Tag Archives: lomba menulis pajak

Transformasi Digital dan Reformasi Pajak Indonesia

Pajak Data Risiko.png
Pajak, Data, dan Risiko (Generate dari Gemini)

Data kinerja fiskal Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan pola yang perlu untuk dielaborasi. Salah satu hal yang perlu diperdalam ialah capaian tax ratio yang pada tahun 2024 tercatat hanya mencapai 10,08% atau lebih rendah dari angka 10,31% pada 2023 dan 10,39% pada 2022. Menurut data Bank Dunia, rasio pajak Indonesia juga secara signifikan lebih rendah. Rasio ini berada di bawah negara-negara besar ASEAN seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Indonesia hanya unggul tipis dari negara yang skala ekonominya lebih kecil. Dekadensi angka rasio pajak dan perbandingan dengan negara ASEAN menjadi substansi penting karena peningkatan rasio pajak menjadi salah satu substansi penting dalam dokumen Asta Cita, khususnya pada elemen reformasi tata kelola pemerintah.

Upaya peningkatan rasio pajak pada dasarnya adalah isu global. Dalam perkembangannya, upaya optimalisasi pendapatan negara dari titik ini berkelindan dengan ihwal transformasi digital. Sebagai contoh, data OECD (2025) menyebut bahwa 80 persen pemerintahan dalam ruang lingkup 54 negara anggota Forum on Tax Administration telah mengembangkan strategi transformasi digital yang mengarah pada perubahan fundamental dari tata kerja organisasi.

Pertanyaan mendasarnya kemudian adalah perihal bagaimana masa depan pendapatan negara–khususnya dari perpajakan–di era digital tersebut?

Diagnosis Berlapis

Rendahnya rasio pajak merupakan buah dari interaksi kompleks antara kelemahan struktural ekonomi, kebijakan, dan administrasi. Telah menjadi pembahasan bertahun-tahun perihal basis pajak yang sempit di negara sebesar Indonesia. Ditambah lagi terdapat tingkat kepatuhan yang rendah. Selain itu, masih ada isu kepercayaan publik pada pemerintah perihal pemanfaatan pajak.

Sempitnya basis pajak tersebut sangat berkaitan dengan porsi signifikan perekonomian di sektor informal. Hal itu diperparah dengan sektor ekonomi formal yang sejatinya memiliki potensi kontribusi besar terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) seperti pertanian maupun pertambangan, justru undertaxed.

Literasi perpajakan turut menjadi kendala karena belum seluruh pegawai memahami perihal sistem self-assessment yang kemudian berdampak pada kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan setiap awal tahun dengan segala keribetannya. Ditunjang oleh frustasi in this economy, banyak wajib pajak yang memiliki concern perihal aliran uang pajak yang telah dilaporkan.

Hal ini jelas menjadi tantangan karena sesungguhnya kontribusi Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi merupakan ranah yang penting untuk digarap karena kontribusinya masih jauh dibandingkan negara maju.

Distorsi Struktural

Setidaknya ada 2 distorsi struktural di masa kini yang harus dipertimbangkan untuk berstrategi di masa depan. Pertama, pendapatan negara saat ini masih memperhitungkan skema dari kantong kiri ke kantong kanan kala transaksi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJ) dikenai pajak dan dihitung sebagai penerimaan perpajakan.

Dalam analogi sederhana, dari pembayaran 100 juta rupiah untuk suatu proyek maka ada 11 juta rupiah yang merupakan setoran pajak. Dalam logika yang jujur, sesungguhnya negara hanya mengeluarkan 89 juta rupiah mengingat selisihnya masih kembali ke kas negara. Ketika 11 juta rupiah tersebut dihitung sebagai capaian penerimaan negara, maka ada ilusi yang terjadi.

Distorsi kedua berkaitan dengan desentralisasi. Masyarakat berhitung uang yang dibayarkan, baik untuk PPh yang dipotong langsung saat gajian, Pajak Bumi dan Bangunan dan Pajak Kendaraan Bermotor yang rutin ditagih setiap tahun, hingga PPN saat makan di restoran. Masyarakat secara alami tidak dalam posisi harus punya pemahaman perihal desentralisasi fiskal sehingga hanya perlu tahu bahwa telah menyetorkan sejumlah uang ke negara.

Hal ini yang kemudian menciptakan problematika kala masyarakat memiliki concern perihal aliran pajaknya mengingat sebagian masuk ke pusat dan sisanya menjadi kelolaan daerah. Dalam konstelasi dunia usaha, elemen fiskal ini juga turut mengarah pada ketidakpastian hukum dan ekonomi biaya tinggi, termasuk juga telah dipotret oleh laporan ADB.

Optimalisasi Compliance Risk Management (CRM) dan e-Government

Terlepas dari problematika yang terjadi di awal implementasinya, Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau Coretax akan menjadi game changer yang krusial terutama dalam penerapan CRM sebagai proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak yang dilakukan secara sistematis, terukur, dan objektif untuk mendukung fungsi Direktorat Jenderal Pajak.

Ketersediaan data yang paralel dengan digitalisasi akan mendorong suatu peta risiko kepatuhan yang lebih adekuat. Hal ini dapat membantu DJP mengalokasikan sumber daya yang terbatas secara lebih efisien. Hal ini akan lebih optimal lagi jika pendapatan pajak dari APBN tidak lagi diperhitungkan sebagai penerimaan negara. Dengan mengetahui target asli yang harus dipenuhi di luar dari penerimaan yang sebenarnya berasal dari APBN, peluru yang disiapkan dan ditembakkan akan lebih akurat menyasar WP dengan profil risiko yang tepat.

Era digital akan mendorong semakin banyak data digital masuk ke profil risiko, terlebih jika disandingkan pula dengan layanan publik lintas platform melalui GovTech yang telah diluncurkan pada masa Presiden Jokowi. Ketika CRM yang didukung data akurat via GovTech menyatu dalam Coretax, maka model administrasi akan mengarah ke proaktif, berbasis data, dan berorientasi risiko. DJP bahkan akan dapat mendorong kepatuhan WP sebelum ketidakpatuhan terjadi.

Dalam skema layanan publik berbasis digital yang telah berlangsung saat ini, termasuk dengan telah terkoneksinya Nomor Induk Kependudukan dengan Nomor Pokok Wajib Pajak, peningkatan rasio pajak sejatinya menjadi sesuatu hal yang sangat mungkin terjadi. Ketika kemudian skemanya ditautkan juga dengan GovTech, maka ada elemen krusial yang harus dipikirkan yakni kontrak sosial.

Upaya menghubungkan kepatuhan pajak dengan akses pada layanan publik di GovTech akan membingkai ulang pajak sebagai prasyarat untuk dapat berpartisipasi penuh sebagai warga negara. Ketika kemudian masyarakat merasakan ketidakadilan maupun banyak kesalahan sistem, reaksi negatif dari publik menjadi sesuatu yang mungkin terjadi dapat mengusik legitimasi sistem perpajakan secara keseluruhan.

Kesimpulan

Peningkatan rasio pajak memerlukan pendekatan menyeluruh yang mengatasi akar masalah struktural dan distrosi yang ada sekaligus memanfaatkan peluang transformasi digital. Implementasi Coretax yang diintegrasikan dengan sistem CRM dan ekosistem GovTech berpotensi besar menjadi katalisator perubahan. Kemampuan pemerintah membangun kontrak sosial yang kuat dengan masyarakat menjadi kunci.

Reformasi perpajakan sebagai elemen penerimaan negara di era digital bukan sekadar persoalan teknologi dan administrasi, melainkan juga tentang membangun kepercayaan publik dan menciptakan ekosistem yang mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.