Sebelum dimulai, disclaimer dahulu bahwa tulisan ini dimulai dari sebuah prompt di Gemini versi Deep Research. Prompt-nya diinput ketika lagi di peron 5 dan 6 Stasiun Tanah Abang dalam kondisi yang cukup desperate. Jadi, saya bukan-bukaan saja bahwa tulisan tentang Green Line ini tadinya hasil pemikiran Gemini yang lantas saya intervensi untuk menjadi konten di ariesadhar.com.
Setiap pagi sebelum fajar menyingsing dan setiap sore menuju malam, ritual massal terjadi di sepanjang koridor barat daya wilayah metropolitan Jakarta dengan melibatkan 3 provinsi dan sekian kabupaten/kota. Jutaan manusia memulai dan mengakhiri hari kerja mereka dengan sebuah perjalanan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas mereka: perjalanan dengan Kereta Rel Listrik (KRL) Commuter Line rute Rangkasbitung alias Green Line.
Rute ini membentang sepanjang 72.7 kilometer dan melintasi 19 stasiun dari jantung komersial Tanah Abang hingga ke ibu kota Kabupaten Lebak di Banten dan merupakan urat nadi ekonomi, sosial, dan budaya yang memompa kehidupan antara pusat kota dan daerah penyangganya. Dengan durasi perjalanan yang kini dipersingkat menjadi sekitar 98 menit berkat optimalisasi Grafik Perjalanan Kereta Api (GAPEKA) 2025, rute ini merupakan yang terpanjang dan salah satu yang terpadat dalam keseluruhan sistem KRL Commuter Line.
Di rute ini tidak halangannya ada-ada saja. Mulai pohon pisang, truk mogok, sampai yang paling epik adalah springbed. Iya, kasur ada di jalur kereta. Absurd benar.
Di balik angka-angka efisiensi dan statistik operasional, terdapat sebuah realitas manusiawi yang jauh lebih kompleks dan menantang. Pada jam-jam sibuk, gerbong-gerbong kereta berubah menjadi arena perjuangan. Kepadatan penumpang sering kali melampaui kapasitas yang dirancang. Ya, mungkin kecuali menurut perhitungan BPKP, yha. Kondisi ini memaksa mayoritas komuter untuk menjalani hampir seluruh perjalanan mereka dalam posisi berdiri dan berdesakan dalam ruang yang terbatas.
Pengalaman ini diperparah oleh ketidakpastian yang itu tadi. Ada gangguan operasional akibat pohon tumbang, masalah sinyal, atau insiden di perlintasan sebidang. Kondisi itu bisa saja mengubah perjalanan 98 menit menjadi sebuah cobaan tanpa akhir yang dapat diprediksi. Berdiri selama lebih dari satu setengah jam, hari demi hari, bukan lagi sekadar ketidaknyamanan melainkan sebuah kondisi eksistensial.
Tubuh yang Bertahan
Pengalaman berdiri di dalam gerbong KRL yang padat dan bergerak lebih dari sekadar rasa pegal atau tidak nyaman. Dari sudut pandang medis dan ergonomis, ini adalah paparan harian terhadap serangkaian risiko fisiologis yang signifikan dan terukur. Meskipun berdiri merupakan postur alami manusia, melakukannya secara statis alias tanpa banyak bergerak untuk periode yang lama adalah kondisi yang secara fundamental tidak sehat. Perjalanan KRL selama 98 menit dikali dua dalam sehari menempatkan para komuter dalam kategori risiko ini.
Secara fisiologis, berdiri statis dalam waktu lama dapat mengurangi suplai darah ke otot-otot yang sedang bekerja keras untuk menopang tubuh, seperti otot kaki, punggung, dan leher. Aliran darah yang tidak mencukupi ini mempercepat timbulnya kelelahan otot dan menyebabkan rasa nyeri yang persisten. Salah satu dampak paling serius dari kondisi ini adalah pada sistem kardiovaskular.
Gravitasi menyebabkan darah cenderung menggenang di bagian bawah kaki dan meningkatkan tekanan di dalam pembuluh darah vena serta memaksa jantung untuk bekerja lebih keras memompa darah kembali ke atas. Studi menunjukkan bahwa pekerja yang sebagian besar waktunya berdiri akan memiliki risiko dua kali lipat lebih tinggi terkena penyakit jantung dibandingkan dengan mereka yang sebagian besar duduk. Tekanan vena yang kronis ini dapat menyebabkan peradangan pada pembuluh darah, yang seiring waktu dapat berkembang menjadi gangguan vena kronis seperti varises yang nyeri dan pembengkakan kaki.
Berdiri juga memberikan tekanan konstan pada sendi-sendi penopang berat badan: panggul, lutut, pergelangan kaki, dan telapak kaki. Ketika posisi ini dipertahankan tanpa gerakan yang signifikan seperti berjalan, maka pelumasan alami sendi menjadi berkurang. Kombinasi antara tekanan tinggi dan pelumasan yang buruk ini dapat menyebabkan keausan pada tulang rawan sendi, yang dalam jangka panjang meningkatkan risiko penyakit degeneratif seperti osteoarthritis serta dapat pula memicu penyakit rematik.
Pengalaman komuter yang berdiri ini juga merupakan bagian dari masalah yang lebih besar, yaitu gaya hidup yang kurang aktif. Meskipun berdiri membakar lebih banyak kalori daripada duduk, berdiri statis yang berkepanjangan tidak memberikan manfaat kardiovaskular dari gerakan aktif. Gaya hidup seperti ini secara luas dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan sistemik, termasuk peningkatan risiko obesitas, diabetes mellitus type 2, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan osteoporosis.
Ergonomi dalam Guncangan
Penumpang KRL tidak hanya berdiri statis di lantai yang stabil. Mereka berdiri di dalam sebuah kotak logam yang terus bergerak, berakselerasi, mengerem, dan berguncang. Kondisi ini menambah lapisan risiko ergonomis yang signifikan di atas bahaya berdiri statis. Untuk menjaga keseimbangan, penumpang harus secara konstan dan tidak sadar mengaktifkan otot-otot inti kaki, tangan, dan punggung mereka untuk melawan gaya inersia dari gerakan kereta. Hal ini secara signifikan meningkatkan tingkat kelelahan otot dibandingkan dengan berdiri di tempat yang diam.
Setiap kali kereta mengerem secara tiba-tiba atau berakselerasi dari stasiun, tubuh penumpang mengalami gaya eksternal yang kuat. Saat berpegangan pada tiang atau gantungan, gaya ini diterjemahkan menjadi beban mendadak pada persendian dan dapat memicu kontraksi otot yang berlebihan sebagai respons protektif.
Kondisi tersebut kemudian memusatkan stres pada struktur-struktur rentan seperti sendi di bahu, ligamen di pergelangan tangan, dan sendi lutut. Paparan berulang terhadap beban mendadak ini dapat menyebabkan cedera mikro-trauma yang terakumulasi dan berkembang menjadi kondisi nyeri kronis. Itulah sebabnya orang-orang banyak yang merasa bahwa naik KRL itu bukan untuk semua orang.
Penumpang yang berdiri di kereta juga terpapar getaran seluruh tubuh tingkat rendah hingga sedang yang merambat dari rel melalui lantai gerbong. Hal ini menjadi faktor risiko untuk nyeri punggung bawah dan gangguan tulang belakang lainnya karena getaran tersebut memberikan tekanan berulang.
Mari kita ulang. Pertama, otot-otot besar di kaki dan punggung dipaksa untuk bekerja secara statis untuk waktu yang lama yang dapat menyebabkan penumpukan asam laktat, kelelahan, dan penurunan sirkulasi. Di sisi lain, seluruh sistem muskuloskeletal harus siap sedia untuk merespons secara dinamis terhadap gaya tak terduga dari gerakan kereta, yang menempatkan sendi dan ligamen di bawah tekanan mendadak.
Profil risiko gabungan ini kemungkinan besar lebih merusak daripada hanya berdiri statis atau hanya terpapar gerakan dinamis secara terpisah. Kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan komuter tidak bisa hanya berfokus pada penambahan frekuensi kereta untuk mengurangi kepadatan namun juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek desain rekayasa seperti material lantai yang dapat menyerap getaran, desain pegangan tangan yang lebih ergonomis, dan bahkan akselerasi dan pengereman yang lebih halus sebagai variabel kesehatan masyarakat yang krusial.
Pikiran yang Terhimpit
Perjalanan komuter, terutama dalam kondisi ekstrem seperti di KRL Rangkasbitung, bukanlah sekadar perpindahan fisik. Ia adalah sebuah peristiwa psikologis intens yang membentuk suasana hati, tingkat stres, dan bahkan cara kita memandang orang lain. Ruang fisik yang menyempit secara langsung menghimpit ruang mental, memaksa pikiran untuk bernegosiasi, bertahan, dan terkadang, menyerah.
Kondisi terhimpit ini kadang bikin kita bisa melihat istri mengirim foto sekali lihat ke suaminya, suami mengirim pesan WA ke selingkuhan, orang-orang yang lagi kena tipu via chat, dan lain-lainnya.
Dalam riset yang dibantu oleh Gemini ini, saya baru tahu ada yang namanya Commute Psychology. Katanya, ilmu ini memandang perjalanan harian bukan sebagai waktu yang hilang atau kosong, melainkan sebagai sebuah ambang batas psikologis yang signifikan dan secara aktif membentuk kondisi mental. Perjalanan yang menyenangkan dapat menjadi penyangga stres, sementara perjalanan yang buruk, seperti tadi saya cerita soal kasur, dapat meracuni sisa hari itu.
Gemini menawarkan istilah impedansi yang didefinisikan sebagai kesulitan dalam bergerak dari titik asal ke tujuan. Stres muncul dari frustasi karena tujuan ini terhambat. Dalam perjalanan KRL, impedansi ini dapat berwujud antrean panjang, gerbong yang penuh sesak sehingga sulit masuk, dan keterlambatan yang tidak terduga. Setiap 10 menit waktu tempuh tambahan terbukti secara statistik berkorelasi dengan peningkatan probabilitas depresi.
Tarian Sunyi di Tengah Kerumunan
Inti dari penderitaan psikologis di KRL yang padat adalah konflik fundamental terkait ruang personal. Moda transportasi publik memang memaksa orang-orang asing untuk masuk ke dalam zona yang dalam keadaan normal hanya diperuntukkan bagi keluarga dan pasangan. Maka wajar sampai isi HP benar-benar kelihatan.
Saking dekatnya, invasi yang tidak diinginkan ini memicu serangkaian respons psikologis defensif. Saya cukup dapat mengerti muncul dan adanya tendensi orang-orang untuk melecehkan karena memang sedekat itu. Yang saya nggak paham adalah mekanisme kontrol mereka pada tendensi yang muncul itu. Normalnya di tempat umum sih nggak akan ngaceng, apalagi masturbasi. Tapi ya begitulah. Orang mah ada-ada aja.
Para penumpang secara kolektif mengembangkan civil inattention sebagai sebuah tarian sosial yang rumit dan sunyi di mana setiap individu berpura-pura tidak memperhatikan orang lain untuk memberikan privasi timbal balik. Mekanisme koping yang paling umum diamati dimulai dengan menghindari kontak mata. Tahap selanjutnya adalah menggunakan gawai sebagai tameng sosial. Dengan menatap layar, seseorang menjadi tidak tersedia secara sosial dan menciptakan gelembung privasi di tengah kerumunan. Apalagi ditunjang dengan bahasa tubuh seperti menggunakan earphone atau menyilangkan tangan, maka tercipta cara-cara non-verbal untuk menegaskan batas personal.
Mekanisme ini tidak selalu berhasil. Kepadatan ekstrem di KRL Rangkasbitung dapat menyebabkan skelebihan sensorik. Kebisingan yang konstan (warga Green Line yang sampai ujung pasti paham benar soal ini), bau yang beragam (apalagi sore ke malam hari), sentuhan fisik yang tak terhindarkan, dan pemandangan lautan manusia dapat membanjiri sistem saraf dan memicu respon fight-or-flight fisiologis seperti jantung berdebar, napas menjadi dangkal, dan telapak tangan berkeringat. Secara psikologis, ini dapat bermanifestasi sebagai rasa cemas kemarahan, atau keinginan yang luar biasa kuat untuk melarikan diri dari situasi tersebut. Wajar kan kalau sore-sore itu banyak yang isinya pengen ngamuk?
Mencari Makna di Tengah Gerbong
Dapatkah sebuah pengalaman yang begitu sarat dengan penderitaan fisik dan psikologis memiliki nilai filosofis? Perjalanan komuter harian di KRL Rangkasbitung, tanpa disadari oleh para pelakunya merupakan sebuah arena tempat ketabahan, empati, dan sikap hidup diuji dan dibentuk setiap hari.
Filsafat Stoik menawarkan sebuah kerangka kerja yang sangat relevan untuk menghadapi tantangan komuter modern dengan prinsip intinya perihal dikotomi kendali. Hal yang bisa kita kendalikan hanyalah pikiran, penilaian, dan respons kita. Sementara itu, hampir semua hal eksternal, tentu termasuk springbed di rel kereta berada di luar kendali kita. Perjalanan KRL menjadi perwujudan sempurna dari dikotomi ini.
Seorang komuter tidak dapat mengendalikan kapan kereta akan datang. Komuter juga tidak tahu akan ada gangguan sinyal atau tidak. Demikian pula dengan kepadatan gerbong maupun bau yang akan ada di situ. Menurut kaum Stoik, menderita secara emosional karena hal-hal yang tidak dapat dikendalikan adalah sebuah kesalahan logika dan sumber dari semua ketidakbahagiaan. Seorang Stoik akan memfokuskan seluruh energinya pada apa yang bisa dikendalikan yakni respons internalnya.
Alih-alih mengutuk keterlambatan, ia akan menerimanya sebagai fakta dan menggunakan waktu tambahan untuk membaca atau merenung. Dalam pandangan ini, perjalanan komuter yang penuh tekanan berubah dari sumber penderitaan menjadi sebuah kesempatan harian untuk melatih kebajikan seperti ketabahan, kesabaran, dan pengendalian diri. Hidup komuter menjadi tindakan sadar untuk mengubah penderitaan eksternal menjadi kekuatan internal atau kerap dikenal sebagai mengubah rintangan menjadi jalan.
Kosmopolitanisme di Dalam Gerbong
Salah satu tantangan psikologis dalam kerumunan adalah kecenderungan untuk melakukan dehumanisasi terhadap orang lain. Dalam kepadatan, orang lain berhenti menjadi individu dengan cerita dan penderitaan mereka sendiri, dan menjadi sekadar Non-Player Character dalam video game kehidupan. Seorang pria yang menonton bola dengan suara keras di kereta tanpa headphone bukan hanya tidak sopan namun dia beroperasi dalam kerangka bahwa orang lain hanyalah hantu-hantu tidak penting yang kebetulan mengganggu ruangnya.
Dalam filosofi Stoik, ada citra lingkaran-lingkaran konsentris kepedulian. Lingkaran pertama adalah diri kita sendiri, diikuti oleh keluarga, komunitas lokal, negara, dan pada akhirnya lingkaran terluar yang mencakup seluruh umat manusia. Tugas seorang bijak adalah terus-menerus menarik orang-orang dari lingkaran luar ke lingkaran yang lebih dalam, hingga kita dapat merasakan pertalian dengan setiap orang. Dalam hidup komuter, seorang pria yang terburu-buru bukan lagi penyenggol yang menyebalkan melainkan sesama warga yang mungkin takut terlambat bekerja. Gerbong kereta dalam iringan pantun cringe dari masinis menjadi sebuah republik sementara tempat semua anggotanya mau pengangguran atau head of department berbagi perjuangan yang sama.
Antara Kepasrahan dan Penolakan
Komuter dapat menarasikan pengalaman dalam dua narasi utama yang saling bertentangan. Perspektif pertama adalah narasi penolakan yang memandang perjalanan komuter sebagai sesuatu yang sangat salah, perampasan waktu, hingga energi. Intinya adalah bahwa kondisi tersebut pada dasarnya tidak dapat diterima.
Narasi kedua adalah narasi adaptasi. Dalam pandangan ini, komuter yang tidak memiliki kekuatan untuk mengubah sistem transportasi akan mengembangkan taktik kecil untuk bertahan hidup dan bahkan menemukan kreativitas di ruang antara. Sebagai contoh, saya dahulu bisa mendefinisikan kereta yang pas untuk turun agar bisa langsung tangga dan kemudian meluncur ke peron lain. Hal-hal kecil ini menjadi bahan bakar untuk bertahan hidup. Di Senin pagi, misalnya, saya sudah punya jadwal mendengarkan Bocor Alus Politik. Bahkan ketika hari Minggu saya selow sekalipun, saya tidak akan mendengarkan BAP karena jatahnya adalah Senin pagi sambil komuter.
Perjalanan sebagai komuter menjadi cerminan dari sikap hidup yang lebih luas antara kepasrahan yang pasif, penolakan yang penuh amarah, hingga adaptasi yang kreatif dan berdaya. Secara kolektif, para komuter, terlibat dalam sebuah praktik filosofis setiap hari tanpa menyadarinya. Mereka dihadapkan pada masalah-masalah mendasar tentang kendali, penderitaan, hubungan dengan orang lain, dan pencarian makna dalam rutinitas, sesuatu yang juga coba dipecahkan oleh para filsuf selama ribuan tahun.
Perspektif Ekstrem dari Zimbabwe
Untuk memahami secara penuh signifikansi dari pengalaman komuter di KRL Rangkasbitung, kita dapat melepaskan diri dari konteks lokal dan melihatnya melalui cermin perbandingan global langsung ke Zimbabwe.
Sistem transportasi publik di Zimbabwe digambarkan berada dalam kondisi krisis yang parah. Laporan-laporan melukiskan gambaran yang suram seperti kekurangan armada bus, infrastruktur jalan dan rel kereta yang hancur, kemacetan lalu lintas yang melumpuhkan di pusat-pusat kota seperti Harare, serta korupsi dan salah urus yang merajalela di otoritas transportasi.
Mobilitas bukanlah tentang kenyamanan, kecepatan, atau bahkan kepastian tetapi perjuangan mendasar untuk dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Para komuter menghadapi antrian yang sangat panjang, kendaraan yang penuh sesak secara tidak aman, dan jadwal yang sama sekali tidak dapat diandalkan. Kegagalan sistemik ini memiliki konsekuensi ekonomi yang menghancurkan, meningkatkan biaya produksi, mengurangi produktivitas, dan menghambat pertumbuhan.
Kasus Zimbabwe menjadi cermin yang kuat dan menyadarkan dengan segala kepadatan, gangguan, dan ketidaknyamanan dari KRL Green Line, pada dasarnya dia merupakan infrastruktur yang berfungsi. Keluhan-keluhan tadi adalah keluhan tentang kualitas layanan dalam sebuah sistem yang ada dan beroperasi setiap hari. Di Zimbabwe, masalahnya adalah ketiadaan sistem yang andal itu sendiri.
Penderitaan di Green Line ternyata bagi jutaan orang di belahan dunia lain merupakan sebuah kemewahan yang tak terbayangkan. Atau nggak usah jauh-jauh ke Zimbabwe. Itu Medan, Bandung, dan Surabaya Raya juga butuh Commuter Line.
Menuju Perjalanan yang Lebih Manusiawi
Analisis mendalam terhadap pengalaman berdiri di KRL Commuter Line rute Tanah Abang-Rangkasbitung mengungkapkan sebuah kebenaran yang kompleks bahwa perjalanan adalah lebih dari sekadar perpindahan dari titik A ke B. Komuter adalah sebuah fenomena multidimensional yang merupakan beban fisiologis yang signifikan, tantangan psikologis yang dimediasi oleh norma-norma budaya, dan arena untuk praktik filosofis yang tidak disadari.
Tubuh kemudian menanggung beban statis-dinamis, meningkatkan risiko gangguan otot sampai kardiovaskular. Pikiran berjuang melawan invasi ruang personal dan kelebihan sensorik, menggunakan mekanisme koping yang dibentuk oleh konteks budaya. Sementara itu, jiwa dihadapkan pada pilihan antara kepasrahan, penolakan, atau adaptasi kreatif, sebuah latihan ketahanan mental harian.





