Tag Archives: kawasan industri

Tentang Istri

Ehm, followers setia blog ini pasti paham bahwa judul di atas tentu tidak mengacu pada si empunya blog. Yaiyalah, manusia yang membayar 250 ribu setahun untuk domain blog ini adalah manusia yang belum punya calon istri sekalipun. Eh, ada, tapi masih di tangan Tuhan. Hahahaha.

Jadi ini murni tentang perspektif.

Di kawasan industri yang fana ini saya mendapati fakta 50%-50%. Ada sebagian wanita tangguh yang bekerja, dan sebagian wanita lain yang tidak kalah tangguh yang memilih fokus di rumah menjadi ibu rumah tangga.

Pada saat yang sama, saya ingat kata-kata Mamak saya.

“Kalau nanti punya cucu, Mamak nggak mau jagain cucu. Enak aje.”

*tepokjidat*

*buru-buru cari mertua baik hati*

Hehehe. Itu kan perspektif. Jadi ya begitulah.

Artinya gini, ada sebagian wanita yang kemudian memilih untuk tetap bekerja setelah punya anak, dan itu otomatis akan mengacu kepada kebutuhan pengasuh. Nah, yang selalu akan jadi bahan pikiran mereka tentu saja begini.

kerja -> cari uang -> uang buat anak

kerja -> waktu habis -> nggak ada waktu buat anak

Bekerja–adakalanya menghilangkan waktu untuk anak, semata-mata mencari uang yang juga untuk anak.

Nah loh!

Sama juga ketika saya ngobrol sama Tere dan Tiwi di Dapur Coet tempo hari. Ngobrol tentang intensitas bos mereka ketemu anak yang bisa dibilang nyaris minim. Tapi, apakah iya, S1 Apoteker macam mereka hendak resign terus jadi ibu rumah tangga?

Jawabannya, nggak. Tapi kenapa? Tere bilang, karena dia dibesarkan di lingkungan ibu yang bekerja.

Lagi-lagi pengaruh masa silam itu penting, dan itu akan sangat berpengaruh pada pilihan.

Ada banyak kasus yang saya dapati selama saya lahir hingga sekarang. Beberapa teman saya memilih untuk tidak membiarkan istrinya bekerja, sementara dia banting tulang. Jadi, nggak ada isu sama sekali soal anak, karena istrinya ada di rumah dan sepanjang waktu untuk si anak. Bahkan dalam kondisi macam inipun, ada yang belum hendak menambah anak.

Tapi ada juga teman saya, suami-istri bekerja, kebetulan istrinya lebih tua, dan kariernya sedang moncer-moncernya. Sebulan, mungkin setengahnya dihabiskan di luar kota. Ketika ketemu, dengan ‘ironis’ dia memperkenalkan pengasuh anaknya, “kenalin, mamanya mereka.”

Ealah.

Juga ada kasus teman yang intensitas pergi jauhnya rendah, tapi karena sama-sama kerja, juga mempekerjakan pengasuh. Ya, ada-ada saja deh. Ada yang pengasuhnya benar, ada yang dua minggu terus resign, dan lain-lainnya. Bahkan kita juga berpikir seribu kali untuk memilih pengasuh bagi anak kan? Salah-salah anak yang dikasihi itu hilang.

Nah, jadi pilih mana?

Entah menurut yang lain, tapi bagi saya model rumah tangga orang tua saya adalah yang terbaik. Kadang-kadang nyesel jadi apoteker ya gini nih. Hehehe.

Orang tua saya keduanya guru, masuk jam setengah 7, pulang jam 2. Separah-parahnya ya pulang jam 4. Selagi kecil, saya dan adek-adek diserahkan pada pengasuh yang datang setengah hari. Yah, saya dulu di bawah asuhan Budhe Dalimin (almarhumah). Tapi proses mendapatkan Budhe juga nggak mudah. Saya yang masih unyu-unyu ini pernah terlempar dari beberapa pengasuhan. Saya pernah dititip ke Maktuo saya–yang kemudian menyerah mengelola saya. Kemudian dilempar ke seorang pengasuh berusia 12 tahun, yang kemudian bikin dada saya biru. Sampai kepada pengasuh yang nonton TV selagi menjemur saya (makanya saya hitam begini).

Terus saya yang belum dapat calon istri ini mikirnya kejauhan? Nanti saya gimana?

Hedeh.

Iya, model ideal rumah tangga orang tua saya itu hanya ideal ketika anak-anak sudah sekolah. Apalagi saya sekolah di tempat yang sama dengan orang tua saya mengajar. Jadilah, berangkat bareng, di sekolah ketemu, pulang nanti jam 4 sudah sampai rumah. Bikin PR, dll, saya sama sekali tidak pernah kekurangan kasih sayang orang tua.

Tapi, untuk level menangani bayi?

Selain kisah saya tadi, kedua adik saya termasuk hoki karena orang tua saya sudah mendapatkan Budhe. Jadi ya bolehlah. Masalah kemudian muncul waktu si Dani nongol. Saya (di usia 9 tahun) mengalami gimana mencari penitipan si Dani. Mulai dari istri tukang sapu sekolah (yang dengan ironis kemudian kabur dari rumah–bertahun-tahun kemudian), terus ke penitipan anak di dekat sekolah (yang penuh nuansa dan dilema, termasuk ngurusi adek saya yang diare–padahal ya pengasuh disana itu dibayar), sampai kemudian dapatlah tetangga depan rumah. Adek saya yang berusia 2/3 tahun sudah akan berada dalam pengasuhan saya dan adek-adek yang lain sepulangnya kami dari sekolah.

Dan kemudian ada banyak hal yang menjadi pikiran saya untuk kemudian berumah tangga. Apakah hendak istri yang jadi ibu rumah tangga atau tidak? Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, adanya malah tambah galau.

Belum lagi, di era hedonisme macam ini, sumpeh deh, saya nggak kuat kalau hanya sendirian menopang keuangan. Bagi saya double income adalah keharusan. Realita mengharuskan demikian, ditambah masa lalu saya yang memang dilahirkan dari keluarga double income. Dobel wae kurang, ono meneh single.

Hingga akhirnya permenungan saya lari ke kisah Cinta Brontosaurus.

Heh? Apa pula ini?

Cinta Brontosaurus itu filmnya Raditya Dika beberapa pekan lagi. Konsep pikirnya adalah, kalau di era cinta monyet (jaman SMP) kita jatuh cinta itu murni karena jatuh cinta. Kalau sekarang? Sesudah lihat, kok cantik, lalu mikir, rumahnya jauh nggak kalau mau diapelin, agamanya cocok nggak, emaknya galak nggak, kakaknya ganas nggak, adeknya cantik nggak, dan seterusnya.

Dalam hal ihwal hendak berumah tangga, meskipun sama siapanya jelas masih kabur sampai sekarang, saya mungkin sudah berpikir terlalu jauh dengan menuliskan ratusan kata di atas. Pada akhirnya, cinta yang seharusnya menjadi dasar malah nggak murni. Bisa jadi demikian.

Begitulah, ada banyak hal yang harus dipikirkan, ada banyak yang hal yang musti direncanakan, dan kadang terlalu banyak hal yang belum perlu untuk dipikirkan dan direncanakan. Yang perlu sekarang adalah memilah dan memilihnya.

Tapi sebelum itu, mari kita cari calon istri dulu ya.

#eaaaaa

123 Bulan

Bis tampan warna hitam itu akhirnya sampai di Terminal Mangkang.

“Mangkang… Mangkang…”

Marlon menggeliat sejenak dari tidurnya dan sedetik kemudian sadar bahwa ia sudah sampai tujuan. Secepat kilat ia bangkit dari bangkunya dan bergegas turun dari pintu tengah.

Pagi sudah mewarnai Semarang. Tentunya panas. Ah, ternyata dimana-mana sama. Panasnya Semarang sama saja dengan kawasan industri yang hobi demo di sebelah sana, pikir Marlon. Mungkin Marlon lupa, di kota ini juga banyak kawasan industri. Jadi ya pantas kalau sama saja.

Ia melangkahkan kaki ke sisi terminal yang berisi bis-bis ke kota Semarang. Telepon genggamnya yang smart sudah tidak lagi smart karena kehabisan baterai. Jadi, ia menggunakan ponsel jadulnya, memencet beberapa angka yang tampaknya sudah dihafal.

“Halo..” Suara imut dari seorang anak kecil terdengar dari ujung sana.

* * *

“Mas, kita temenan udah lama lho. Nggak sayang tuh?” tanya Aira.

“Memangnya kenapa?” Marlon bertanya balik.

“Ya, simpel lah. Kita temenan udah lama banget. Malah yang keluarga kita udah kenal juga. Kamu kenal orang tuaku. Aku juga begitu. Dan itu kan sebagai teman, Mas. Dan kamu nggak sayang kalau itu semua hilang?”

“Itu malah salah satu bahan pemikiranku, makanya aku begini, Ai.”

“Mas, teman itu hubungan yang lebih abadi dari apapun. See? Kamu gundah sama yang dulu, cerita ke aku. Aku galau sepanjang waktu karena yang dulu juga, cerita ke kamu. Nggak ada yang lebih berharga dari itu lho Mas.”

“Hmmm, jadi sebenarnya?”

“Yah, kamu itu ya temanku, Mas. Mungkin malah lebih kayak Masku sendiri. Kamu tahu-lah kalau aku nggak punya sosok Mas yang bisa melindungiku. Dan aku dapat itu dari kamu.”

“Haha, tapi kalau adik cewek, aku udah punya, Ai.”

“Iya sih. Ya begitulah intinya.”

“Apa?”

“Ya, kamu itu Masku. Dan nggak mungkin buatku menerima kamu jadi pacarku, Mas. Biar berjalan seperti biasa aja yah.”

“Yah, kamu memang cewek berprinsip. Appreciate.”

“Nah itu kamu kan tahu prinsipku kayak apa. Masih nekat.”

“Siapa tahu, manusia berubah, Ai.”

“Kayaknya nggak sih. Hehehe.”

“Ya sudah. Aku hargai itu. Oya, selamat ulang tahun ya,” ujar Marlon sambil menyerahkan sebungkus kado.

Sebuah obrolan ringan di teras KFC Banyumanik, pada sebuah bulan muda, ketika senja menjelang.

* * *

“Ai, nggak nonton konser?” tanya Marlon ketika berpapasan dengan Ai di teras laboratorium Steril.

“Nggak dapat tiket, Mas.”

“Oh. Kehabisan ya?”

“Iyo.”

Aira berlalu, Marlon juga. Namanya aja berpapasan, jadi ya ngepas ketemu dengan kepentingan masing-masing. Marlon bergegas berjalan menuju tempat gladi bersih konser paduan suaranya, di hall kampus. Aira tampaknya hendak menuju lab lantai 4.

Sebuah pertemuan kadang hanya sekejap mata, di bulan belasan, masih menjelang senja.

* * *

“Wuih, yang mau jadi eksmud. Congkak nian,” kata Aira sambil menepuk pundak Marlon, yang sedang membaca pengumuman di kampus.

“Wuih yang udah jadian, nggak bilang-bilang. Hayo, congkak mana?”

“Heh? Siapa bilang?”

“Gitu ya sekarang, jadian nggak bilang-bilang. Giliran galau aja bilang-bilang aku, kalau seneng nggak. Nggak CS ah..”

“Ehm, nggak gitu kali Mas.”

“Terus gimana hayooo.”

“Yah, nantilah diceritakan. Kapan berangkat ke ladang mencari segenggam berlian?”

“Tanggal 4 pagi, Ai. Doakan saya ya. Hahaha.”

“Siap bos!”

Aira berlalu menuju kelas kuliahnya, Marlon menatap gadis itu dari belakang dengan pilu. Tampak sebongkah pilu dan sekarung sesal di mukanya. Sebuah pertemuan terakhir di bulan muda.

* * *

“Hey, kamu farmasi kan?”

“Iya, Mas. Kenapa?”

“Lha ya sama. Kayaknya pernah liat waktu inisiasi. Marlon. Kamu?”

“Aira.”

“Enjoy ya. Nggak banyak anak farmasi yang bisa eksis disini. Tuh, aku aja mencoba eksis dengan itu,” ujar Marlon sambil menunjuk setumpuk laporan di mejanya.

“Bakal gitu Mas?”

“Ya, biar bisa sama-sama eksis. Kalau nggak gini, kapan lagi ngerjain laporannya. Hahaha.”

“Oh gitu. Okelah Mas.”

Sebuah percakapan kala malam turun sempurna, di bulan menjelang tua. Ketika pertemuan memulai rasa. Ketika semuanya berjalan mulai angka 1.

* * *

“Gimana ya Mas?” tanya Ai dengan gundah.

“Lha kamu seneng nggak?”

“Ya, sepertinya sih.”

“Trus?”

“Ya, gini-gini kan aku cewek. Masak aku yang bilang kalau suka?”

“Ya jangan sih,” kata Marlon, “Pasti ada jalannya. Cowok kan tinggal dikasih tanda-tanda jaman aja. Hehehe.”

“Lha itu tanda-tandanya gimana?”

Marlon berkisah bak konsultan, Aira bercerita bak counselee. Keduanya berbicang diatas hijau rerumputan ketika pagi baru saja menyapa dunia.

* * *

“Silahkan kalian saling berjabatan tangan kanan dan menyatakan kesepaktan kalian di hadapan Allah dan GerejaNya.”

“Saya, Marlon Simamora, memilih engkau Cicilia Dinaira menjadi istri saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.”

“Saya, Cicilia Dinaira, memilih engkau Marlon Simamora, menjadi suami saya. Saya berjanji untuk setia mengabdikan diri kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya.”

“Semoga Tuhan memperteguh janji yang sudah kalian nyatakan dan berkenan melimpahkan berkatNya kepada kalian berdua. Yang telah dipersatukan Allah…”

“Janganlah diceraikan manusia.”

Tiga orang anak manusia di depan altar mengucap baris-baris kata, di pagi hari ketika matahari menyapa dunia di bulan muda.

* * *

“Ai, sudah selesai baca bukunya?”

“Sudah, Mas.”

“Siplah. Sesuai janjiku, kalau aku ditolak, buku ini akan aku buat. Untunglah laku. Jangan-jangan banyak yang senasib yak.”

“Apa coba?”

Marlon mengaduk-aduk Caramel Machiato-nya, Aira asyik dengan Java Chip-nya. Sebuah buku, novel, berjudul Yang Terindah, tergeletak diantara mereka.

“Jadi, pada intinya, kamu memang yang terindah, Ai.”

“Bisa aja kamu, Mas.”

“Ya begitulah. Jadi kalau aku bilang cinta lagi sama kamu, kira-kira diterima nggak ya?”

“Hmmmm..”

“Aku sayang kamu, Ai. Dan aku ingin menghabiskan sisa umurku bersamamu. Maukah kamu melakukannya denganku?”

“Mas?” Aira terdiam sambil memegang gelas Java Chip-nya.

Marlon menatap Aira dalam-dalam.

Aira bernapas dalam.

Marlon tersenyum manis.

Jam serasa berhenti.

“Iya, Mas.”

Malam baru saja meliputi siang ketika dua anak manusia ini bertaut hati satu sama lain, di sebuah bulan tua yang penuh pesona.

* * *

“Ai?”

“Iya Mas?”

“Aku udah di tol, bentar lagi sampai.”

“Oke Mas.”

Aira bergegas mencari kunci mobilnya, hendak menuju exit tol dan menjemput suaminya.

“Ayo Al, kita jemput papa.”

Anak 2 tahun itu mengikuti Aira masuk ke dalam mobilnya.

Aira melajukan mobil dan berhenti di SPBU yang tepat berada di exit tol.

“Papaaaaaa..”

Al bergegas berlari menuju sesosok pria yang baru turun dari bis itu.

“Selalu begini, dua minggu nggak ketemu, dan pasti kangen. Sini sayang.”

Marlon mengangkat jagoannya tinggi-tinggi. Aira mendekat.

“Tuhan itu baik ya Ai?”

“Kenapa?”

“Dia menyuruhku bermimpi tentang kamu, Dia kasih waktu bertahun-tahun. Dan Dia mempersatukanku dengan kamu. Tambah jagoan satu ini pula. Aku nggak bisa berharap dan berdoa yang lebih baik dari ini.”

Aira tersenyum, tangannya menggandeng Marlon.

Marlon, Aira, dan Al berjalan ke mobil, melanjutkan siklus hidup sesuai yang digariskan, 123 bulan sejak semua mulai berjalan dari 1. Bahwa hidup ini berjalan untuk sebuah kebahagiaan.

🙂