BAIKLAH! Sudah sepekan saya nggak posting di blog. Bukan apa-apa, sih. Sejak sore kala saya ulang tahun hingga sekarang, hujan turun tiada henti, layaknya cinta diam-diam yang sudah tiada bisa lagi dipendam oleh hati. Hujan otomatis membuat provider modem saya seret sinyal layaknya pemiliknya yang seret gebetan. Mana nggak mungkin juga, kan, ngeblog dari kantor. Plus, hujan tiada henti ini membuat keadaan tempat tinggal jadi nggak nyaman. Saya juga kemudian pindah ke kamar lain, mengingat kamar lama saya—lebih dari dua tahun saya huni—mengalami kebocoran mengenaskan. Silakan tertawakan bule geje di iklan “eh.. bocor.. bocor…”, nyatanya, saya mengalami sendiri 3/4 area tembok kamar menyerap air dan sama sekali tidak nyaman. Kondisi itu belum ditambah fakta bahwa jalanan di depan kos saya kadang-kadang menjelma jadi saluran air.
Emang apa hubungannya banjir sama ngeblog?
Nggak ada, sih. Namanya juga mencari pembenaran atas kemalasan. Paralel dengan mencari gebetan atas mantan.
Banjir rupanya bikin saya banyak merenung. Soalnya kan hujan gede ini beberapa kali terjadi dini hari, dan bikin banjir juga dini hari. Saya nggak bisa tidur sambil terus bertanya kenapa saya jomblo memantau air yang leluasa menerabas sisi-sisi relung hati tembok kamar, plus air yang mengalir deras di jalanan depan kos. Hasil permenungan itu, saya menemukan beberapa hal sederhana yang kadang nggak kepikir, tapi sesungguhnya sangat membantu mempermudah hidup.
Yuk, dilihat!
Bisa Berenang
Saya pernah kecemplung dari banana boat di waduk yang ada di Mekarsari. Takut banget waktu itu, soalnya kaki saya nggak napak kemana-mana. Kalimat pertama yang saya lontarkan begitu kecebur adalah: “gue nggak bisa berenang”. Lagian kurang kerjaan banget di danau naik pisang berjalan. Yak, sebagai anak gunung, saya memang nggak bisa berenang. Meluncurpun juga hanya 5 meter buat menuh-menuhin penilaian renang waktu SMP.
Saya juga bukannya nggak berusaha. Waktu bisa mengakses kolam renang Arya Duta Palembang karena sempat 3 bulan jadi member fitness disana, saya terus mencoba untuk sekadar bisa ngambang, dan gagal. Tampaknya dosa saya sudah terlalu berat. Satu-satunya pembenaran saya adalah karena saya orang gunung. Di Bukittinggi sana, rasanya hanya ada 2 sungai yang mengalir. Satunya sungai Ngarai Sianok, satunya Tambuo. Kalaulah ada yang banyak, itu namanya bandar alias got besar. Mau dimana saya belajar renang kalau begitu? Sewaktu saya kecil, dang adong hepeng kalau hanya buat bayarin anak belajar renang. Buat jajan aja kudu bungkus es dan kerupuk dulu.
Berenang menjadi penting mengingat ke depan, dunia ini akan terus diisi air. Penelitian bilang bahwa pemanasan global sudah mulai mencairkan es di kutub dan itu bermakna volume air di lautan akan meningkat. Jadi, ya air akan ada dimana-mana. Ya, perkara ini mungkin saya hanya akan menggantungkan hidup pada life vest. Lha, piye meneh? Semoga di masa depan, life vest tidak hanya ada di bawah bangku pesawat, tapi juga di bawah bangku warung bakso.
Tidak Takut Ketinggian
Semakin padatnya kota, semakin banyak bangunan vertikal yang dibangun. Lihat saja Jakarta, dari jalan tol kalau dari daerah Kelapa Gading ke Cikampek. Kelihatan sekali gedung-gedung tinggi berlatar langit biru—kalau cerah, dan sesekali dilatari awan coklat. Semakin tinggi bangunan, semakin sering aktivitas digelar disana, dan manusia harus terbiasa untuk itu. Sampai rasanya tadi baca berita ada cowok yang jatuh dari lantai 9, gegara hampir ketahuan nginep di apartemen pacarnya. HAYO, NGAPAIN ITU? #jomblosirik
Sama seperti ketika saya mengikuti acara diskusi bareng Pak Wiranto yang dihelat di lantai 12 sebuah hotel di dekat calon stasiun MRT Dukuh Atas. Saya duduk pas di tepi jendela dan melihat benar saluran Latuharhary itu dari atas. *Langsung kebelet pipis*
Saya pribadi punya ketakutan pada ketinggian, ketika saya tidak memiliki pengamanan. Pernah masang spanduk berujung lutut tremor parah, padahal cuma manjat 2 meter. Kalau jatuh paling juga selesai dengan pijet plus-plus. Tapi saya pernah dengan santainya naik-naik pohon sampai 15 meter dengan segala safety harness dan tali temali yang memastikan kalau saya jatuh, nggak langsung sampai ke tanah. Ini kerugian parsial buat saya, karena sebenarnya ketinggian itu bisa dinikmati dengan baik. Dan kalau kata teologi, itu karena saya kurang percaya Tuhan. *loh*
Tidak Jijik
Ini problem masa kini, utamanya, sih, di kaum hawa. Cuma sekadar lihat (maaf) tahi sedikit, sudah berasa jijay. Agak ngeri kalau orang-orang sejenis ini dikasih di dusun, seperti di tempat Opung saya yang kalau mau boker ya di kebun dengan air cebokan yang terbatas. Lebih parahnya, ada pula manusia yang jijik sama kotorannya sendiri. Saking jijiknya, begitu kelar eek di toilet umum, kagak dibilas, atau diguyur sekalipun. Ini kan nyusahin orang. Hedeh. Ini harus dilaporkan ke Kementerian Penjijikan!
Padahal, jijik ini harus dilawan kalau sudah jadi orangtua. Kebayang dong, bayi yang mungil itu nggak sekadar lucu. Dia juga bakal boker tanpa bilang-bilang, bakal pipis tanpa memandang bahwa dia lagi digendong Ibu Ani sekalipun.
Saya sendiri baru bisa melawan kejijikan ini waktu dengan terpaksa menangani adek bungsu saya pasca boker. Kalau orang dewasa habis boker ya cebok, nah adek saya ini kelar boker langsung teriak, “Banggg…” atau “Kaaakkk…” buat dicebokin. Ya, namanya juga anak TK. Begitulah. Sekarang, bocah tengil yang dulu saya cebokin itu sudah lebih tinggi dan lebih ganteng dari saya. Kamfret!
Tidak Takut Jarum Suntik
Saya kebetulan terjerumus menjadi apoteker, sehingga aspek kesehatan juga sering saya perhatikan. Sebagian teman saya ternyata takut jarum suntik. Ada teman, namanya Zaenal, kalau disuruh balapan kemana-mana paling jago. Bahkan saya pernah sukses melarikan diri dari polisi ketika dibonceng dia. Tapi begitu disuruh medical check up, susahnya minta ampun, semata-mata karena takut jarum suntik.
Ada juga temen saya, si Paul, sama setan nggak takut, mantan atlet pencak silat pula. Kayak begini dikasih preman jalanan juga pasti dilibas tiada sisa. Lha, giliran lagi MCU, nyaris nangis tragis menahan pipis karena takut jarum suntik yang hendak mengambil sampel darah.
Sejujurnya, sering melihat orang takut jarum suntik sempat membuat saya merasa bakal takut juga. Cuma, untuk hal ini saya masih mampu untuk mencoba melawan. Kalau pas donor darah, saya akan lihat kala petugasnya menusukkan jarum gede itu ke tubuh saya. Ya, dalam rangka melawan perasaan akan takut itu aja sih. Memang pernah ada petugas kampret yang begitu masukin jarum ke dalam pembuluh saya, lalu main belokin kanan kiri karena darahnya nggak netes. WOI! SAKIT, WOI!
Kenapa hal ini penting dalam mempermudah hidup? Jarum suntik akan bertugas memasukkan obat-obat parenteral. Intra vena atau intra muscular adalah tipe-tipe yang lazim. Kita nggak akan tahu ke depannya bakal sakit seberat apa. Tapi pengobatan begini, mau tidak mau bakal kita terima, entah kapanpun itu. Agak janggal ketika kita jadi nggak sembuh gara-gara obatnya nggak bisa masuk ke dalam tubuh semata-mata karena kita takut jarumnya. Apa iya perlu dianastesi model sinetron dulu?
*bekap pakai kloroform*
Bisa Minum Tablet
Ini paling simpel, jarang terjadi, tapi ya ada-ada aja. Masih ada golongan manusia yang nggak bisa menelan obat dalam bentuk sediaan tablet. Eh, pastikan, ini yang ditelan bukan tablet yang bisa main Temple Run ya, ini tablet yang kecil mungil gede-gede dikit buat obat itu loh.
Saya sendiri sih bisa menelan 2-3 tablet besar dalam 1 kali proses, tapi nyatanya itu nggak dilakukan oleh sebagian orang. Ada yang harus dibantu dengan pisang untuk mendorong tablet itu masuk ke saluran yang benar. Ada juga yang harus menggerus dulu obatnya. Ah, betapa runyamnya hidup kalau mau sembuh aja pakai acara nggerus dulu. Apalagi nggerusnya sambil ingat mantan. Kalau yang butuh gerus-menggerus ini juga jadi aneh pada kasus tertentu. Soalnya ada obat-obat yang sengaja disalut/dilapis agar nggak hancur waktu lewat lambung, tapi lumer dan pecah di usus. Lah kalau dari luar sudah digerus bin dilebur, fungsinya kadang jadi turun atau bahkan jadi nggak berguna sama sekali.
Sekali lagi, kita nggak akan terus menerus sehat. Namanya manusia, namanya mekanisme biologis tubuh, sudah pasti ada saatnya sakit. Dan sediaan per oral bernama tablet–dan temennya kapsul–ini adalah obat yang paling jamak ada di dunia. Di pabrik saya yang lama, lebih dari 90% output adalah tablet, bahkan outputnya dihitung per biji tablet sebagai pukul rata. Nah, pilihan pertama hampir pasti ya tablet, kalau kita sakit. Jadi, sayang dong kalau kita nggak bisa minum tablet?
Begitulah, pastinya banyak hal sederhana lain yang bisa mempermudah hidup kita. Saya hanya mencuplik sebagian untuk mengisi blog yang usianya beranjak 3 tahun ini—2 kali lipat usia kejombloan pemiliknya. Semoga bermanfaat, kalau tidak, ya, semoga selamat sampai tujuan.
Takut ketinggian itu wajar. Soalnya, pas ketinggian kita nggak bisa ngelawan. Pasrah aja.
<- Pernah nyoba outbond sekali, terus trauma karena pas main flying fox, nyangkut. 😐
LikeLike
*ikutan trauma*
LikeLike