Tag Archives: bahasa

Belajar Bahasa Minang (Versi ArieSadhar)

Empat belas tahun tinggal di Bumi Minang, walaupun nggak asli, bolehlah sedikit berbagi pengetahuan. Kan lumayan, kalau anda-anda belanja dimana-mana, percaya deh, hampir dimanapun ada orang Minang. Saya beli baju di Pasar Baru Bandung, saya lewat di Malioboro, bahkan saya makan di sebuah warung di Nias Selatan, ada aja orang Minang. Mungkin kalau saya ikut program ke Mars, disana sudah ada orang Minang datang duluan.

download (5)

Bahasa Minang, pada dasarnya, meng-o-kan kata-kata. Itulah ketololan sepanjang hayat. Termasuk presenter banci yang ngakunya orang Padang, semuanya di-o-kan. Saya yang bukan orang Minang saja malu dengernya. Hedeh.

Ketemu pertama, mari menyapa:
saya = ambo, denai (yg dikasarkan menjadi aden)
kamu = awak, ang (bukan avatar loh ini..)
Dia = inyo
Kakak = uni
Abang = uda
Adik = adiak
Jadi, kalau beli sate Padang, pas pulang, coba bilang, “Berapa, Da?” kalau yang jualan laki-laki.

Menyoal beli sate, kalau kita tanya demikian, bisa jadi dia akan jawab dengan bahasa Minang. Jangan bigung, karena bahasa Minang sangat nikmat kalau dipelajari. Ingat aja lagu DoMiKaDo, ciek duo tigo. Ini kali ya yang bikin bahasa Minang itu seolah-olah semua o. Mulai dari 1 ya, ciek, duo, tigo, ampek, limo, anam, tujuah, (sa)lapan, sambilan, sapuluah, sabaleh, duo baleh, tigo baleh. Hmm.. sejak 12, muncul baleh sebagai belas versi Minang. Hati-hati, jangan salah nyebut sebelas jadi ciek baleh, soalnya nanti bikin malu. Begitu sampai 20, jadi puluah, duo puluah, tigo puluah, ampek puluah. Dan, as well as ASEM or BAJIGUR  word in Java, be careful to use AMPEK in Minang. Konotasinya jadi agak negatif.

Oya, satu lagi yang saya ingat banget, soalnya pernah malu sama Alm. Uda Haris. Kelapa di Minang adalah Karambia, jangan bilang KALAPO.

images (13)

Kata-kata standar, ada bara (berapa), a (apa), ko (ini), jo (dengan), indak (tidak), ka (ke). Biar agak asik kedengarannya, banyak digunakan penikmat berupa a dan do. Semisal: iko a (ini), atau indak do (tidak). Kata-kata lain pai (pergi), lalok (tidur), imbau (panggil), jago (bangun), baraja (belajar), tokok (pukul), siko (sini), ketek (kecil), bulek (bulat), berang (marah), kaja (kejar), kajai (karet), gundar (sikat), gadang (gede), saketek (sedikit).

Penggunaan bahasa ini berguna waktu saya nawar jaket di Pasar Baru Bandung, berguna waktu meninggalkan counter di emperan Malioboro karena jadi tahu kalau si penjual mau mark up sekayangnya, dan sangat bermanfaat waktu saya membayar makanan di Nias Selatan. Coba deh, sekali-kali teman-teman terapkan di rumah makan padang, untuk memastikan keaslian rumah makan tersebut. Dan sekali lagi, ini versi saya lho ya, banyak ketidaksempurnaannya.

Membahas Bahasa

Beberapa menit yang lalu, ada pesan muncul di chat FBku, bunyinya “Piye kabare?”

Sebenarnya itu ucapan yang sangat standar, biasa diucapkan. Tapi agak menggelitik ketika yang menyebutkannya adalah seseorang bermarga Batak. Semakin menggelitik lagi, ketika aku dalam posisi ngobrol langsung dengan sang pemberi pesan (dan saudara-saudaranya), mereka sangat fasih berbicara bahasa Jawa. Sebenarnya nggak aneh juga, toh sejak kuliah mereka sudah hidup di pulau Jawa. Jadi wajar jika kemudian sangat familiar berbahasa Jawa.

Negara kita tercinta Indonesia ini memang punya banyak keunikan, salah satunya bahasa. Negeri ini punya banyak koleksi bahasa, bandingkan dengan negara-negara lain yang bahkan menggunakan satu bahasa (misal Perancis) bersamas-sama. Kita punya Bahasa Indonesia dan segepok bahasa daerah.

Bahasa daerah seolah menjadi keharusan untuk bisa membaur dengan lokasi yang baru. Waktu masih kecil, dimana di rumah tidak dibiasakan berbahasa Minang, aku agak kesulitan juga saat berbahasa dengan teman. Sampai suatu momen, seorang guru menyuruhku memanggil anaknya, “Kecekan ka si X, diimbau amak”. Poin di percakapan tadi adalah kata Imbau. Pada saat mendengarnya, aku sama sekali tidak tahu artinya. Tapi malu juga mau tanya. Ya dilogika sendiri, kebetulan benar. Itulah yang aku sebut momen berbahasa.

Memasuki era kehidupanku di Jawa, beda lagi. Meski sudah dibekali siji loro telu sampai sepuluh di rumah, tetap saja aku belum memperoleh momen berbahasa itu. Uniknya momen itu didapat lewat kata yang agak kurang sip: Asu.. hehe.. Ceritanya di hari ketiga Masa Orientasi Siswa SMA dulu, ada forum diskusi. Seorang teman asli Jogja mengacungkan tangannya ingin berpendapat, eh ternyata diberikan ke teman yang lain. Spontan ia berucap, “Asu”. Yap, momen sepele, namun itu jadi momenku berbahasa. Perlahan-lahan, berbahasa Jawa mulai menjadi kebiasaan.

Lain halnya dengan era baru kehidupan di Palembang. Dari awal sudah ngeri, soalnya ada kesamaan dengan dua bahasa yang sudah kukuasai sebelumnya. Model banyak O ala bahasa Minang, dan kesamaan beberapa istilah dengan bahasa Jawa. Tapi, mau tidak mau, menguasai bahasa lokal itu penting. Kali ini momen berbahasanya tidak terlalu spektakuler, hanya muncul ketika seorang teman menyebut “Galak pempek dak?” tanya-tanya sedikit muncullah statement “Galak tu sama dengan Gelem” Owwww… Yah, sesederhana itu, dan sejak itu mulailah era berbahasa Palembang.

Memang, apa yang aku lakukan ini hanya mencakup permukaan saja, hanya memaknai bahasa-bahasa pergaulan. Jadi ingat dulu belepotan untuk menyebut gerah, nderek langkung, dan sejenisnya yang halus-halus. Namun setidaknya, ada bekal untuk sekadar mengerti bahasa lokal. Disadari atau tidak, banyak kok gunanya. Itu sebabnya aku agak menyesal hanya mengerti arti kata Awa’ai (selesailah sudah) ketika berada 9 hari di Nias. Dan aku masih memegang kata-kata: aya naon, sabaraha, kadie yang ternyata cukup untuk modal keliling Bandung sendirian.

So, what next? Semoga ada tantangan berbahasa yang baru.

Semangat!!!