Kantor saya sekarang berada di sekitar Jalan Percetakan Negara. Salah satu angkot yang beredar adalah Angkutan Pengganti Bemo nomor 04 jurusan Salemba hingga Rawasari pulang pergi. Dimulai dari depan YAI (seberang UI), masuk di dekat Sevel, terus lewat Rutan Salemba dan menyusuri Jalan Percetakan Negara sampai habis hingga kemudian sampai di sekitar Rawasari sebelum perempatan bawah tol. Sehubungan dengan kemalasan saya naik motor di Jakarta, jadilah si BG lebih banyak diam. Mobilitasnya jauh menurun dibandingkan waktu saya di Cikarang yang bisa pulang pergi Jababeka Lippo sehari dua kali kalau weekend.
Tidak ada yang istimewa ketika saya menaiki APB 04 ini. Semuanya biasa saja. Supir-supir yang main suruh orang turun di kemacetan rel antara Sentiong-Kramat juga ada. Pokoknya impresinya kalau nggak biasa, ya buruk.
Sampai ketika saya naik APB 04 yang ini.
Dari luar, dia seperti APB 04 pada umumnya. Sampai kemudian di kompleks Bank Mandiri ada sekelompok pelajar turun.
“Ya, terima kasih. Pelan-pelan saja. Hati-hati motor.”
Saya tertegun sejenak. Seumur-umur saja naik APB 04 ini nggak ada sekalipun supir yang bilang terima kasih, even pada penumpang yang duluan bilang terima kasih.
Begitu sampai Mentjos, penumpang di depan turun. Ada satu bapak bawa dua anak. Literally, dia pakai dua seat. Yang biasanya terjadi adalah penumpang akan mengklaim satu seat saja karena yang pakai kan anak-anak. Kebetulan ini ternyata supir baik ketemu penumpang baik. Bapak tadi memberikan uang 5000 dan langsung turun, sementara supir tadi menyiapkan kembalian 2500. Bahkan supirnya sendiri menghitung 1 seat.
“Berapa?”
“Dua Pak. Pakai dua kok,” kata si bapak sambil menurunkan anaknya.
“Terima kasih.”
Lagi, ucapan itu dia keluarkan. Tanpa himbauan hati-hati, mungkin karena yang turun di bangku depan. Tapi nadanya itu sepenuhnya ramah. Saya nggak pernah menemukan yang seramah ini ketika naik APB 04.
Begitu sampai di sekitar Paseban yang 1 arah, ada penumpang kacrut yang bayar 2000. Setahu saya, supir-supir yang lain punya ekspresi yang berbeda. Ada yang pasang muka asem, ada yang muring-muring sendiri, ada yang sengaja minta kekurangana 500. Supir yang ini? Diam saja, memperlakukan penumpang kacrut itu sama dengan penumpang lainnya.
Hingga kemudian tiba di Pasar Paseban. Segerombol ibu-ibu PNS–saya duga dari Kemenkes–turun. Berhentinya juga bukan disuruh penumpang, tapi pertanyaan dari supir. Supir itu kembali memperingatkan untuk hati-hati karena banyak motor, pun mengucapkan terima kasih kepada rombongan ibu-ibu, tetap dengan nada yang ramah. Hal yang sama juga terjadi ketika saya turun di Jalan Raya Kramat.
Sejujurnya, hidup di Jakarta itu sedemikian beratnya sampai saya menganggap tidak ada lagi orang ramah. Spesifiknya, tidak ada lagi orang ramah di angkutan umum, apalagi supirnya. Tapi saya salah, supir APB 04 masih berlaku sangat ramah kepada penumpangnya. Semoga rejekimu lancar ya, Pak. Amin.