatan, kami langsung turun, berbeda dengan pas berangkat yang menunggu pesawat kosong baru turun.

Dengan segera, kami berjalan cepat menuju gedung terminal dan menyasar toilet terdekat. Mengingat bahwa Istoyama dan Mamaknya beda jenis kelamin, tidak mungkin kami pakai toilet reguler. Maka dengan bingung, kami memencet pintu toilet difabel yang ada di sana.

Pintu terbuka, dan mulailah kami beraksi. Bekerja sama seperti biasanya kalau Istoyama eek di kontrakan. Istoyama kami berdirikan di kloset duduk, lantas sentor pantatnya dengan air dingin, sesuatu yang tidak akan terjadi di rumah. Rupanya, polah Istoyama telah menyebabkan kotoran kemana-mana. Jadilah selain membilas pantat, kami juga mencuci sedikit celananya, singletnya, dan bajunya, sebelum kemudian memakaikannya baju yang baru.

Kami lantas keluar dengan bahagia, menggunakan mobil bantuan yang sudah pasti bisa diakses karena punya bayi, serta melanjutkan hidup sebagaimana mestinya.

Moral dari kisah ini adalah menikah itu bukan sekadar cinta. Menikah itu adalah soal kesiapan menangani bayi pup di ketinggian 34 ribu kali di atas permukaan laut. Yeah!

Advertisement

3 thoughts on “Balada Bayi Pup di Ketinggian 34000 Kaki Dpl”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.