Tentang Lovefacture (3)

Komentar dan masukan adalah aspek yang sangat berharga bagi seorang penulis, apapun itu baik atau buruk.

Ingat di awal-awal bahwa si Tere yang membaca dan membongkar siapa sih tokoh sebenarnya di balik Lovefacture. Alhamdulilah ini memang fiksi semata, jadi dikorek-korek gimana juga ya fiksi. Beda sama Alfa. Hehe.

Ingat juga ketika si Coco, nyaris tengah malam nge-whatsapp, berkomentar soal status Alex dan Bayu, berikut Grace dan Eta. Kalau sampai tahu, berarti baca. Dari situ saya senang juga.

Tentu lebih ingat lagi ketika si Tere (lagi) berkomentar soal alur yang agak sedikit janggal. Well, namanya kritik dan tidak dipuji itu teringat banget, apalagi buat si melankolis ini. Tapi itu oke, sudah saya catat untuk jadi masukan ketika hendak mengedit.

Lalu juga ketika Desti, yang namanya saya pinjam buat tokoh kasih komen kalau bab putusnya Alex dan Eta itu apik. Lha, putus ngono tok kok apik? Hehe. Terserah, itu kan komentar pembaca.

Barusan juga kang DP kasih komen apik pada Lovefacture. Sebuah komen yang mengingatkan saya bahwa sesudah menuntaskan bab 41, saya belum mengedit kompilasinya. *haduh*

Senangnya bahwa saya punya pembaca, apalagi pembaca yang dengan rela hati mentions, nge-FB, atau bahkan nge-whatsapp saya sekadar ngomongin cerita Lovefacture ini. Sesungguhnya, hal itu bermakna banyak buat saya.

*brb ngedit*

*deadline melanda*

😀

Salah

Barusan baca twit seorang teman–yang kebetulan baru kerja beberapa bulan.

“Lagi-lagi salah, lagi-lagi dimarahi…”

Paling seru memang mengamati proses seseorang dari kondisi fresh graduate dan kemudian masuk terjun nyelam nyebur di dunia kerja yang keras. Seru, karena ternyata tidak sedikit yang kurang ketahanannya. Itu dia, kenapa kemudian ada yang 1-2 minggu masuk kerja, sudah resign, kabur, atau jenis menghilang lainnya.

Kebetulan, bulan Mei ini adalah bulan yang penting untuk karier saya. 5 Mei 2009 adalah kali pertama saya berubah status dari pengangguran jadi pekerja. Dan 11 Mei 2011 adalah kali pertama saya pindah kantor. *walaupun masih 1 entity*

Baca twit di atas, saya mendadak ingat bulan-bulan awal bekerja. Itu mungkin masa-masa paling suram dalam kehidupan saya. Bekerja itu excited pada awalnya, lalu 1-2 minggu kemudian gundah, dan 1-3 bulan berikutnya adalah mulai pusing penuh penyesalan. Hahaha. Nggak berlaku umum kok, tenang saja.

1 bulan pertama bagi saya adalah full orientasi, via buku PPIC Pak Gasperz dan via peninjauan lapangan. Dasar saya itu orangnya kalau nggak ngelakuin, nggak paham, maka 1 bulan pertama saya berujung buyar. Iya, beneran buyar.

Setiap Jumat, yang ada saya ini PASTI dimarahi sama bos, karena hari itu adalah hari presentasi. Bahkan ketika presentasi di Produksi, saya digoblokin banget, dan down sekali habis itu. Ya sudah, untuk ada gaji pertama yang jadi mood booster.

Lalu di bulan Juni, di bulan kedua, saya sudah mendapat bahaya luar biasa ketika Production Planner existing cuti 2 minggu. Dan… saya si unyu-unyu labil inilah yang harus menggantikannya membuat jadwal produksi untuk perusahaan farmasi terkemuka di Indonesia. Iya, saya, yang bahkan belum paham isi spreadsheet dengan berat 3 MB itu. Hasilnya? Saya sampai Rabu malam masih berkutat di kantor, biasanya Rabu sore planning itu sudah keluar. Hehehe. Dan selanjutnya, ada kasus ketika saya menciptakan inefisiensi saat menurunkan 2 WO yang isinya sama, tapi yang 1 nyusul, dan yang 1 kadung dikerjakan. Yeah! Bubar! Huft!

Masih di bulan yang sama, saya harus konversi MPS menjadi MRP. Di sela-sela proses yang sangat manual, saya sampai masuk hari Sabtu, seorang diri di office yang pas di posisi saya duduk itu dikenal horor. Untung nggak diganggu apapun/siapapun. Dan.. sudahpun begitu, saya masih lanjut bawa laptop kantor ke kos, untuk kemudian melanjutkan pekerjaan itu. Hasilnya? Ada produk toll di A, yang saya masukin ke B, ada produk toll di C, yang saya masukin ke F. Bubrah pokoknya. Dan.. saya masih menghela nafas sesudah itu.

Masuk kantor jam 06.30 dan pulang kantor jam 21.30 (itupun kalau saja angkot masih ada yang lebih malam, pasti saya pulang lebih malam). Dan lembur itu berakhir duka dengan kesalahan-kesalahan yang berulang. Dimarahin sih nggak, karena orang kantor paham saya masih unyu. Tapi dari nada, apalagi Mbak Tata yang ngomong biasa aja udah kayak marah-marah (piss mbak.. hehe..), berasa berdosa sih bikin kerja salah melulu.

Sungguhpun saya kadang heran kok masih bisa tahan ketika itu. Sudahlah saya nggak punya teman banyak, kerjaan salah melulu, dimarahin sana-sini (utamanya orang produksi), jauh dari rumah, dan lainnya ngumpul jadi satu. Tapi pada akhirnya saya sadar itu yang membuat kuat 🙂

Saya lalu mulai ‘bangkit’ dengan belajar dari setiap kesalahan, dan kebetulan lagi ada implementasi sistem enabler baru. Saya seriusin di situ, baru kemudian mulai berasa angkat nama.

Sempat agak tersinggung ketika Mbak Tata menawarkan saya jadi penggantinya untuk PIC sistem baru itu, tapi bos malah menunjuk nama seseorang yang baru akan masuk 1 bulan lagi. Agak tersinggung yang membawa nikmat karena akhirnya saya menjadi lebih terpacu untuk belajar sistem baru itu, dan hingga 2 tahun kemudian, saya bahkan bolak-balik kantor pusat buat ketemu konsultan pengembangan sistem itu.

Ini belum termasuk kengawuran saya membuat rolling forecast untuk aliansi ya. Nggak terhitung banyaknya kengawuran saya mengisi form milik aliansi-alinasi ternama di dunia itu, yang untungnya kefilter sama bos.

Puncak dari segala salah itu adalah di rolling forecast saya salah input data, dan kemudian berlanjut ke Marketing Head, dan saya dapat email yang paling saya ingat sepanjang masa.

sangat mengenaskan

Email singkat, padat, dan membunuh.. Hahahaha.. *sekarang aja ketawa, dulu mah nangis*

Sejak itulah, untuk setiap data yang diminta, pasti saya mikir berkali-kali sebelum diserahkan. Sejak itulah, untuk setiap tugas yang diberikan, saya akan review terus menerus sampai deadline-nya tiba. Cuma gegara nggak ingin dapat email “sangat mengenaskan” lagi. Hehehe.

Begitulah. Sampai sekarangpun saya ya masih suka salah. Cuma memang kadarnya lain. Sekarang saya kerjanya nyalah-nyalahin orang *loh*. Jika kemudian saya pindah company atau pindah entity, mungkin akan beda lagi kali ya. Ya memang pasti tidak secupu 4 tahun silam, karena siklus manufaktur sudah nempel di otak saya.

Salah itu pasti terjadi, sesempurna apapun kita berusaha. Tinggal bagaimana kita memastikan salah itu tidak terjadi lagi. Itulah peningkatan kinerja yang kita dapat rasakan. Sederhana, tapi manis. 😀

Tentang Istri

Ehm, followers setia blog ini pasti paham bahwa judul di atas tentu tidak mengacu pada si empunya blog. Yaiyalah, manusia yang membayar 250 ribu setahun untuk domain blog ini adalah manusia yang belum punya calon istri sekalipun. Eh, ada, tapi masih di tangan Tuhan. Hahahaha.

Jadi ini murni tentang perspektif.

Di kawasan industri yang fana ini saya mendapati fakta 50%-50%. Ada sebagian wanita tangguh yang bekerja, dan sebagian wanita lain yang tidak kalah tangguh yang memilih fokus di rumah menjadi ibu rumah tangga.

Pada saat yang sama, saya ingat kata-kata Mamak saya.

“Kalau nanti punya cucu, Mamak nggak mau jagain cucu. Enak aje.”

*tepokjidat*

*buru-buru cari mertua baik hati*

Hehehe. Itu kan perspektif. Jadi ya begitulah.

Artinya gini, ada sebagian wanita yang kemudian memilih untuk tetap bekerja setelah punya anak, dan itu otomatis akan mengacu kepada kebutuhan pengasuh. Nah, yang selalu akan jadi bahan pikiran mereka tentu saja begini.

kerja -> cari uang -> uang buat anak

kerja -> waktu habis -> nggak ada waktu buat anak

Bekerja–adakalanya menghilangkan waktu untuk anak, semata-mata mencari uang yang juga untuk anak.

Nah loh!

Sama juga ketika saya ngobrol sama Tere dan Tiwi di Dapur Coet tempo hari. Ngobrol tentang intensitas bos mereka ketemu anak yang bisa dibilang nyaris minim. Tapi, apakah iya, S1 Apoteker macam mereka hendak resign terus jadi ibu rumah tangga?

Jawabannya, nggak. Tapi kenapa? Tere bilang, karena dia dibesarkan di lingkungan ibu yang bekerja.

Lagi-lagi pengaruh masa silam itu penting, dan itu akan sangat berpengaruh pada pilihan.

Ada banyak kasus yang saya dapati selama saya lahir hingga sekarang. Beberapa teman saya memilih untuk tidak membiarkan istrinya bekerja, sementara dia banting tulang. Jadi, nggak ada isu sama sekali soal anak, karena istrinya ada di rumah dan sepanjang waktu untuk si anak. Bahkan dalam kondisi macam inipun, ada yang belum hendak menambah anak.

Tapi ada juga teman saya, suami-istri bekerja, kebetulan istrinya lebih tua, dan kariernya sedang moncer-moncernya. Sebulan, mungkin setengahnya dihabiskan di luar kota. Ketika ketemu, dengan ‘ironis’ dia memperkenalkan pengasuh anaknya, “kenalin, mamanya mereka.”

Ealah.

Juga ada kasus teman yang intensitas pergi jauhnya rendah, tapi karena sama-sama kerja, juga mempekerjakan pengasuh. Ya, ada-ada saja deh. Ada yang pengasuhnya benar, ada yang dua minggu terus resign, dan lain-lainnya. Bahkan kita juga berpikir seribu kali untuk memilih pengasuh bagi anak kan? Salah-salah anak yang dikasihi itu hilang.

Nah, jadi pilih mana?

Entah menurut yang lain, tapi bagi saya model rumah tangga orang tua saya adalah yang terbaik. Kadang-kadang nyesel jadi apoteker ya gini nih. Hehehe.

Orang tua saya keduanya guru, masuk jam setengah 7, pulang jam 2. Separah-parahnya ya pulang jam 4. Selagi kecil, saya dan adek-adek diserahkan pada pengasuh yang datang setengah hari. Yah, saya dulu di bawah asuhan Budhe Dalimin (almarhumah). Tapi proses mendapatkan Budhe juga nggak mudah. Saya yang masih unyu-unyu ini pernah terlempar dari beberapa pengasuhan. Saya pernah dititip ke Maktuo saya–yang kemudian menyerah mengelola saya. Kemudian dilempar ke seorang pengasuh berusia 12 tahun, yang kemudian bikin dada saya biru. Sampai kepada pengasuh yang nonton TV selagi menjemur saya (makanya saya hitam begini).

Terus saya yang belum dapat calon istri ini mikirnya kejauhan? Nanti saya gimana?

Hedeh.

Iya, model ideal rumah tangga orang tua saya itu hanya ideal ketika anak-anak sudah sekolah. Apalagi saya sekolah di tempat yang sama dengan orang tua saya mengajar. Jadilah, berangkat bareng, di sekolah ketemu, pulang nanti jam 4 sudah sampai rumah. Bikin PR, dll, saya sama sekali tidak pernah kekurangan kasih sayang orang tua.

Tapi, untuk level menangani bayi?

Selain kisah saya tadi, kedua adik saya termasuk hoki karena orang tua saya sudah mendapatkan Budhe. Jadi ya bolehlah. Masalah kemudian muncul waktu si Dani nongol. Saya (di usia 9 tahun) mengalami gimana mencari penitipan si Dani. Mulai dari istri tukang sapu sekolah (yang dengan ironis kemudian kabur dari rumah–bertahun-tahun kemudian), terus ke penitipan anak di dekat sekolah (yang penuh nuansa dan dilema, termasuk ngurusi adek saya yang diare–padahal ya pengasuh disana itu dibayar), sampai kemudian dapatlah tetangga depan rumah. Adek saya yang berusia 2/3 tahun sudah akan berada dalam pengasuhan saya dan adek-adek yang lain sepulangnya kami dari sekolah.

Dan kemudian ada banyak hal yang menjadi pikiran saya untuk kemudian berumah tangga. Apakah hendak istri yang jadi ibu rumah tangga atau tidak? Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, adanya malah tambah galau.

Belum lagi, di era hedonisme macam ini, sumpeh deh, saya nggak kuat kalau hanya sendirian menopang keuangan. Bagi saya double income adalah keharusan. Realita mengharuskan demikian, ditambah masa lalu saya yang memang dilahirkan dari keluarga double income. Dobel wae kurang, ono meneh single.

Hingga akhirnya permenungan saya lari ke kisah Cinta Brontosaurus.

Heh? Apa pula ini?

Cinta Brontosaurus itu filmnya Raditya Dika beberapa pekan lagi. Konsep pikirnya adalah, kalau di era cinta monyet (jaman SMP) kita jatuh cinta itu murni karena jatuh cinta. Kalau sekarang? Sesudah lihat, kok cantik, lalu mikir, rumahnya jauh nggak kalau mau diapelin, agamanya cocok nggak, emaknya galak nggak, kakaknya ganas nggak, adeknya cantik nggak, dan seterusnya.

Dalam hal ihwal hendak berumah tangga, meskipun sama siapanya jelas masih kabur sampai sekarang, saya mungkin sudah berpikir terlalu jauh dengan menuliskan ratusan kata di atas. Pada akhirnya, cinta yang seharusnya menjadi dasar malah nggak murni. Bisa jadi demikian.

Begitulah, ada banyak hal yang harus dipikirkan, ada banyak yang hal yang musti direncanakan, dan kadang terlalu banyak hal yang belum perlu untuk dipikirkan dan direncanakan. Yang perlu sekarang adalah memilah dan memilihnya.

Tapi sebelum itu, mari kita cari calon istri dulu ya.

#eaaaaa