Dari Kota ke Kota

Seraya mengerjakan sebuah posting tidak berbayar perihal traveling, saya mendadak ingat sesuatu. Iya, saya ingat kalau Nia Daniaty sudah pisah ranjang dari Farhat. Ah, itu sih basi. Aslinya, saya jadi ingat perihal kota demi kota tempat saya hidup. Seperti yang bisa dilihat di profil. Saya pernah hidup di Bukittinggi, Jogja, Depok, Palembang, dan kemudian Cikarang. Ibukota bin ibu tiri bernama Jakarta mungkin adalah peraduan berikutnya.

Sempat ngobrol dengan si Cici perihal bagaimana anak-anak di keluarga kami dibentuk. Simpelnya, Cici bilang, “kalau kita kan dilempar kemana juga hayuk!”

Kalau dirasa-rasa sih benar juga.

Nah, berikut sekilas petualangan hidup saya dari kota ke kota.

Usia saya baru 14 tahun ketika mendapat titah untuk bersekolah di Jogja. Iya, Jogja Berhenti Berhati Nyaman itu loh. Menjadi sebuah hal sulit karena Jogja itu jauh dari Bukittinggi. Kira-kira lebih jauh dari jarak pungguk merindukan bulan. Juga lebih jauh dari Paimin merindukan Nabilah JKT48. Saya lepas benar dari tempat yang saya sebut rumah, untuk sebuah kehidupan yang benar-benar baru. Sampai usia 14 tahun itu petualangan saya paling mentok adalah Jalan Bagindo Azichan ke Ganting Permai. Memang tempat asal dan tujuan itu saya capai lewat aneka cara dan gaya. Mau belok-belok di gang-gang yang pada akhirnya bermuara di Ngarai Sianok? Hayuk! Mau standar lewat Pasar Bawah? Bisa juga. Mau ke Pasar Atas, lanjut Jenjang Gudang? Itu juga biasa. Dari Pasar Atas meluncur guling-guling di sela-sela dagangan pakaian dalam via Pasar Lereng pun rute sehari-hari. Kadang-kadang kalau lagi niat malah bisa lewat Aur Kuning dan aneka tempat lainnya. Banyak jalan menuju Roma, itu kata pepatah. Tapi karena Roma mau jadi presiden, maka saya ganti jadi banyak jalan menuju rumah.

Dengan pengalaman minim habis macam itu, saya kemudian terlempar ke sebuah kota yang jaraknya 4 hari perjalanan naik bis dari rumah. Mental saya sungguh nggak siap, tapi namanya juga titah sponsor. Orangtua nggak sembarang mengirim saya ke kejauhan kalau nggak yakin bahwa saya bisa. Syukurlah, saya akhirnya bisa eksis di Jogja. Terlalu banyak cerita tentang kota ini. Buku saya OOM ALFA yang tebalnya 328 halaman itu saja hanya berkisah secuil pengalaman saya di Jogja.

Aneka ria hal serba pertama juga saya temui. Mulai dari pertama kali mencoba berbahasa Jawa, sampai kemudian saya fasih melakoninya, sampai pertama kali kesasar naik angkot—yang kala itu masih banyak beredar di Jogja.

Hampir 8 tahun, saya lantas berpindah sementara ke Depok, sekadar untuk praktek kerja lapangan. Tentu saja saya tidak praktek ngarit di lapangan bola, tapi terjun langsung ke sebuah pabrik di Jalan Raya Bogor. Sempat shock? Mungkin, tapi nggak lama. Tentu saja saya shock mengingat di Depok ini hawanya benar-benar Jakarta. Banyak pengalaman saya dapat hanya dalam 2 bulan saja, mulai dari ketemu pasangan berantem di angkot hingga merasakan karaoke ditemani pemandu lagu yang bisa dibawa pulang, bisa meluk juga. Uhuk. Sekali lagi, di tempat baru ini saya bisa survive, bahkan bisa berkenalan dengan tukang nasi uduk langganan.

Lalu, kota mana lagi, ya?

Nah! Palembang!

Ini juga unik. Entah kenapa saya memilih Palembang. Saya pun kadang bingung. Intinya, sih, saya pengen kerja di pabrik farmasi. Dan entah kenapa takdir membawa saya ke pabrik farmasi yang ada di Palembang itu. Waktu mendapat kesempatan wawancara, sedikit banyak saya jatuh cinta pada kota itu, untuk sebuah alasan yang kurang bisa dimengerti. Padahal, waktu itu di Jogja ada pacar. Mending kan saya kerja di Jakarta atau yang dekat-dekat Jogja. Banyak pula kampret yang bilang saya milih Palembang karena dekat rumah.

Mbahmu!

Palembang ke Bukittinggi itu tercepat adalah 18 jam jalur darat, itu jelas nggak bisa dibilang dekat, kecuali jika kedua kota ini kemudian melakukan PDKT.

Nongol dengan tampan di Palembang, seorang diri, tanpa modal apapun, saya gundah bin galau. Tapi namanya pilihan, ya, dilakoni saja. Selain harus beradaptasi soal pekerjaan yang notabene amat sangat berat, saya juga harus beradaptasi sebagai ‘budak Plembang’. Pertama-tama saya harus belajar dunia perangkotan, belajar menyikapi panasnya Palembang, dan tentu saja belajar model orang Palembang, berikut bahasanya. Dan—lagi-lagi—syukurlah saya bisa. Dalam 2 bulan pertama saya sudah casciscus bahasa Palembang versi sederhana. Saya juga nggak kagok kalau harus ke pasar, di angkot, atau tempat-tempat umum yang mengharuskan saya berbahasa Palembang. Seperti pernah saya bahas, bahasa Palembang itu semacam perpaduan Jawa dan Minang, dua bahasa yang sudah saya ketahui sebelumnya.

Yups! Dari 3 kota, saya belajar 3 bahasa. Sungguh kece, bukan?

Oh, nggak to? Ya udah, lanjut!

Aneka alasan akhirnya menyeberangkan saya ke sebuah tempat baru bernama Cikarang. Ini mungkin paling aneh dalam hikayat perpindahan saya. Bukittinggi ke Jogja memang terjadi di kala saya terbilang kecil, tapi sebelum pindah itu saya sudah 2 kali ke Jogja. Jogja ke Depok mungkin nggak usah dihitung karena durasi singkat dan pasti balik juga. Jogja ke Palembang? Kan saya sempat kesana waktu interview, 1 bulan sebelum berangkat untuk bekerja. Lah, Cikarang? Pertama kali saya ke Cikarang, itu langsung dengan gembolan se-RT dan langsung tinggal menetap. Yah, saya tidak pernah tahu Cikarang itu seperti apa sebelumnya. Makanya hikayat perpindahannya jadi berasa agak aneh.

Survive? Lumayan! Meski nggak ada bahasa baru yang bisa saya kuasai disini karena konsep Cikarang nan benar-benar urban, tapi saya belajar bahwa hidup itu keras. Apalagi ketika setiap hari harus berhadapan dengan ban tronton yang segede cinta Comate pada CJR. Belum lagi jalan rusak, demo buruh, dan aneka kelakuan khas tempat urban lainnya.

Dan disinilah saya sekarang, masih di Cikarang, menanti hari untuk berpindah lagi.

Ada satu hal unik pada setiap perpindahan saya. Waktu Bukittinggi ke Jogja, saya pulang di akhir tahun ke-2, dan saya membawa banyak barang tambahan dari Bukittinggi ke Jogja. Kalau bisa sih itu rumah saya bawa semua, sayangnya nggak cukup naik Gumarang Jaya.

Pas pindah dari Jogja ke Palembang, saya meninggalkan 4 kardus besar-besar di kamar si Cici, yang baru sukses saya ambil tuntas ketika saya sudah pindah ke Cikarang. Dua kardus awal saya ambil sambil pacaran. Dulu kan ceritanya pejuang LDR, yang lantas gagal.

Pas dari Palembang ke Cikarang, saya meninggalkan 1 tas di mess, minta tolong Febrian membawanya. Lalu juga meninggalkan 2 box di mess, serta 1 box dan 1 tas di rumah mas Sigit, yang saya ambil setahun kemudian.

Yups, perpindahan saya nggak pernah mulus. Saya tidak pernah benar-benar terpisah dengan kota yang saya tinggalkan. Bukittinggi mungkin bisa diabaikan karena rumah bagi saya, ya adanya disana. Jogja? Tidak ada alasan yang mengharuskan saya kesana selain satu adek yang masih tersisa. Palembang? Apalagi itu. Tapi nyatanya dalam 3 tahun sesudah saya cabut dari Palembang, saya dua kali balik kesana untuk alasan tertentu. Bahkan, tunggangan saya sekarangpun masih plat BG. Masih ‘budak Plembang’.
Dari kota ke kota, petualangan hidup saya bertambah sangat banyak. Saya bukannya nggak suka traveling, bahkan justru senang. Memang saya jarang pergi-pergi berjalan ala backpacker ke tempat tertentu. Jarang bukan berarti nggak pernah, loh. Saya kan juga pernah main ke Semarang semata-mata hendak naik Bejeu. Dan jangan lupakan juga Loser Trip. Semuanya konsep perjalanan yang saya lakoni. Tapi lepas dari itu, perjalanan hidup saya yang berpindah-pindah ini justru saya terjemahkan sebagai perjalanan yang sebenarnya. Pindah, mencoba survive, berdaptasi, begitu berhasil lalu pindah. Sudah beberapa kali saya lakoni hal semacam itu, dan agaknya masih belum berakhir.

Jadi, nggak kepengen pindah?

4 thoughts on “Dari Kota ke Kota”

  1. Hidupnya berpindah-pindah mulu hahaha. Gue pindah sekolah aja males, soalnya sekolah yang sekarang jaraknya deket dari rumah. Alhasil, dari SD sampai sekarang belum pernah pindah-pindah. X))

    Like

  2. Halah iyaw mas,,, Bukittinggi ke Jogja kan dekat. Nah kalau dari Bukittinggi ke Palembang kan dekat. Berarti kalau pindah ke Palembang kan tambah dekat dong mas? hehehe pizzzz. artikelnya cukup menghibur di baca mas…. sayangnya saya nggak bisa bahasa orang Palembang. Berarti aku harus belajar dulu bahasa minang dong. Kalau jawanya kan sudah… hehehe

    Like

Leave a reply to Anis Hidayah Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.