#300

Buat saya ini gila.

Yah, ketika blog ini dimulai dengan memakai domain jadul kreasi 2008, siapa yang mengira jalannya akan semacam ini. Dan yang bikin agak unik, blog ini dimulai beberapa waktu sesudah ada tawaran menarik untuk karier, dan angka 300 juga tercapai tidak jauh dari hal yang sama.

Apa saya begini-begini saja?

Entahlah.

Ya, buat saya 300 itu angka yang besar untuk dicapai dalam waktu 1,5 tahun saja. Ehm, ada bulan-bulan ketika saya bisa menulis hingga 40 post, tapi untunglah sejak Januari 2011 itu, saya belum pernah putus menulis sebulan. Setidaknya kontinuitasnya bisa dilihat di sisi kanan blog ini.

Jadi apa makna 300 ini?

Nggak lebih dari karya. Saya punya 300 post yang total jenderal dilihat 35 ribuan kali. Masak yang begitu nggak disyukuri?

Jadi, terima kasih kepada SELURUH pembaca ‘Sebuah Perspektif Sederhana’. Meski perlahan isinya tidak lagi sederhana, setidaknya masih ada yang meluangkan waktu membaca tulisan-tulisan saya.

Semoga saya bisa lanjut ke 400, 500, 1000, dan angka-angka milestones lainnya. SEMOGA!

Sebuah Percakapan

Aku datang, sendiri, ke tempat yang sangat aku rindukan ini. Sebuah tempat di ketinggian, dengan suasana sunyi senyap nyaris horror. Tapi meski ada dua pohon beringin disini, aku tidak merasa ketakutan. Sosok tersenyum yang menjulang di depanku membuatku tidak merasa takut sama sekali.

“Mengapa kau datang anakku?”

“Sekadar ingin bertanya.”

“Tanyakanlah.”

“Aku mensyukuri yang aku dapat sepenuhnya, terima kasih sepenuh hidupku untuk itu. Tapi ada sedikit yang aku heran.”

“Apakah itu?”

“Aku memohon untuk satu hal, namun yang datang kepadaku justru hal lainnya. Apakah maksud dari itu?”

Sosok itu tersenyum penuh ketenangan. Damai yang tidak pernah aku rasakan. Ah, mana ada damai di dunia yang semakin keras? Mana ada damai ketika semua sibuk mengetengahkan ego sendiri dengan dalil kepentingan bersama? Mana ada damai ketika semua sibuk membenarkan diri sendiri? Mana ada damai ketika setiap masukan yang diberikan dianggap sebagai aib?

Hanya senyum itulah yang menenangkan.

“Kamu bermasalah dengan yang datang itu?”

“Tentu tidak.”

“Kamu bersyukur?”

“Dengan sepenuh hidup.”

“Kenapa kamu masih bertanya?”

Aku terdiam. Sebuah pukulan balik untukku.

“Kamu berdoa sepanjang waktu untuk sebuah permohonan. Aku meyakini itu bukanlah yang terbaik untukmu.”

“Artinya aku mendapat yang lain, yang sejatinya lebih baik?”

“Aku hanya memberikan yang terbaik untukmu.”

“Terima kasih untuk itu.”

“Pulanglah. Nikmatilah berkatmu.”

Aku menunduk sedikit, lalu mundur. Kedamaian ini memang hanya berlangsung sebentar. Sedikit lagi aku akan menikmati lagi dunia tanpa damai. Ah, itu kan nanti.

Anak tangga yang kecil-kecil itu kupijak dengan santai. Setiap pijakan mengingatkanku pada percakapan tadi. Aku memohon dengan sangat untuk suatu hal, namun aku justru diberikan hal yang lain. Sebuah hal yang pada akhirnya menjadi nyata bahwa itulah yang terbaik untukku. Jadi untuk apa aku mempertanyakan?

Bahwa jalan terbaik untuk hidup adalah bersyukur. Aku perlahan mencoba memahami itu lewat anak tangga yang membawaku pada dunia yang sebenarnya.

Sore Hari Di Tepi Sungai Itu

Cuaca yang khas di sungai ini, sebuah kondisi yang sinonim dengan kerinduan. Dahulu aku sering berlama-lama di tepi sungai ini. Okelah aku tidak bisa berenang, tapi memandang air mengalir, pun kapal-kapal yang berjalan silih berganti di atasnya, adalah suasana yang dirindukan.

“Ngeliat apa?”

Suara manismu mengusik sore penuh memori. Yah, di tempat ini, aku dan kamu, duduk memandang air bergerak di depan sana.

“Nggak. Nggak ngeliat apa-apa kok.”

“Nggak baik ngelamun. Kesambit ntar.”

“Loh, aku kan sudah kesambit hatimu.”

“Gubrak!”

“Kenapa?”

“Dasar gombal.”

Kita tertawa lepas, dan segera ditelan oleh angin sore yang bertiup dengan riang. Tangan mungilmu, lengkap dengan jam tangan anak-anak yang membalut lenganmu, menggantung manis di sisi kananku. Kutautkan saja tangan nganggur itu dengan tanganku yang juga tanpa pegangan.

“Hayo, pegang-pegang.”

“Nggak boleh?”

“Nggak.”

“Lha kok nggak dilepas?”

“Lha kan kamu yang megang.”

“Trus?”

“Hmmmmm…”

“Hahahaha…,” tawaku kembali lepas. Berdua denganmu selalu menjadi saat yang menyenangkan.

“Eh, kamu tahu nggak?”

“Tahu apaan?” Wajahmu beralih menatap wajahku, meninggalkan pemandangan sungai di sore hari ini.

“Tahu nggak, kalau cinta itu misteri?”

“Maksudmu?”

“Yah, kayak kita sekarang ini. Bisa duduk disini, berdua, gandengan. Siapa yang ngira bisa begini?”

“Ehm, ya mungkin memang begitu.”

“Setidaknya aku punya pemikiran baru.”

“Apakah?”

“Ya itu, dalam hidup yang begini ini, kita nggak perlu melawan kehendak Tuhan. Dulu aku pikir, apa yang aku rencanakan itu sesuai, tapi nyatanya Tuhan punya cara lain.”

“Maksudmu?”

“Ya, kalaulah aku tidak meninggalkan tempat ini dulu, maka mungkin jalanku nggak begini. Jadi memang aku waktu itu harus pergi, dan sekarang pada akhirnya disuruh kembali.”

“Yah. Jadi jalani saja. Bener kan?”

“Yup. Jalani saja sambil berdoa agar cintamu tetap untukku. Haha.”

“Apa coba?”

“Nggak apa-apa, sayang.”

“Cinta itu tetap kok. Tenang saja. Aku nggak akan nambah cinta untukmu.”

“Kok gitu?”

“Cinta itu harus pas. Kalau kamu dapat cinta berlebih, kamu bakal bagi-bagi ke orang lain. Kalau kamu dapat kurang, ehm, kamu nyari yang lain ntar. Iya kan?”

“Hmmm.. Iya juga. Pinter kamu ya?”

“Biasa aja ah. Lebay.”

Senyumku dan senyummu menghantarkan sore hari terindah sepanjang aku berdiri di tepi sungai ini. Keindahan ketika cinta dua hati menyatu dalam kesepahaman akan misteri Ilahi. Keindahan yang sederhana.

“Say?”

“Iya, kenapa?”

“Aku sayang kamu.”

Kamu tersenyum, menyandarkan kepalamu di bahuku. Ah, benar juga, indah itu sederhana, pun bahagia. Di sore hari, di tepi sungai itu, aku memeluk keindahan dengan bahagia.

🙂