“Oke, kita ketemu di ibukota ya!”
“Siap. Siapa takut?”
Cem menyunggingkan senyum sambil menyentuh layar ponsel pintarnya. Sebuah tantangannya pada seorang teman lama disanggupi. Sebenarnya justru karena berawal dari sama-sama ingin bertemu, kerinduan itu menjelma menjadi sebuah tantangan. Tantangan teman lama.
“Cem, berhubung kamu sudah esmud begitu, walaupun di pedalaman Andalas sana, kayaknya kamu perlu ditantang deh.”
“Kenapa Det? Apa sih yang nggak buat kamu?”
“Kita ketemu di ibukota, dalam posisi backpacker, dan nggak boleh naik pesawat. Soalnya kamu pasti bisa dengan mudah pakai burung besi itu Cem.”
Cem sedikit keder. Tapi nggak mungkin dia kalah sama Deta. Nyali Cem terpaksa dikuat-kuatkan. Jalan lintas Sumatera bukanlah jalan yang sepenuhnya ramah. Dicegat di jalan, dilempar batu, hingga digemboskan bannya pernah dialami Cem ketika masih belia. Dan hidupnya yang penuh fasilitas perlahan membentuk jiwanya menjadi manja. Cem aslinya takut hendak kembali ke masa seperti belianya. Tapi ya itu tadi, dia nggak mau kalah sama Deta. Masak esmud tambang kalah sama dosen muda? Mana ada?
“Deal, Cem?”
“Deal, Det. Lanjutkan.”
* * *
Cem memasuki pelataran loket bus Putra Remaja di Jalan M Isa. Hasil tanya kiri kanan mengarahkan Cem ke tempat ini. Panas-panas ngentang, Cem menaiki bis yang hendak membawanya ke ibukota. Ehm, sejatinya ini akan jadi sangat lebih mudah kalau dia naik taksi ke SMB II, lalu menggunakan penerbangan ke Soekarno Hatta, lalu taksi ke meeting point. Biasanya hidup Cem adalah sesederhana itu. Dan bagi Cem, bus ini sama sekali tidak sederhana.
“Posisi Det?”
“Otw, Tegal.”
“Naik apa kamu?”
“Ini nunggu kendaraan ke Cirebon.”
“Heh? Nggak ada yang lebih mudah Det?” tanya Cem. Dalam hatinya, dia mengkhawatirkan seorang wanita muda penuh pesona yang sendirian hendak menuju Cirebon untuk sebuah pertemuan dengannya. Bagi Cem, ini juga sebenarnya bisa mudah. Apa susahnya naik pesawat dari Adisucipto ke Soekarno Hatta? Tak sampai 55 menit, jarak itu terbunuh.
“Hey Cem! Percaya kan bahwa hidup ini petualangan? Nikmatilah. Dimana kamu?”
“Baru masuk Lampung. Udah lewat tempat tentara nih.”
“Oke Cem. Lanjutkan!”
“Sip Det.”
Dan Cem mulai meresapi kata-kata Deta. Nikmatilah.
* * *
Bus yang membawa Cem sudah sampai di Bakauheni. Turunan perlahan dengan persewaan kapal di kiri dan kanannya sudah menandakan bahwa Bakauheni memang sudah dekat. Cem pun mulai bersiap, karena terakhir kali dia naik kapal penyeberangan ini, dia mabuk laut. Ah, kadang fasilitas justru membuat orang menjadi sangat-sangat manja. Meski sejatinya mereka bisa, tanpa fasilitas itu. Berbagai logika mulai berlari di otak Cem.
HP-nya bergetar. Smartphone bukan pilihan bagus untuk perjalanan jauh karena baterai hanya akan habis dalam setengah jalan. Jadilah Cem memakai HP lama-nya, jaman dia masuk berani naik angkot sendirian, jaman dia masih pede berdiri di atas bus, jaman dia belum terlena oleh fasilitas sebagai esmud.
Deta disana.
“Posisi bos?”
“Bakauheni. Situ?’
“Nggak ngerti juga saya. Hahaha.. Pokoknya di atas kereta. Nggak dapat kursi neh.”
“Berdiri???” tanya Cem terperanjat.
“Lha iya, kenapa?”
“Ehm, nggak apa-apa kok. Oke. Go ahead.”
“Siap bos.”
* * *
Cem sendiri masih bingung menerjemahkan makna permintaan Deta. Jadilah dia tidak hanya menghindari burung besi, tapi juga burung biru. Padahal dia adalah pelanggan tetap angkutan itu. Semata-mata mengikuti permintaan Deta.
“Bu bos?”
“Mari? Dimana Pak?”
“Pulo Gadung. Meeting point mana?”
“GBK kayaknya asik.”
“Yah, jauh aja Det.”
“Ya gpplah. Aku juga dari stasiun sini nggak dekat-dekat amat itu GBK.”
“Okelah Det.”
Dan Cem memasuki terminal besar itu, memasuki halte Busway dan kemudian masuk ke kerumunan orang, berdiri. Sepanjang jalan.
* * *
GBK. Patung memanah. Sungguh sebuah view yang indah untuk dijadikan titik pertemuan, apalagi ketika tempat bersejarah itu sedang sepi.
“Cem!” Sebuah teriakan terdengar dari arah belakang. Cem yang sedang memandangi megahnya GBK menoleh seketika.
“Det! Sampai juga kamu. Capek?”
“Enjoy Cem. Itu bikin nggak capek-capek amat. So, bagaimana perjalananmu?”
“Ehm, gila. Aku bilang kamu gila dengan ide ini.”
“Nggak lah Cem. Aku cuma mau ngetes. Apa kamu masih kuat menderita. Hahaha.”
“Gila kamu Det. Tapi kamu berhasil. Aku lulus kan?’
“Ehm, sepertinya sih gitu.”
Kedua teman lama itu kemudian duduk di rerumputan, memandang megahnya GBK dan cerahnya langit. Cem menoleh ke samping, tampak paras Deta. Penuh lelah dengan perjalanan antik Jogja-Cirebon-Jakarta yang mayoritas berdiri. Entah kenapa, Cem tiba-tiba hendak memuji Deta.
“Det?”
“Kenapa?”
“…….”
“Kamu kenapa Cem?”
“Ehm, nggak apa-apa. Kamu terlihat cantik sekali.”
Deta tersenyum dan kembali memandang lepas ke langit.
Bahwa makna cantik itu tidak semata-mata soal paras.
One thought on “Cantik”