Tuhan, Bukakanlah Jalan Bagi Umat-Mu Ini

Saya sudah mencoba menimang-nimbang berkali-kali, apakah hal ini perlu saya tulis atau tidak. Tapi makin saya baca, pelan-pelan saya mulai meneteskan air mata. Dan mungkin, satu hal ini bisa membuat saya memilih tidak akan berlama-lama hidup di C******. Meski di banyak sisi, saya punya banyak alasan untuk tetap hidup di C*******.

Ini kutipan yang membuat saya menangis:

Rencana pembangunan Gereja Katolik Paroki I** T***** C*******, di daerah L**** C******* yang merupakan gereja terbesar se-Asia Tenggara dan akan menjadi pusat aktifitas Kristenisasi, telah mengundang keresahan pada masyarakat Kabupaten B*****.

Well, parameter apa yang menetapkan bahwa bangunan yang dimaksud akan jadi yang terbesar di Asia Tenggara? Apakah bangunan itu akan lebih besar dari Katedral Jakarta, Katedral Padang, Kidul Loji Jogja, atau St. Yosef Cirebon? Saya sendiri nggak yakin.

Hanya ada satu hal yang bisa men-justifikasi definisi itu yakni karena seluruh penduduk beragama Katolik di seluruh C******* terkonsentrasi di satu titik saja. Kalau dari definisi itu, wajar kalau disebut sebagai yang terbesar se-Asia Tenggara. Yah, bayangkanlah kalau umat harus pergi beribadat saja butuh 30 menit sampai 1-2 jam. Itu saking jauhnya. Jadi, mau tinggal di C******* U****, C********, D**** M**, dan di C******* ujung dunia manapun, acuannya yang cuma 1, sebuah SEKOLAH dengan kursi bakso, beratap seng, dan sumuknya minta ampun.

Mengapa sih untuk memuji dan memuliakan Tuhan di tempat yang layak, menjadi hal yang sulit?

Saya mungkin hanya bisa menangkap satu hal. Bahwa untuk melakukan rutinitas kerohanian yang menjadi kebutuhan batin, perlu PERJUANGAN. Itu yang saya anggap sebagai pelajaran setiap minggu. Kalau di tempat-tempat saya pernah berada, untuk kebutuhan batin itu saking mudahnya, bisa jalan kaki, kalau di tempat ini butuh usaha berlipat.

Hmmm.. Pelan-pelan saya menulis ini, saya mulai sedikit memahami. Ini adalah upaya Tuhan memberikan kekuatan kepada umat-umatNya. Tuhan pasti tidak mau umatNya putus asa dalam berharap. Biarlah pelajaran ini selalu mengisi hati nurani kita. Meskipun kemudian, hanya sekadar duduk bersimpuh dalam keadaan sunyi hanya menjadi mimpi di siang bolong. Yah, begitulah..

No problemo untuk saat ini. Tapi, pasti akan jadi issue besar dalam hidup saya di masa depan. Saya sungguh menikmati duduk sendiri di deretan bangku kosong, layaknya di Petrus Claver Bukittinggi atau Bellarminus Mrican. Dan jujur, saya kehilangan itu kini.

Biarkan saya mencari solusi atas kegundahan hati ini. Untuk saat ini biarkan saya bangga dengan cara Ferdinand Sinaga merayakan golnya ke gawang Thailand pada 13 November silam. Itu sudah lebih dari cukup.

Terima kasih sudah mampir.

Advertisement

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.