Tag Archives: nikmat

Objek yang Sama

Kamu menenggak kopi yang ada di depan kita. Malam yang dingin ini memang nikmat kalau diselamurkan dengan kopi. Tidak ada yang lebih sesuai untuk suhu 25 derajat celcius dibandingkan air hangat berisi kafein.

“Aku bingung,” katamu membuka pembicaraan.

“Kenapa? Ceritalah.”

Aku–si pendengar sejati–adalah tong sampah yang selalu siap menampung sampah dari banyak orang. Tidak terbilang yang sudah menumpahkan rahasianya kepadaku, bahkan termasuk ketidaksukaan atasanku sendiri pada atasan lain di kantorku.

2012-07-20-08-40-59-copy-copy

“Hati ini sudah hampa. Dan untuk itu aku berdoa pada Tuhan agar diberikan orang yang tepat untuk mengisi hati ini. Aku sudah lelah untuk bermain-main dengan hati.”

“Lalu?”

“Lalu permainan lain datang.”

“Maksudmu, Tuhan mempermainkanmu?”

“Tidak. Ini bukan permainan. Tuhan itu Maha Asyik, jadi ini pasti semacam petunjuk untuk memilih. Bayangkan, dari kosong, kini aku diberi dua pilihan, dengan dua konteks.”

Sungguhpun aku belum mengerti maksudmu, maka aku bertanya, “maksudnya?”

“Persis ketika aku berdoa, ehm, satu minggu sesudah aku berdoa tepatnya. Aku tiba-tiba mendapatkan peristiwa absurd ini. Ini tentang dua orang. Yang satu, latar belakangnya sangat sesuai dengan impianku tentang pasangan hidup. Yang satu, entah mengapa, dibalik ketidakyakinanku dan ketidaksesuaiannya dengan impianku tentang pasangan hidup, justru lebih membuat hatiku deg-degan.”

“Sebentar, kita bicara cinta?”

“Mungkin. Entahlah. Kita coba mulai dari bibitnya saja. Siapa tahu itu cinta.”

“Ehm, baiklah. Orang pertama. Silakan jelaskan.”

“Dia tiba-tiba datang di hadapanku, datang dengan sangat terbuka, dan memperlihatkan tanda-tanda yang jelas bahwa dia menyukaiku.”

“Mungkin itu hanya perasaanmu saja?”

“Perasaanku kuat, teman. Jadi aku bisa menangkap itu. Lagipula, tanda-tandanya sangat jelas.”

“Hmmm, baiklah. Berikutnya? Orang kedua?”

Kamu mematut diri, menarik napas, dan hening sejenak, sebelum lantas mulai berkata-kata.

“Sejujurnya, dia sangat tidak sesuai dengan impianku akan pasangan hidup.”

“Dalam hal?”

“Segalanya. Tipe, pekerjaan, masa lalu, yah segalanya.”

“Lalu?”

“Tapi hati ini lebih berdebar begitu bersamanya!”

“Owh. Mungkin kamu mencintainya.”

“Entah, akupun bingung. Makanya, aku masih bertanya, kenapa Tuhan mengirimkan keduanya bersamaan. Aku bisa memilih. Memilih yang mungkin mencintaiku, dan berusaha menerimanya. Atau memilih yang mungkin aku cintai, dengan kemungkinan untuk diabaikan.”

“Jadi kamu hendak bagaimana?”

“Itu dia. Aku harus realistis soal hidup, tapi aku masih meyakini bahwa hati ini bisa menang. Aku sudah capek bermain-main dengan hati pada hubungan yang terdahulu. Itu sungguh melelahkan.”

“Yah, begitulah. Cinta itu baru akan indah ketika mencintai dan dicintai itu mengacu pada objek yang sama.”

“Dan sepertinya aku berbeda.”

Kamu menakar gelas kopimu dan segera menghabiskan isinya. Bahwa kafein mungkin dapat memberikan jalan yang benar pada pilihanmu. Siapa tahu, objek yang kamu cintai, sebenarnya juga mencintaimu. Bukankah itu indah?

* * *

*terinspirasi sudut bercerita pada Rectoverso.. hehehe…

Perspektif Wanita Menikah

“Kamu harus belajar masak, baru pantes nikah,” kata Ibu.

Dan kalimat yang sama selalu berulang setiap kali Nora pergi ke dapur dan mengambil makanan. Selalu berulang, saking seringnya, kadang Nora sudah membaca kalimat itu sendiri sebelum Ibu mengutarakannya.

“Memangnya kalau nggak bisa masak, nggak pantes nikah?”

“Ya nggak to nduk. Wanita itu hakikatnya memasak itu.”

“Lha, mamang nasi goreng?”

“Jangan pandang secara sempit nduk. Coba deh kamu pahami filosofi memasak,” jawab Ibu, bijak.

Bahhh.. apa pula ini?

Nora membawa kalimat Ibu ke kantor. Diantara wanita-wanita galau, Nora mencurahkan isu yang dibawanya dari dapur rumah itu.

“Temans, memangnya cewek kalau mau nikah kudu bisa masak ya?” tanya Nora, dengan mata tetap di layar komputer.

“Nggak bener itu. Aku nggak bisa masak, terbukti bisa nikah,” sahut Dini dengan bersemangat.

“Lha ini yang bisa masak, nggak nikah-nikah,” timpal Fiona dengan muka bertambah galau.

“Terus kok nyokap bilang begitu ya?” gumam Nora setelah mendapat input-input yang tidak tervalidasi dari teman-temannya.

Sepulang kantor, Nora berjalan kaki ke warung sea food depan kantor. Yah, depan sih, tapi kudu nyebrang. Dan ini JAKARTA bung. Penyebrangan jalan saja ada sertifikatnya, saking susahnya nyebrang.

Nora menyaksikan dengan mata kepala sendiri proses memasak dari awal. Mulai dari memanaskan wajan, memasukkan bahan-bahan, mengaduk dan mencampur dengan sepenuh hati, menata makanan yang dipesan ke dalam piring, hingga menyajikannya ke pelanggan.

“Filosofi? Apa ya?”

Nora berjalan terus sambil merenung. Entah kenapa sekali ini dia serius berpikir soal filosofi, biasanya mendengar kata itu saja dia sudah pingsan. Maklum, otaknya agak kurang sampai kalau yang berat-berat begini.

Dan benarlah memang otaknya nggak sampai. Tangannya kemudian menggapai BBnya dan masuk ke twitter.

@M_A RT @Filosofi: hidup itu seperti memasak, mencampur berbagai hal dan membuatnya nikmat.

Ups?

Memasak itu mencampur berbagai hal dan membuatnya nikmat? Sepele sekali?

“Ibu bener juga,” gumam Nora lagi, “Memasak itu soal mencampur berbagai hal dalam hidup dan membuatnya nikmat. Yupp.. menikah kan soal percampuran berbagai hal. Hahahaha…”

Nora tertawa di jalan, seorang gembel berlari, takut orang gila lewat katanya.

“Baiklah..,” bisik Nora lagi, “Filosofi sudah ditemukan. Sekarang bagian paling penting, mari mencari calonnya..”

Dan Nora masih tersenyum. Karena senyum bisa bermakna sebuah awal.