Tag Archives: suku

Pilihan Hati

“Lu putus bro?”

Panji hanya mengangguk pelan dengan tatapan mata menerawang ke langit ke tujuh.

“Ngapain lu pake acara putus segala?”

Berondongan pertanyaan masih nggak berhenti keluar dari mulut Bara yang semakin tajam melotot ke muka Panji. Padahal Panji-nya matanya ke langit. Ini semacam pandangan tak berguna.

“Udah nggak cocok bro!”

“Jiah, gue sebagai yang merekomendasikan lu sama Cindy, merasa terhina nih. Dari nama aja udah cocok tuh. Pan dan Ji, Cin dan Dy. Mukanya dia juga bukannya pasaran, cakep abis.”

“Gue yang putus kenapa lu yang rempong, Bar?”

“Lha, abisnya, gue kan ikut andil, tanggung jawab nih.”

“Udahlah, bro. Udah putus, selesai, titik.”

“Nggak ngerti gue,” ujar Bara sambil berdiri dan meninggalkan Panji sendirian dengan tatapan mata yang masih ke langit, entah mencari apa ia disana.

Panji terdiam, tangan kanannya memegang tepat di depan heparnya.

Sementara Bara, masih bergumam sepanjang jalan, “Kurang capek apa coba, kurang baik apa pula, bodoh banget tu bocah.”

* * *

“Dapat salam tuh, dari Chika,” ujar Bara sambil melihat telepon genggamnya, “Salam balik nggak?”

“Nggak usah,” jawab Panji, singkat-dalam-tenang.

“Songong banget jadi laki boz!”

“Biarinlah.”

Dan Bara hanya garuk-garuk kepala, tak habis pikir.

* * *

“Ini pada ngomong apa sih? Gue yang jomblo aja biasa wae,” kata Panji sambil menyeruak dari balik kerumunan lelaki-lelaki yang bersuat-suit pada rombongan gadis-gadis manis yang baru lewat.

“Ya iyalah, lu jomblo songong,” timpal Bara.

“Apa coba?”

“Nah, yang mau banyak, nggak mau. Punya pacar oke, diputusin. Labil ah.”

“Ah, itu perasaan Om Bara saja.”

“Huuuu….”

Panji, Bara, dan yang lainnya menikmati saat-saat pemandangan bagus ciptaan Tuhan itu lewat. Semuanya tampak biasa saja sampai kemudian lewatlah Atha.

Panji tetap berupaya mengimbangi teman-teman lainnya, tapiiii… tatapan matanya tidak bisa menipu kalau ia lebih dari sekadar mengamati seorang gadis yang sedang lewat. Tatapan ini punya kandungan nilai yang jauh lebih dalam.

“Cieeee, yang mantannya lewat,” teriak Bara sambil menyenggol Panji.

Yang disenggol hanya terdiam.

* * *

“Daripada perkara hati kita berkelanjutan, lebih baik kita sudahi saja ya Mas.”

Kalimat miris itu terucap dari bibir manis Atha, diselingi suara hujan, dan hawa panas kopi yang baru saja mampir di meja.

“Bener juga sih, Tha.”

“Ya, gimana Mas. Aku sayang sama kamu, banget. Tapi faktanya kan kita nggak bisa bersatu. Daripada kita memupuk cinta ini sampai besar, nanti akhirnya dipotong juga. Berbahaya jika diteruskan.”

Panji terdiam selagi aroma kopi menembus hidungnya, menuju alveoli di paru-parunya dan memberikan makna lain terhadap pehamaman sebuah perkataan.

“Semoga demikian, Tha. Semoga perkara hati ini bisa kita atasi. Kadang dia nggak bisa dibohongi soalnya,” ujar Panji sambil tersenyum.

“Yah, semoga ya Mas.”

Keduanya tersenyum, perbedaan ini memang tidak bisa disatukan. Kadang jadi lucu ketika perbedaan yang adalah ciptaan Tuhan justru menjadi hal yang tidak bisa mempersatukan sesama ciptaan Tuhan. Apa yang telah direncanakan Tuhan untuk dipersatukan, nyatanya bisa dipisahkan oleh perbedaan yang mendasar.

* * *

“Kalau mau jujur, aku nggak bisa melupakanmu, Tha.”

Panji menarikan jemarinya di atas keyboard, menuliskan sebuah pesan pribadi di Direct Message Twitter

Jari-jarinya menari lagi di kolom Tweet, baris-baris kata kembali terbentuk, “Ada banyak hal yang mudah, tapi hati memilih yang sulit.”

Tweet!

Dan kalimat ini muncul di timeline.

Sebuah notifikasi masuk ke Twitter Panji, dan sebuah balasan DM.

“Aku juga, Mas. Mungkin hati kita memang sudah memilih yang sulit.”

Panji tersenyum membaca balasan itu. Sederhana, punya makna dalam di hati, tapi nyatanya tak akan memiliki makna di realita. Kadang hati memang seperti itu. Dan kebetulan, kini Panji yang mengalami perkara bernama “pilihan hati”.

* * *

Aku Ingin Jatuh Cinta

Jemariku belum lepas dari telepon genggam yang agak pintar ini. Sudah dua jam lebih aku terkapar di kasur sambil memegangi benda hitam mungil yang kubeli dari Tunjangan Hari Raya tahun lalu ini. Aplikasi yang dibuka sebenarnya tidak banyak, hanya Facebook, Twitter, dan beberapa portal berita. Ketika aku bosan, maka aku akan mengulang kembali aplikasi yang sama. Selalu ada yang baru di newsfeed FB dan timeline Twitter, jadi biasanya mampu membuatku tidak bosan.

Beginilah aktivitasku sehari-hari. Sepulang dari kantor, aku hanya terpakar di kasur dan akrab dengan aplikasi yang tidak banyak. Aku tahu ini hanya upayaku untuk mengalihkan diri dari masa lalu tapi tampaknya aku bertindak dengan cara yang salah. Aku masih tetap memegang benda hitam mungil ini. Aku memang membuka aplikasi, tapi mata dan jariku sangat awas pada notifikasi Whatsapp di pojok kiri atas. Lingkaran hijau itu yang selalu mengingatkanku tentang masa lalu yang indah.

Nyatanya, lingkaran hijau notifikasi itu tidak pernah ada lagi. Hidupku memang tidak pernah sama lagi. Sejak aku dan dia memutuskan untuk berpisah karena perbedaan yang tidak lagi dapat menyatukan dua hati yang rindu, hidupku memasuki babak baru. Menurutku, ini babak baru yang suram.

Aku tidak lagi mampu mengerjakan sebuah laporan dengan cepat. Aku jauh lebih sibuk melihat telepon genggam yang nyata-nyata tidak pernah berbunyi lagi. Dalam setiap pandanganku ke layar monitor, aku tidak melihat forecast dan rencana produksi. Angka-angka itu, di mataku, menjelma menjadi teks percakapan Whatsapp plus emoticon yang menyertai.

Aku tidak lagi menempuh perjalanan dengan riang karena tidak ada lagi yang berpesan padaku seperti yang dia selalu lakukan dulu, “hati-hati ya”. Malah wajahnya terbayang di berbagai kejadian, entah itu lukisan di belakang truk hingga sekadar orang lewat. Aku selalu merasa sedang melihat wajahnya.

“Brakkkk.”

Terdengar suara pintuku dipukul keras. Ah, itu pasti Rian yang baru pulang kerja. Sudah menjadi kebiasaannya untuk berbuat barbar macam itu. Sudah hampir pasti juga kamarku menjadi sasaran karena terletak paling depan.

“Apa?” teriakku sambil tetap terguling sempurna.

“Nggak apa-apa. Makan?”

“Nanti.”

“Ya. Mandi dulu.”

“Ya.”

Aku serasa hidup di hutan kalau sedang ngobrol dengan Rian dalam posisi ini. Aku tergolek lesu di kamar, Rian duduk asyik di depan televisi yang jaraknya lima belas meter dari tempat aku berbaring sekarang. Rian tertawa riang karena baru jadian, aku tertunduk lesu karena baru putus.

Hawa panas di dalam kamar yang pengap ini akhirnya mampu membuatku bergerak. Dua jam terkapar dengan masih mengenakan seragam kantor adalah tabiat buruk yang tidak layak ditiru. Seragam kantorku—berikut kelengkapannya—sangat cocok untuk kantorku yang dingin ber-AC, tapi tidak untuk kamarku yang pengap dan lembab.

Aku bangkit, tapi tetap lemas. Mataku masih awas pada sudut kiri atas telepon genggamku, berharap notifikasi Whatsapp muncul. Satu menit mataku menatap awas ke arah itu, dan nihil. Segera kulepas seragam kantorku dan berganti dengan baju rumah.

“Jokowi atau Foke?” tanyaku pada Rian yang sedang asyik duduk di depan televisi, menonton Quick Count Pilkada DKI.

“Ini lagi nonton.”

“Nggak phonesex?”

“Belum.”

Tepat ketika Rian selesai menyebut “belum”, Blackberry-nya berbunyi. Rian bergegas masuk kamar, dan aku langsung menyimpulkan itu adalah pacarnya.

Perihal istilah phonesex, memang agak vulgar. Meski tidaklah ada diksi yang cukup kurang ajar di sebuah kos-kosan cowok yang berisi staf-staf muda di berbagai pabrik. Rian yang mencetuskan istilah itu ketika ia sering tiba-tiba berada di depan kamarku dan mendengarkan pembicaraan teleponku.

Kini dunia berbalik. Rian sering senyum-senyum sendiri. Staf di pabrik otomotif ini juga bisa berjam-jam bertelepon ria di dalam kamar. Dalam beberapa kali percakapan, ia mulai sering menyebut diksi “bojoku”.

Ah, ini pasti pertanda jatuh cinta. Sebuah keadaan yang mampu mengaduk-aduk emosi manusia. Sebuah perasaan yang mampu meningkatkan kadar senang dan sedih dalam hitungan detik. Sebuah kondisi yang bisa menyunggingkan senyum dan menorehkan luka lebih cepat dari membalik telapak tangan.

sumber: iamalittlemorethanuseless.blogspot.com

Rian sedang menikmati indahnya. Ia tersenyum sepanjang hari. Kalau jam 10 malam ia sudah keluar dari kamar, senyumnya bisa lebih mengembang. Saat main PES 2012 pun, ia hampir selalu menang karena bermain dengan riang gembira. Ketika mandi, ia bernyanyi paling keras, bahkan sampai terdengar ke kamarku. Indah sekali hidup seperti Rian ya?

Aku masuk ke kamar mandi, tetap dengan gontai. Kuletakkan peralatan mandi di pinggir bak dan kugantung handuk pada tempatnya. Kedua tanganku masuk ke bak dan basah seketika. Kuusap kedua belah tangan itu ke wajahku. Pikiranku melayang ke berbagai tempat. Sekelebat tampak Rian yang sedang riang gembira. Sedetik berikutnya  terbayang kesendirianku di dalam kamar. Sejurus kemudian berganti ke masa silam, ketika aku berada pada posisi yang sama dengan Rian.

Bahwa jatuh cinta itu indah, aku paham benar soal ini. Bahwa ada konsekuensi lain dari jatuh cinta, aku juga harus mengerti soal itu. Maka pikiranku melayang ke sebuah percakapan yang masih melekat erat di hidupku.

“Mas, aku mau kita udahan.”

“Kenapa?”

“Ya, kamu tahu kan. Kita nggak bisa bersatu.”

Aku terdiam, berpikir, dan mengeluarkan kata-kata yang menurutku ajaib bisa meluncur dari mulutku sendiri, “Kalau memang itu yang terbaik buat kamu, nggak apa-apa kok.”

Senyum tersungging kecil di bibirku, berharap itu dapat menyunggingkan senyum yang sama dari bibir lawan bicaraku.

“Aku sayang kamu, Mas. Tapi sepertinya memang harus begini. Ini bukan yang terbaik untukku. Akupun menangis karena ini.”

“Ini fakta kok, kita itu sukunya berbeda. Ya nggak ada yang bisa diubah.”

“Mas?”

“Iya?”

Dan yang kudengar selanjutnya ada isak tangis, dari gadis yang sangat kucintai ini. Perbedaan suku berhasil memisahkan dua hati ini.

Kusandarkan dua tanganku pada bak mandi, kupandang air yang menggenang di bak itu. Kulihat wajah gembira Rian disana, kulihat kebersamaanku dengan gadis manis yang aku cintai, kulihat tubuhku terkapar di dalam kamar.

Ah, seandainya aku bisa seperti Rian, yang sedang menikmati indahnya jatuh cinta. Seandainya waktuku menikmati indahnya jatuh cinta itu bisa lebih lama. Berbagai pengandaian lain mendadak bermunculan, sekaligus berupaya menepis kenyataan. Sebuah kesia-siaan, karena kenyataan tidaklah musnah oleh pengandaian. Ini tetaplah kenyataan.

Aku ingin jatuh cinta lagi, tapi nyatanya aku tidak bisa. Aku sudah jatuh terlalu dalam di hatinya.