Saya baru saja mengakhiri perjalanan yang biasa disebut mudik. Meski saya tidak berlebaran, tapi karena SKB 3 Menteri menitahkan untuk berlibur, maka saya lantas menjadi salah satu manusia yang terlibat dalam pergerakan massa bernama mudik lebaran. Well, sejatinya saya tidak terlalu suka untuk mudik di kala lebaran. Tentu saja bukan karena teror pertanyaan ‘kapan kawin?’ yang melanda kaum-muda-usia-matang-tapi-belum-kawin-kawin kayak saya, melainkan karena kampung halaman saya namanya Bukittinggi.
Bukittinggi adalah kota mini di deretan bukit barisan. Saya sebut mini karena dari rumah saya yang di pinggir kota sampai ke tengah kota itu paling cuma butuh 5-10 menit karena jaraknya paling cuma 4 km. Saking mininya, dalam durasi 30 menit, saya bisa putar-putar Bukittinggi hingga Kantor Pos sebanyak 4 kali, sudah melebihi talak cerai. Bukittinggi menahbiskan dirinya sebagai kota wisata dengan objek andalan bernama Ngarai Sianok, Panorama, Lubang Jepang, Jam Gadang, hingga yang terbaru Great Wall (atau mungkin bisa disebut tembok gadang kalau diterjemahkan secara bebas).
Nah, kenapa saya malah malas pulang ke rumah ketika saya tahu bahwa kota kelahiran saya itu adalah kota tujuan wisata?
Masalahnya mungkin mirip dengan Bandung atau Jogja, banyak pendatang yang memilih untuk berlibur ke Bukittinggi. Saya tinggal di Jakarta sehingga sangat familiar dengan mobil-mobil plat B. Ketika libur lebaran, saya merasa Jakarta pindah ke Bukittinggi karena banyaknya mobil plat B yang berkeliaran. Ah, tapi B sih termasuk kecil persentasenya dibandingkan BK dan BM, atau BA dengan dua kode terakhir memberikan fakta bahwa mobil itu dari Sumatera Barat, tapi bukan dari Bukittinggi. Jadi ini ibarat Jakarta, Pekanbaru, Medan, dan Padang dipindahkan ke Bukittinggi pada dosis yang agak berlebihan.
Di Jakarta macet bin ramai, masak saya harus mendapati fenomena yang sama di rumah? Begitulah, masalahnya kembali kepada perintah negara untuk libur dan daripada saya mengering tanpa kasih sayang di Jakarta, lebih baik saya pulang. Setidaknya bisa tidur-tiduran di rumah seraya makan gratis.
Keberadaan Bukittinggi sebagai tempat wisata tentu harus diterima. Ya, sudahlah, toh hak mereka sebagai pembayar pajak–iya, kalau bayar–untuk berlibur. Oh iya, mereka yang berlibur itu umumnya sih pakai PREMIUM alias bensin yang disubsidi negara. Dibuktikan dengan antrean di keran kuning di SPBU-SPBU di Bukittinggi. Jadi mereka memang bayar pajak–kalau bayar–tapi berlibur dengan disubsidi negara. #okesip
Terlepas dari kemalasan saya pada keramaian, ada satu hal yang menggelitik saya sepanjang perjalanan kemarin. Semua bermula ketika saya berjalan kaki di Jalan Sudirman, sementara di sebelah kanan saya terjadi kemacetan sejak Panorama sampai Lapangan Kantin. Dari sebuah jendela mobil Avanza Hitam berplat BA bukan Bukittinggi tetiba terlontar sebuah gelas AMDK kosong.
Plung! Gelas itu jatuh di jalan raya dan mobilpun berlalu.
Potret itu adalah sesuatu yang mengerikan dalam jangka panjang bagi negeri ini. Iya, di saat Malaysia dan Singapura yang sepelemparan mortir sudah berbenah lebih jauh, kita masih sibuk membiasakan diri membuang sampah sembarangan. Sejatinya ini bukan pertama kali saya melihat orang buang sampah sembarangan. Di angkot Rawasari, saya melihat seorang ibu membuang gelas AMDK ke jalan, di depan anaknya. Mungkin naik angkot melambangkan tingkat pendidikan yang kurang. Silakan berhipotesa demikian terlebih dahulu. Akan tetapi saya juga pernah melihat seorang gadis membuang teh kotak di antrean Bianglala Dunia Fantasi. Kita semua tahu bahwa untuk masuk Dufan itu butuh duit 250 ribu. Nggak sembarang orang bisa masuk dengan harga tiket segitu, setidaknya dia menengah ke atas. Kalau menengah ke atas, setidaknya ya berpendidikan. Yang berpendidikanpun buang sampah sembarangan. Atau potret lain di sebuah ruang tunggu bandara. Sekali lagi, nggak semua orang bisa ada di ruang tunggu bandara sampai pegang tablet. Setidaknya mereka agak kaya. Akan tetapi, dialog yang terjadi justru mencerminkan hal sebaliknya:
Anak: Papa, ini buang dimana?
Papa: Buang aja di bawah, nanti ada yang bersihin
Wow! Kita nggak bisa berlindung pada tingkat pendapatan atau tingkat pendidikan kalau begini ceritanya. Mereka yang ada di Dufan dan di angkot Rawasari melakukan hal yang sama, sama-sama bodohnya.
Kembali ke perjalanan saya di Bukittinggi. Saya mungkin melakukan tindakan bodoh dengan tidak mengembalikan gelas AMDK itu pada pembuangnya. Saya justru memungutnya, memandang ke dalam mobil sambil bergaya ala Cak Lontong ketika bilang ‘mikir’, dan membuang sampah itu di tempat sampah terdekat. Nggak apa-apalah, jadi bodoh sesekali mungkin ada gunanya.
Perjalanan saya berlanjut ke kebun binatang Kinantan. Ini mungkin kebun binatang paling antik di dunia persilatan mahadewa dan mahabarata karena dia ada di dataran tinggi. Kalau kenal jembatan Limpapeh, itu menghubungkan Kinantan dengan Fort De Kock. Jadi kalau gajah boker, mungkin baunya sampai ke bawah. Begitu masuk ke Kinantan yang ramainya minta ampun itu saya melihat profil sampah yang luar biasa ada dimana-mana. Sayup-sayup terdengar himbauan kepada para pengunjung untuk membuang mantan sampah pada tempat yang sudah disediakan. Dua potret yang nggak memperlihatkan kesesuaian.
Saya yakin orang-orang yang ada di Kinantan ini mendengar himbauan itu, dan dengan keyakinan yang sama mereka percaya bahwa akan ada yang membersihkan sampah yang mereka buang. Keyakinan berjamaah yang kemudian menimbulkan suasana tidak nyaman di kebun binatang nan ramai itu. Ah, kalau di Dufan yang masuknya perlu seperempat juta saya ada orang buang sampah sembarangan, apalagi di Kinantan yang biaya masuknya hanya seperseratus juta. Saya yakin mereka mendengar, tapi mereka berusaha tuli.
Sungguhpun teman-teman difabel dengan tunarungu jelas lebih terhormat. Mereka memiliki keterbatasan dalam mendengar, tetapi berusaha untuk mendengarkan dengan cara apapun. Sedangkan yang jelas-jelas punya telinga, memilih untuk tidak mendengarkan sesuatu yang jelas mereka tahu karena mereka bisa mendengar. Inilah TULI yang sesungguhnya!
Oh, tidak lupa juga fakta bahwa saya melihat gelas minuman ringan di kandang pelikan dan buaya. Entah apa yang ada di otak orang-orang yang melempar benda plastik yang sulit terdegradasi itu ke kandang hewan. Saya yakin buaya tidak minum teh, apalagi teh instan dalam gelas. Jadi tidak ada gunanya benda itu untuk mereka.
Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Fort De Kock dan mendapati fakta yang tidak jauh berbeda. Gelas plastik, bungkus plastik lapis alu, dan aneka bentuk kemasan lainnya berserakan di sekitar benteng peninggalan Belanda itu. Ya, tentu saja nggak akan bikin banjir karena benteng itu ada di ketinggian, tapi tetap bikin kotor kan ya?
Sebuah refleksi sederhana buat saya, apakah memang persoalan membuang sampah ini adalah mentalitas kita? Di pelajaran PPKn dulu–ah, ketahuan kan umurnya saya–tidak ada yang bilang bahwa orang Indonesia terbiasa buang sampah sembarangan. Semua bilang kalau kita bertoleransi, tenggang rasa, tepa selira, makmur jaya, abadi utama dan merk-merk toko bangunan lainnya. Kalau mau diekskalasi, apa pantas kita ngomong soal Gaza atau ISIS alias mencoba peduli pada negara lain kalau pada lingkungan sekitar saja kita tidak peduli.
Saya mungkin baru bisa sebatas nulis ini. Selama ini saya hanya mencoba selalu membuang sampah pada tempatnya. Kalau pas nggak ada, sampah itu saya kantongi sampai saya pulang atau nemu tempat sampah terdekat. Yang bisa saya lakukan baru sebatas itu.
Keyakinan saya nggak berkurang bahwa di Indonesia ini banyak orang baik, banyak orang yang akan rela membuang sampah pada tempatnya, banyak orang yang peduli pada lingkungan di sekitarnya dengan tindakan-tindakan kecil. Ya, semoga kita semua bisa melakukan tindakan kecil yang memberikan manfaat kecil bagi lingkungan kita alih-alih omong besar tapi soal mimpi-mimpi. Semoga demikian.
One thought on “Tentang Membuang Sampah”