Seorang anak adalah produk dari suksesnya pertemuan seorang pria bernama Spermanto dengan gadis manis semlohe bernama Ovumwati. Itu takdir alam dan sudah dipercaya sahih secara saintifik. Sama halnya dengan anak manusia yang memiliki blog ariesadhar.com ini. Saya tentu saja tidak tiba-tiba dipungut dari bawah batu maupun dari dalam amplop honor narasumber. Saya adalah produk dari dua manusia nan berkasih-kasihan. Dua manusia yang mengikrarkan janji sehidup semati tepat 30 tahun yang lalu.
Yes, 30 tahun yang lalu itu berarti tepat pada 4 Mei 1986, Bapak dan Mamak saya melangsungkan pernikahan di Gereja Santo Petrus Claver Bukittinggi. Bangunan tua yang jika sekarangpun kita lewat Jalan Sudirman Bukittinggi, bentuknya ya sama saja dengan 30 tahun silam. Dan hari ini, tepat 30 tahun keduanya memadu kasih dengan legal ke negara pun legal ke Tuhan.
Bahwasanya peristiwa 30 tahun silam itu adalah sesungguhnya misteri ilahi. Bagaimana mungkin Bapak saya yang asli kelahiran Sleman itu bertemu dengan Mamak saya yang lahir pun besar di Padangsidimpuan? Dua kota yang sama-sama berakhiran -an, dua kota yang sama-sama ternama dengan salaknya, dua kota yang sangat berjauhan. Dan keduanya bertemu di tempat yang sama sekali berbeda, bukan di salah satu kota. Bapak dan Mamak bertemu di Bukittinggi. Kondisi inilah yang selalu membuat saya berasa absurd ketika ada orang bertanya, “kamu orang mana?”
Lha, saya harus jawab apa? Orang Jawa? Bisa banget, jika dirunut secara patrilineal saya dapat membawa garis Jawa milik Bapak. Orang Batak? Bisa juga. Demi mengesahkan cinta dengan Mamak, Bapak sudah memiliki marga Simamora. Orang Bukittinggi alias orang Padang? Kalau mengacu bahwa asal itu adalah tempat kelahiran cum tempat dibesarkan, jelas saya sahih menjadi orang Bukittinggi. Kalau tidak ada misteri ilahi 30 tahun silam, sosok absurd semacam saya dipastikan tidak ada.
Berada di dalam keluarga dengan latar belakang Batak galur murni dan Jawa galur murni itu punya keasyikan tersendiri. Saya bisa merasakan dipanggil ‘le’ dan ‘amang’ dalam selang waktu 3 menit saja. Saya merasakan bahwa dalam diri saya itu ada gelegak Batak dan ademnya Jawa. Saya dan adik-adik memiliki nuansa kehidupan yang unik dan tentu saja sangat saya syukuri.
Bapak, bagi saya, adalah role model seorang lelaki. Dengan kemampuan anti bisa ular, Bapak santai saja begitu di belakang rumah ketemu ular. Sepanjang saya lihat, Bapak juga tidak pernah sama sekali menyakiti Mamak secara fisik. Wong, saya saja cuma sekali ditampar sama Bapak, itupun karena provokasi Bu Il dan Pak Nyoto gegara saya nempel tulisan ‘aku Gus Dur’ di mobil orang. Catatan penting, waktu itu Gus Dur baru jadi Presiden. Itu mungkin kayak alay-alay kekinian sok menghina Jokowi di masa kini. Heuheu.
Mamak? Ini profil mamak-mamak batak plus-plus. Masak? Gape benar. Nawar? Sampai malu awak kalau menemani Mamak nawar di pasar. Nekat? Iya juga. Kalau Bapak segitu halusnya, maka Mamak adalah sosok yang berbeda. Dipisuhi ala Batak mah sering saya alami. Ogah mengumpat karena takut cabe giling dioleskan di mulut adalah sebuah keniscayaan.
Bagi saya, Bapak dan Mamak adalah kombinasi yang tepat untuk sebuah kegilaan. Bapak, seorang PNS yang kagak korupsi, begitu berhitung hingga akhirnya keluarga kami bersalin rupa sebagai kontraktor. Ngontrak rumah sana-sini. Mamak dengan nekatnya memaksa Bapak untuk mengambil rumah, yang sekarang menjadi istana tempat saya pulang mudik.
Saya merasakan benar pahit manis keluarga yang hari ini tepat berumur 30 tahun itu. Ada suatu masa ketika kami bahkan tidak bisa beli baju natal. Ada pula masa ketika saya tidak punya buku baru selama 3 tahun. Buku-buku yang saya miliki untuk tahun ajaran baru adalah buku ulangan bekas yang direkondisi sama Bapak. Buku ulangan kan dari 40 paling banter habis 20, masih sisa 20. Jodohkan saja sisa-sisa itu dan jadilah satu buku utuh. Maka jangan heran kalau buku-buku catatan saya ketika SMP itu depannya Paperline, dalamnya Sinar Dunia, tengahnya Kiky.
Hingga lantas tiba saatnya saya menganggap Bapak dan Mamak sebagai orang gila. Siapa yang tidak gila ketika pada tahun 2008, mereka punya empat anak yang sama-sama dibiayai pendidikannya, dengan TIGA berada di bangku kuliah. Saya nggak tahu bagaimana mungkin gaji Bapak yang hanya 3 juta sebulan itu bisa mencukupi semuanya.
Oya, Bapak dan Mamak melepas anaknya satu-satu keluar rumah pada usia nan sangat dini. Saya mentas dari rumah tahun 2001, sudah 15 tahun alias lebih dari separuh umur saya habiskan di luar rumah. Adik saya lepas setahun kemudian. Pada tahun 2005, adik saya yang nomor 3 juga mengasramakan diri. Kami bertiga sama-sama menempuh pendidikan di Jogja. Dan tentu saja, sama-sama susah, dan sama-sama tidak ingin menyusahkan orangtua. Kalau mau baca kisah sengsara saya dan adik-adik, boleh loh dibaca di buku OOM ALFA terbitan Bukune, yang bisa dibeli disini dan tersedia pula versi PlayStore-nya.
Sebagai pelengkap, tahun 2010, adik saya yang bungsu juga cabut dari rumah dan mondok di Magelang sana. Sempurna, bukan? Seringkali Mamak menelepon saya sembari menangis sambil bilang bahwa dia punya banyak anak namun tidak ada satupun yang dilihat. Seringkali pula saya ikutan sedih, tapi yo piye meneh.
Dari Bapak, saya belajar menjadi manusia yang lurus. Suatu pagi ketika saya hendak kembali ke Jakarta, Bapak saya berpesan, “Bapak nggak mau dikasih uang korupsi. Kalau honor narasumber, boleh“. Dari Mamak saya belajar mencari celah untuk menambahkan aspek ambisi dari lurusnya Bapak. Ya, tentu banyak juga hal yang nggak akan saya contek dari kedua orangtua saya, tapi tiadalah perlu saya tuliskan di blog yang lagi nyari duit ini.
Selamat ulang tahun perkawinan ke-30, Pak, Mak. Semoga semuanya selalu lancar jaya. Maafkan anakmu ini yang belum mampu memberi menantu, apalagi cucu, sampai 30 tahun pernikahan Bapak sama Mamak. Ya, gimana lagi, selain kurang tampan, anaknya yang ini memang kurang laku. Heuheu. Dan semoga yang terakhir, kiranya dilancarkan proses menemukan menantu di tahun ini. Amin.
One thought on “Selamat Ulang Tahun Pernikahan Ke-30”