Tadi sore, bersama seorang teman, aku pulang ke kediaman. Yah, habis belanja-belanja sedikitlah. Seperti biasa, senin sampai jumat mencari uang, sabtu dan minggu menghabiskannya. Kata-kata yang sesuai untuk fresh graduate, namun terkadang masih aku anut sampai nyaris 2 tahun menjadi pekerja.
Tapi bukan itu intinya.
Ketika pulang, memasukkan sepeda motor, dan hendak menutup pagar, ada kendala. Pagar itu tidak bisa ditarik dengan mudah seperti biasanya. Cek punya cek, ternyata roda dari pagar itu keluar dari rel-nya. Segera pagar diangkat, ditaruh kembali diatas rel-nya, kemudian pagar pun bisa ditutup kembali dengan sempurna.
Simple sekali sih. Roda pagar yang keluar dari relnya. Tapi coba sesekali kita berpikir soal ini.
Dalam hidup, kita punya rel masing-masing. Ada jalan yang sudah dipersiapkan oleh Tuhan untuk kita. Kita dapat bergerak dengan bebas dan lancar dengan rel itu. Sesekali memang ada batu atau gumpalan daun sisa banjir yang teronggok di rel, namun dengan sedikit pemaksaan, halangan itu bisa dipindahkan.
Tapi sesekali, entah karena apa sebabnya, kita keluar dari rel yang sudah disediakan itu. Apa yang terjadi kemudian?
Kita tidak bisa bergerak dengan mudah. Kita tidak punya arah untuk berjalan. Kita menjadi sebuah pagar yang hanya bisa diangkat untuk bisa bergerak. Kita bukan lagi pagar yang bisa melindungi, bahkan kita menjadi pagar yang menyusahkan, karena tidak bisa ditutup, dan butuh perlakuan khusus.
Jadi, apa gunanya keluar jalur? Toh, tidak ada jalur lain yang dipersiapkan untuk kita? Seumur-umur, aku belum pernah melihat satu pagar dengan dua rel. Ya, hanya ada pagar dan relnya masing-masing.
Refleksiku, kalau memang Tuhan sudah memberikan rel sendiri-sendiri, ya silahkan dijalani. Hal yang sulit, karena terkadang ada rintangan di rel itu, namun ternyata tidak lebih sulit ketimbang kita keluar dari rel itu. Untunglah Sang Pemberi Hidup selalu memberikan kita kesempatan kembali, mengangkat kita, agar kembali ke rel-nya.
Berefleksi itu mudah, yang sulit: mengaplikasikannya.
Semangat!!
🙂