Jalan-Jalan ke Montong Edisi Tiga

Hari ini bisa dibilang melelahkan, tapi penuh dengan nasib baik. Masih nggak percaya kalau Tuhan itu betapa amat baiknya pada kita? Rugi ah.

Perjalanan pertama kali saya ke Jalan Montong adalah dalam rangka menyetor naskah Oom Alfa. Perjalanan kedua adalah ketemu sama editor, plus mengurusi beberapa printilan menjelang penerbitan. Perjalanan ketiga adalah hari ini, dalam rangka sebuah acara kumpul-kumpul yang disebut Sunday Meeting. Yah, percayalah, meski setiap bulan saya menghelat Monthly Production Planning Meeting, rasanya jelas beda dengan Sunday Meeting ini. Tentu saja saya tidak berharap bahwa meeting saya digelar di Sunday. Enak wae.

Pagi hari saya sudah cabut dari kos-kosan. Pengalaman dulu-dulu, saya menghabiskan waktu 3 jam dari Cikarang ke Montong. Cuma saya lupa kalau ada faktor hari Minggu. Nyatanya dari Pintu Tol Cikarang Barat sampai ke Komdak itu hanya 30 menit sajah saudarah-saudarah! Saya kok ya pas kebangunnya di Komdak, setelah sejenak tidur sambil mimpi punya pacar di atas bis 121A. Dengar-dengar yang 121 mogok, tapi nggak tahu juga sih.

Terbilang kepagian karena 7.15 sudah sampai Komdak, saya lalu melanjutkan perjalanan ke Halte Kuningan Barat/Timur untuk lanjut menuju arah Ragunan. Tidak, saya tidak hendak menyamakan muka dengan penghuni Ragunan. Sudah jelas lebih ganteng mereka. Kalau saya sih cenderung lebih ganteng dibandingkan dengan yang di Senayan. *if you know what i mean*

Perjalanan terbilang lancar–maklum, minggu pagi–sehingga saya sudah sampai di depan Cilandak Mall jam 8 pagi. Eleuh. Acara jam 10, jam 8 sudah hampir sampai? Memang saya ini teladan ya.

Dalam rangka niat suci mulia kebelet boker, saya akhirnya turun di tempat yang disebut Cimol ini, dan masuk ke salah satu tempat penjualan almarhum ayam. Tenang saja, saya tidak cukup nista dengan hanya boker disana lalu kabur. Saya tetap order kok. Air putih.

Jam 9 saya cabut ke Montong, kantor penerbit tempat saya bernaung. Sudah nggak kagok lagi seperti dua perjalanan sebelumnya. Sejujurnya, daerah Ciganjur, apalagi kalau sudah masuk Montong, nggak berasa Jakarta. Malah berasa di Kulonprogo. Termasuk tadi saya lihat ada orang pamit kerja sama tetangganya. Masih ada kok di Jakarta.

Saya lalu bertemu dan duduk semeja dengan 3 penulis GagasMedia, Purba, Anggun, dan Angel. Saya doang yang Bukune di meja itu. Meja orang-orang niat, dan orang-orang yang datangnya jauh-jauh. Purba dari Bandung, Anggun dari Tangerang, Angel dari BSD. Mereka-mereka ini berturut-turut adalah penulis Syarat Jatuh Cinta, After Rain, dan Tears In Heaven. HAYO BELI BUKUNYA!

Acara kali ini buat saya berguna sekali. Maklum, penulis baru. Materi-materi disampaikan oleh trio editor, Abang Christian, Mbak Iwied, dan Mbak Gita, dengan caranya masing-masing dan muatannya masing-masing.

Nah, pas di sela-sela sesi saya baru nyadar. Dari SMA sampai sebelum Oom Alfa terbit, saya lumayan sering ikut sesi kepenulisan begini. Jadi sebenarnya hal-hal yang disampaikan oleh trio editor nggak baru-baru amat. Hanya saja, ada rasa yang berbeda ketika sekarang saya berada dalam pelatihan bukan sebagai orang-yang-kepengen-jadi-penulis-buku, tapi saya adalah penulis buku. Bedanya banyak, tentu saja. Salah satu yang utama adalah ketika sudah jadi penulis buku, ilmu yang disampaikan langsung nyambung dengan prakteknya. Iyalah, orang-yang-kepengen-jadi-penulis-buku tentu saja belum mengalami rasanya ‘diedit’, jadi nggak kebayang juga soal begini.

Satu hal yang pasti, sesi hari ini menjawab pertanyaan kenapa LOVEFACTURE punya saya gagal di lomba TYAR Bukune. HAHAHAHAHA.

Self-Editing pada kenyataannya adalah bagian penting dalam proses panjang penerbitan buku. Untuk itulah, bagi yang pengen menerbitkan buku, lakukan self-editing terlebih dahulu. Jangan selalu menganggap naskah kita itu langsung baik. Cek dan ricek berkali-kali sebelum kita kemudian mengirimnya ke penerbit. Termasuk juga yang agak ramai tadi adalah perihal penempatan tanda baca, huruf besar, sampai repetisi kata.

Hujan deras memang terjadi di sesi 3, sesudah makan siang. Bayangkan betapa indahnya hidup ketika habis makan siang, lalu sejuk karena hujan. Seandainya ada bantal disana. *dikeplakmbakgita*

Acara ditutup jam 2-an, sementara saya melanjutkan dengan pengundian arisan buku Gagas-Bukune. Nantikan saja videonya di YouTube. Tolong diperhatikan dengan cermat, ada nggak muka saya. Atau kalau nggak kelihatan, cari aja yang agak gelap-gelap sedikit, pasti ada saya disana.

14.30 saya cabut dari Montong, naik M20 sampai halte TransJ Departemen Pertanian. Saya mau mampir tanya kabar impor sapi, tapi kayaknya sih tutup, nggak jadi deh. Sempat terhenyak ketika masih bergelantungan di TransJ koridor 9, eh di kejauhan tampak bis bertuliskan Kota Jababeka. Tapi nyatanya hari ini seluruh dunia berkonspirasi mendukung saya. Hanya 10 menit saya menunggu di depan Plangi, datanglah Bis Lippo. Ah, seandainya menunggu jodoh semudah menunggu bis ke Cikarang. Dan entah kenapa pula, saya tidur dan terbangun persis di bawah jembatan layang Cikarang Barat. Jadi saya turun dulu, naik angkot, baru sadar 100%.

Dua kali tertidur, dan terbangun di tempat yang tepat. Masih ditambah sama sekali tidak ketetesan hujan, dan hanya melihat sisa-sisa hujan di sepanjang perjalanan. Trip hari ini sungguh keren.

Saya tahu bahwa saya masih pemula, bahkan terbilang terlambat menerbitkan buku. Untuk itulah saya harus mengejar ketinggalan itu dengan bekerja keras. Sekadar 2-3 jam perjalanan dari Cikarang ke Jakarta, lalu balik lagi–jadi total 5-6 jam–mestinya bukan halangan untuk bertumbuh kan? Saya selalu percaya bahwa Tuhan selalu ada untuk orang-orang yang berusaha, dan untuk itulah saya terus berusaha.

Terima kasih buat penerbit saya nan kece, Bukune, atas modal hari ini. Dijamin berguna deh.

*kemudian lanjut tidur*

*bukannya lanjut nulis*

*dikepruk editor*