Perjalanan Nyaman Dengan Kereta Api Argo Lawu

Perjalanan dengan menggunakan Kereta Api buat saya tetap merupakan perjalanan yang sangat menyenangkan. Apalagi dibandingkan dengan menggunakan bus sejak pengalaman Cikarang-Jogja hampir sehari penuh dahulu kala. Pantas jika ingin melakukan perjalanan darat banyak orang yang lebih memilih menggunakan kereta api karena ya itu tadi, lebih nyaman dan cepat. Sekarang sih bus sudah pada bagus ya, tapi terkadang ada juga penumpang yang tidak nyaman menggunakan bus karena bikin mual dan pusing saat perjalanan, berbeda dengan menggunakan kereta api. Dengan kereta api guncangan yang terasa sangat minim itulah yang menyebabkan penumpang jarang merasa mual dan pusing. Selain itu dengan kereta api juga lebih cepat dan terasa lebih nyaman, dengan adanya fasilitas yang ada di dalam kereta api tersebut.

Ketika kita hendak melakukan perjalanan dari kota Solo ke Jakarta atau sebaliknya maka kita biasanya akan menggunakan kereta api bernama Argo Lawu karena memang kereta api tersebut adalah kereta api yang melayani perjalanan dari Solo ke Jakarta dan sebaliknya. Argo Lawu termasuk Kereta Api eksekutif, sehingga saat memilih menggunakan kereta api tersebut saat perjalanan Solo–Jakarta maka kita bisa menikmati kereta api dengan fasilitas yang sangat baik, karena pada dasarnya hampir seluruh kereta api di Indonesia saat ini sudah dilengkapi dengan fasilitas yang lebih baik. Termasuk kalau kita menggunakan kereta api kelas ekonomi sekalipun, rasanya akan tetap nyaman. Untuk kereta api bernama Argo Lawu yang melayani rute Solo–Jakarta, maka dalam perjalannya akan menempuh jarak sekitar 571 km dan menghabiskan waktu selama 8,5 jam. 

Hasil gambar untuk argo lawu"
Sumber: skyscrappercity.com

Jadwal Perjalanan Kereta Api Argo Lawu

Saat hendak menggunakan kereta api argo lawu untuk mengantarkan kita dari kota Solo menuju ke Jakarta maka kita bisa menuju ke Stasiun Balapan sik jadi kenangan kowe karo aku di kota Solo, kereta akan berangkat pada pukul 08.00 WIB di pagi hari dan nantinya sesuai jadwal akan tiba di stasiun Gambir, Jakarta pada pukul 16. 27 WIB di sore hari. Selama perjalanan, kereta api tersebut akan berhenti di beberapa titik stasiun yang dilewatinya seperti di stasiun Klaten, Yogyakarta, Kutoarjo, Purwokerto, Cirebon, Jatinegara dan terakhir berhenti di stasiun Gambir. Selama melewati stasiun-stasiun tersebut tentunya akan ada penumpang yang turun dan juga naik, namun proses tersebut tidak akan memakan waktu yang begitu lama. Sedangkan bagi yang ingin berangkat dari Jakarta menuju ke Kota Solo, maka kereta api ini akan diberangkatkan pada pukul 20.15 WIB di malam hari dan nantinya sampai di Kota Solo pada pukul 04.45 WIB di pagi hari. Selama perjalanan, kita akan disuguhi berbagai pemandangan indah seperti misalnya pegunungan di Banyumas, pemandangan di Kali Serayu dan juga Kali Progo . Untuk harga tiketnya, kita bisa membelinya dengan kisaran harga dari Rp 285.000 sampai Rp 380.000, harga tiket ini bisa berbeda tergantung sub kelas yang diambil, posisi tempat duduk dan hari disaat kita membeli tiket, jika kita membelinya saat sudah dekat dengan hari raya maka harga tiket menjadi mahal. 

Informasi Menarik Tentang Kereta Api Argo Lawu

Kita tentunya tidak asing dengan nama Lawu bukan? Sebab Lawu adalah nama gunung yang berada di Surakarta atau lebih dikenal sebagai gunung Lawu. Sedangkan kata Argo memiliki arti harga yang biasanya digunakan untuk mewakili kereta api dari PT KAI yang memiliki layanan tertinggi. Dulu pada awalnya kereta api ini dikenal dengan nama Kereta Api Solo Jaya, lalu namanya diubah menjadi kereta api bernama Argo Lawu yang kita kenal saat ini. Kereta api ini mulai digunakan pada tahun 1996 dan sejak saat itu selalu melayani rute perjalanan Solo – Jakarta hingga saat ini. Saat kita menggunakan kereta api yang satu ini maka kita bisa mendapatkan fasilitas seperti gerbong yang full AC, terdapat TV LCD, toilet dan kursi yang bisa disesuaikan posisinya sesuai dengan kenyamanan kita sendiri. Di setiap kursi penumpangnya pun tersedia beberapa fasilitas yang mendukung kenyamanan penumpang seperti meja lipat, pijakan kaki, stop kontak dan juga lampu baca untuk Anda gunakan. 

grayscale photo of man kissing woman s nose while standing inside a train
Photo by Jonathan Borba on Pexels.com

[Review] Susi Susanti: Kebingungan Yang Tetap Bikin Terharu

Liburan Tipis-Tipis di Miniapolis AEON Mall BSD Bersama Traveloka Xperience (1)

Per 24 Oktober, film Susi Susanti akhirnya tayang di bioskop. Belum banyak bioskop yang menyediakan lapak, karena masih ada Maleficent yang cukup menyita tempat, plus Perempuan Tanah Jahanam yang ternyata lumayan juga. Di beberapa tempat, posisi film masih dipegang Ajari Aku Islam-nya Roger Danuarta. Di CGV FX Sudirman, Pacific Place, maupun Transmart Cempaka Putih juga belum tayang.

Ya semoga habis ini bertambah.

Film ini murni mengambil kisah Susy Susanti, sosok besar dalam dunia badminton Indonesia. Susy memegang peranan penting dalam kebangkitan badminton putri Indonesia pada masanya, sesuatu yang sampai sekarang masih belum kembali lagi.

Alurnya dibawakan urut ketika Susy masih kecil dan menang tanding badminton lawan cowok sampai berakhir ketika Susy hamil, setahun sesudah pernikahannya dengan Alan Budikusuma. Beda dengan biopik lain seperti Bohemian Rhapsody yang ada momen terbalik-baliknya.

Hasil gambar untuk bohemian rhapsody gif"

Sebagai sebuah film yang diambil dari kisah nyata dan melibatkan bahkan hingga Liang Chiu Sia asli dalam prosesnya, tentu tidak ada detail peristiwa yang begitu mengganggu. Yang agak aneh ada juga, sih. Nanti saya kisahkan.

Secara umum, sebagai Badminton Lovers, film ini cukup bikin terharu. Meski demikian, kiranya ada beberapa hal yang menjadi catatan saya.

Hasil gambar untuk susi susanti gif"

Pertama, film ini tampak bingung karena ada begitu banyak momen penting yang ingin diangkat. Dua diantaranya adalah final Sudirman 1989 dan final Olimpiade Barcelona 1992. Final Sudirman diangkat karena laga itu memang sangat dramatis dan jadi tonggak beralihnya Susy dari junior ke senior, melewati Sarwendah–seniornya. Sayangnya, final yang itu justru kebanting dengan final Olimpiade yang tampak jadi numpang lewat. Padahal di teaser, adegan Susy menangis di podium adalah yang diangkat.

Kebingungan juga terjadi karena Susy memang secara prestasi memuncak dari 1989 sampai menikah di 1997. Sementara, film ini ingin membawa konflik persoalan identitas Tionghoa sampai ke 1998 yang merupakan tahun terakhir Susy berkarir sebagai pemain. Jadi momen puncaknya tampak wagu karena di 1998 itu yang menang adalah Piala Thomas…

…yang sudah nggak ada Alan-nya, tapi di film masih ada. Itu ngapain Alan pakai baju atlet segala di Hong Kong padahal sudah era Marleve Mainaky?

Hasil gambar untuk weird gif"

Menurut saya, yang rasanya lebih cocok sebagai puncak adalah Piala Uber 1994 atau 1996. Tapi itu tentu tidak bisa ditempel dengan konflik 1998 jadinya. Masalahnya memang mengkombinasi perkara status WN Liang Chiu Sia dan Tong Sin Fu dengan SBKRI para atlet ke kerusuhan 1998 butuh effort lebih untuk kesempurnaan dan itu menjadi agak kurang di film ini.

Kedua, ada beberapa detail yang kurang pas terutama tentang karir Alan sesudah 1992. Ketika dia masih nongol di Hongkong pada 1998 malah jadi aneh karena di usia segitu Alan sudah tidak ikut timnas lagi. Tampaknya sutradara juga sadar makanya adegannya nggak yang banyak dan penting sekali.

Ada kebingungan untuk memasukkan Alan dalam kisah Susi padahal momen puncak keduanya memang berbeda. Alan cenderung berjaya dengan Olimpiade 1992 sebagai puncak, sedangkan Susi cenderung baru memulai. Ingat, Alan dan Susi itu berselisih 3 tahun. Dan pada waktu itu, usia 25 tahun untuk atlet cowok sudah bisa dibilang tua. Kita tahu di zaman now paling hanya ada Chou Tien Chen dan sekarang Shesar Hiren Rhustavito yang merangkak naik di usia 25 tahun.

Ketiga, salut kepada kru film dan kepada Laura Basuki yang di usianya pas syuting, 30 tahun mau 31, sukses memerankan Susy sejak usia belasan sampai 28 tahun! Cantik bener, sih, Mbak.

Hasil gambar untuk susi susanti film"

Keempat, ya soal teknik badminton para aktor dan atrisnya, sudahlah ya. Laura Basuki segitunya sudah langsung dilatih Liang Chiu Sia yang asli, lho. Tapi ya namanya keluwesan badminton itu butuh bertahun-tahun. Saya ingat sekali Pak Ipang, dosen saya, yang karir badmintonnya seangkatan Chandra Wijaya, itu saking luwesnya dengan badan yang sudah membesar tetap tangannya ajaib betul. Saya tanding dua lawan satu dengan beliau yang bahkan pakai raket anaknya, tetap kalah. Wagelaseh.

Kelima, film ini membuka luka lama para BL lawas tentang sosok Tong Sin Fu. Dengan segala yang sudah dia berikan ke Indonesia, status kewarganegaraannya tidak kunjung diperoleh dan akhirnya dia kembali ke Tiongkok untuk menelurkan, salah satunya, Lin Dan. Sementara Indonesia sesudah era Taufik Hidayat, mengalami kevakuman prestasi. Sekarang mulai tampak bibit unggul dalam diri Anthony Sinisuka Ginting dan Jonatan Christie, tapi ya mereka berdua masih belum konsisten. Mimpi para BL bahwa sektor tunggal putra kita seperti era 90-an dengan lebih dari 2 andalan yang saling bunuh di tiap kejuaraan pada era Pak Tong masih jauh panggang dari api.

Hasil gambar untuk tong sinfu"

Apapun, sebagai BL saya tetap terharu pada film ini. Saya menantikan sekali besok-besok ada film berjudul Dewa Hendra atau Tangan Petir Kevin. Tentunya setelah segala periode prestasi dilalui, yha.