Siapapun yang pernah cinta monyet ketika SD pasti pernah mendapat pertanyaan, “danau apa yang paling luas di Indonesia?”
Tentu saja, semua yang pernah SD dan merasakan bahwa PR adalah masalah terbesar di dunia ini akan menjawab dengan tuntas, lugas, dan tanpa tedeng aling-aling bahwa danau yang paling luas di Indonesia itu adalah Danau Toba.
Ya, Danau Toba. Danau yang selalu mengandung pesona bagi saya sendiri sejak lama, meskipun belum pernah sama sekali sampai ke tempat itu. Bagaimana tidak hendak terpesona ketika di pulau tempat saya dilahirkan, Sumatera, tampak begitu jelas ada area berwarna biru dengan pulau di tengah-tengahnya? Belum lagi kalau melihat luasnya yang 1.145 kilometer persegi itu. Angka segitu setara dengan nyaris empat kali lipat dataran Maladewa atau Malta, atau dua kali lipat Singapura. Bayangkan bahwa kita punya tempat yang luas air tergenangnya saja dua kali lipat Singapura, dan saya masih tetap jalan-jalan serta makan-makan ke Singapura #loh
Tentu kita sudah belajar saat SD, SMP, maupun SMA bahwa cinta monyet itu pedih Danau Toba diperkirakan terbentuk karena letusan gunung api besar alias super volcano bertahun-tahun silam. Disebutkan bahwa setidaknya 2.800 kilometer kubik bahan vulkanik dimuntahkan oleh Gunung Toba. Cerita yang berkembang bahwa letusan Gunung Toba ini bahkan menyebabkan perubahan iklim dengan masuknya bumi ke periode es. Luar biasa, bukan?
Maka, ketika hendak melakukan perjalanan berupa ziarah ke makam opung di Bonan Dolok, saya membulatkan perut tekad untuk harus sampai ke Danau Toba. Soalnya, saya sudah setidaknya 3 kali mampir ke Dolok Sanggul yang sebenarnya nggak jauh-jauh benar dari Danau Toba, tapi nggak pernah bisa mampir.
Sayangnya, waktu saya terbatas, uang juga, sih. Adalah membuang banyak waktu dan hari cuti jika saya harus ke Parapat untuk menikmati Danau Toba. Setelah berpikir keras dan melakukan kalkulasi matang serta berkali-kali melihat Danau Toba via Google Maps, akhirnya saya memutuskan untuk menikmati Danau Toba via Balige!
Bagi saya, ini pilihan paling bijak. Dengan perjalanan hanya beberapa jam dari Bonan Dolok, via Siborong-borong, saya dan keluarga sudah bisa mencapai Balige. Adapun perjalanan ke Parapat adalah tiga kali lebih lama. Toh poin saya adalah ke Danau Toba, bukan ke Parapat. Dengan luasan danau yang tiga kali negara Malta itu bukankah sama saja jika saya menikmatinya dari sisi manapun?
Petualangan sebenarnya dimulai dari sore, kala kami sampai ke Balige namun nggak ngapa-ngapain karena badan ini telah terlalu lelah gegara melakoni perjalanan ratusan kilometer dari Bukittinggi. Maka, menikmati Danau Toba baru dari balkon kamar hotel saja. Untuk kepentingan menikmati Danau Toba ini, saya memesan hotel persis di pinggir Danau Toba. Tentu saja bukan di tengah. Nanti tenggelam, kak.
Pagi-pagi, kami keluar hotel dan via pintu belakang menuju tepian Danau Toba. Ya, dengan luas yang sedemikian besar tentu saja tepian Danau Toba itu panjang sekali, termasuk secuilnya di belakang hotel. Sesuai arahan orang hotel, kami berjalan ke kiri untuk mencari lokasi yang tepat bermain di Danau Toba.
Keluar pada saat matahari baru terbit memang luar biasa, panasnya belum terasa, dinginnya sudah memudar. Ditambah lagi Danau Toba lagi cantik-cantiknya, bebas kabut pula. Sebuah pemandangan yang bikin adem, daripada itu Kementerian anu sama Badan anu yang malah ribut dhewe, padahal tetangga. Ckckck.
Perjalanan kami tidak panjang, hanya sekadar mewujudkan cita-cita untuk berfoto di Danau Toba, dan itu sudah dilakukan bahkan sejak keluar hotel hingga kami nebeng berfoto di restoran hotel lain yang menyajikan pemandangan nan lebih asyik. Tentu saja, sama halnya dengan saya yang bertemu orang Jawa di Danau Sentani, Papua, di Danau Toba ini saya juga ketemu orang Jawa. Bedanya kalau di Sentani, orang Jawanya kerja jadi tukang, di Toba orang Jawanya mau kondangan.
Puas foto sana-sini, masih ada yang mengganjal ketika belum memegang air Danau Toba. Ini problematika tersendiri karena dalam perjalanan kami yang tidak panjang itu tiada ketemu pantai atau secuplik daratan yang bisa diakses sekadar untuk membasahi diri dengan air Danau Toba.
Hmmm.
Maka begitu melihat ada celah sedikit di sebelah hotel tempat kami nebeng berfoto tadi, segeralah saya dan Bapak turun sembari melewati sedikit semak yang tumbuh di tepi jalan. Poinnya kan hanya membasahi diri dengan air Danau Toba, nggak peduli di tempat yang seperti apa, bukan? Maka jadilah, lumayan, saya akhirnya bisa membasuh dan membenamkan kaki sejenak di ademnya Danau Toba, sesuatu yang belum sempat saya lakukan di Sentani.
Ada hal kecil yang menarik sekaligus setengah miris. Saat saya asyik foto sana-sini, ada dua anak kecil mendatangi Mamak dan meminta uang. Mungkin dengan maksud agar pemberian uang itu tidak cuma-cuma benar, mereka bahkan meminta agar uang itu digulungkan ke batu dan batu itu dilempar ke danau agar mereka berenang mengambilnya. Menarik karena anak itu sampai berpikir semacam demikian, miris karena anak seumur mereka sampai perlu meminta-minta uang semacam itu. Yah, hidup.
Sebuah pagi saya lewatkan di Danau Toba, sekadar perwujudan keinginan sederhana yang lama tidak sampai-sampai untuk diwujudkan. Menghirup udara di tepian Danau Toba, menginjakkan kaki di dinginnya air Danau Toba, begitu saja cukup. Tidak peduli di Parapat, di Samosir, atau dimanapun. Di Balige saja sudah cukup. Cukup bikin kere, maksudnya. Heuheu.
Maka, teman-teman, sekali waktu sempatkanlah diri ke Danau Toba. Jika dari Medan, tentu Parapat lebih mantap, namun jika datang dari selatan dengan mobil, percaya sama saya, Balige pun sudah lebih dari cukup.
Tabik.
One thought on “Suatu Pagi di Danau Toba”