Tentang Lovefacture (1)

Bulan Desember lalu saya memulai proyek baru berjudul LOVEFACTURE. Sebuah proyek menulis yang saya buat blognya sendiri, jadi 1 blog isinya ceritanya doang. Dan sampai sekarang baru kelar 17 bab -___-”

Baru 17 bab? Iya, karena saya sadar ‘nafas’ saya yang pendek dalam bercerita, maka saya buat bab yang banyak dulu, untuk kemudian nanti diedit-edit lagi, kalau memang mau diperbaiki. Angka 17 ini bahkan belum setengahnya.

Ini mungkin proyek yang bisa dibilang paling rapi yang saya punya. Baru kali ini saya membuat outline dengan ‘sebegitunya’, semata-mata ingin hasil yang sempurna. Hanya saja, memang, pemilihan cara bercerita saya sungguh menimbulkan kelelahan. Terkadang saya menjadi delusional ketika menulis bab demi bab. Tentu saja karena pilihan sudut pandang yang saya ambil. Saya tahu itu sulit, tapi buat saya ini tantangan besar. Saya harus terus memaksa diri saya untuk push to the limit. HARUS!

Kalau luput agak lama, saya bahkan sampai lupa jalan dan bagaimana bercerita, maka saya kemudian harus baca ulang, juga tulis ulang. Dan saya amat yakin banyak yang belum sempurna dari proyek ini.

Satu hal, saya pernah dengar bahwa tulisan yang baik itu adalah tulisan yang SELESAI. Maka itu pula di blog ini mulai jarang cerpen, karena saya mencoba fokus di LOVEFACTURE dulu. Mohon doa agar proyek ini selesai, lalu bisa diedit, dan jika mungkin bisa menemukan rumahnya. Saya menulis posting ini semata-mata sedang lelah pasca penulis bab ke-17.

🙂

Advertisement

Apa Aku Membencimu Saja?

Sudah bertahun-tahun lamanya. Ketika aku dan kamu dalam dua jalan yang berbeda. Meskipun aku selalu berusaha membuatnya sama, tapi sulit.

Dalam setiap pertemuan kita, dalam setiap kata-kata yang kamu ucapkan, dalam setiap baris-baris pesan singkat, bahkan dalam setiap pesan di Facebook, sungguh selalu menggugah perasaan rindu. Tidak untuk siapa-siapa, hanya untukmu.

Pantaskah aku merindumu di saat seharusnya aku merindukan orang lain? Makanya, orang bilang rindu itu indah. Waktu teman-temanku melepas rindu bersama kekasihnya tampak sekali indah. Lantas aku? Aku begitu tersiksa karena rinduku padamu hanya sekadar rindu belaka.

Tidak ada keharusan kamu untuk juga merinduku, tidak juga ada sarana atau upaya untuk melepas kerinduanku kepadamu.

Apa aku membenci dirimu saja?

Waktu kamu menjatuhkan hatimu pada orang lain, sungguh aku sudah mendapatkan perasaan itu. Aku berhasil membencimu. Namun waktu ternyata tidak berjalan semudah yang aku kira. Kamu terluka, kamu sakit, kamu lantas memutuskan sesuatu yang besar, dan tidak ada lagi alasan bagiku untuk membencimu lagi.

Aku tidak pernah dan tidak akan pernah bisa menyentuhmu. Tidak pernah dan tidak akan pernah bisa memilikimu. Tapi aku selalu dan akan selalu merindumu. Bahkan ketika aku sudah berhasil membencimu, satu-satunya alasanku berbuat itu sirna dengan mudahnya.

Aku berada di persimpangan jalan. Persimpangan yang sulit. Apakah aku harus memilihmu, sementara tidak mungkin aku memilikimu? Apakah aku harus bertahan dengan pilihanku, sementara di dalam hatiku selalu ada kamu?

Ini persimpangan tersulit dalam hidupku.

Kupejamkan mata dan berdiri di persimpangan itu. Kuhirup nafas dalam, hingga paru-paru penuh dengan oksigen. Semua memompakan darah ke otakku. Berharap aku bisa berpikir.

Tapi sia-sia, darah itu malah mengalir ke hati dimana satu-satunya pilihan menurutnya adalah kamu!

Tampak bayangan seluruh hidupku datang menghampiri. Kupeluk erat dia, kuharap dapat memberikan sesuatu yang berharga untuknya. Aku ingin dia menikmati seluruh perjalanannya. Dan itu tidak lain butuh pilihanku. Jalan mana yang hendak kupilih. Jalan itu tak jauh, persis di depanku.

Waktu sudah mengayuh dirinya terlalu jauh. Dan semakin aku terbawa olehnya! Sungguh sulit. Memang lebih baik seharusnya aku membencimu saja. Tapi membaca tulisan-tulisanmu, membaca kata-katamu, dan memaknai detail-detail kalimat manismu, aku betul-betul tak bisa membencimu.

Tolonglah, beri aku cara!

* * *

Pria galau itu masih berdiri lemah di persimpangan berdebu. Berteriak penuh keluh kesah. Pilihan hidup tentunya tidak mudah. Apalagi disuruh memilih hati dan otak.

Pria itu semakin lemasnya tapi masih ada senyum tersungging di bibir tebalnya. Hmmm.. agaknya dia sudah mendapatkan keputusan.

 * * *

Aku berjalan disini, memilih jalanmu. Sederhana bukan? Terserah padamu, meski aku tahu kamu mencintai yang lain, tapi biarkan aku mencintaimu. Ada atau tiada cinta, bagiku tiada mengapa. Setidaknya dengan ini, aku bisa menemukan diriku yang telah lama hilang.

Aku memang tidak bisa membencimu. Sungguh.