Berhenti Mengagumi Anies Baswedan

picmonkey-collage6

Duh, ngomongin politik lagi, deh. Maaf ya sohib-sohib blog ini nan budiman. Sebenarnya ini nggak politik-politik banget, kok. Hanya sebuah catatan pribadi yang nyerempet politik. Gitu.

Ini tentang Yang Terhormat Bapak Anies Baswedan. Salah satu sosok yang dalam posting ini saya akui sebagai orang baik. Salah satu sosok yang–tadinya–langka di Indonesia. Bagaimana nggak langka? Di saat banyak politisi sibuk beretorika, janji sana-sini, blio bersama rekan-rekan sevisi menggagas Indonesia Mengajar, berikut Kelas Inspirasi. Paket kegiatan yang saya akui sangat positif. Saya pernah ada di keramaian Kelas Inspirasi dan merasakan benar energi positif yang ada dalam kegiatan kerelawanan itu.

Kala mengikuti Kelas Inspirasi inilah saya seolah kesirep sama sosok Anies Baswedan. Waktu itu di gedung Indosat, saya ada di bagian terdepan untuk mengikuti speech indah tentang janji kemerdekaan, tentang menghadirkan mimpi di ruang-ruang kelas, tentang iuran kehadiran. Luar biasa dan sangat realistis bagi saya kala itu. Ngomong-ngomong, cerita Kelas Inspirasi yang saya ikuti dapat dibaca dalam posting dengan judul “30 Menit Yang Luar Biasa”.

Sosok Anies Baswedan kala itu adalah sosok yang murni bicara tentang bagaimana menginspirasi, bagaimana orang-orang baik untuk tidak diam dan mendiamkan. Tidak sedikitpun otak saya merekam blio menyasar individu tertentu. Kalaulah ada yang disinggung, sifatnya umum. Maka jangan heran kalau saya juga menyitir kalimat-kalimatnya berkali-kali, termasuk dalam postingan paling trendi di blog ini, 123 Fakta Unik Mahasiswa Jogja.

screenshot_264

Dalam email yang saya terima atas nama Anies Baswedan tanggal 9 Februari 2013–memang sih email blast, tapi Yth-nya nama saya jadi berasa privat gitu–tidak sedikitpun muncul kritik tentang buruknya kurikulum, buruknya pendidikan, atau buruknya muka saya. Tidak ada sama sekali. Yang muncul adalah kalimat-kalimat ciamik, seperti:

screenshot_260

Saya ingat ketika acara refleksi di kantor Bank Mandiri, sebagian inspirator tampak begitu menanti blio ngomong sampai-sampai melewatkan dengan begitu bosan slide bos Bank Mandiri kala itu. Saya termasuk yang bosan, meski belakangan saya menyesal telah bosan karena presentasi pakbos Bank Mandiri kala itu berisi data-data yang sangat krusial bagi negeri ini. Lah saya malah angopangop.

Begitulah, saking inspiratifnya blio kala itu. Menanamkan bibit semangat dan menumbuhkan mimpi pada para inspirator untuk menanamkan bibit semangat dan menumbuhkan mimpi pada murid-murid SD yang didatangi. Luar biasa sekali, bukan?

Termasuk ketika Anies Baswedan turut serta dalam konvensi Partai Demokrat, blio kembali mengirim email kepada saya, dalam wujud email blast tentu saja. Dari kalimat-kalimat dalam email itu yang agak menyinggung paling cuma ini:

screenshot_261

Anies Baswedan adalah orang yang dengan sukses menanamkan kepada saya tentang “mengutuk kegelapan ini atau ikut menyalakan lilin”. Salah satu kalimat yang bikin saya kesasar ke pekerjaan sekarang ini. Ya, karena saya lelah mengutuk kegelapan dan ingin menyalakan lilin–meskipun rupanya sampai sekarang dikasih koreknya juga kagak.

Dalam email tentang turun tangan itu, muncul juga kalimat ciamik ini:

screenshot_262

Luar biasa bukan? Tanggung jawab kita adalah ikut berjuang–sekecil apapun–untuk memulihkan politik sebagai jalan untuk melakukan kebaikan, melakukan perubahan dan bukan sekadar mengejar kekuasaan.

Maka ketika Anies Baswedan menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saya bungah minta ampun. Kalau tidak berada di dalam sistem saja, blio sudah sedemikian inspiratifnya, bagaimana kalau berada di dalam sistem? Pasti keren!

Maka, saya juga menjadi orang yang patah hati ketika Anies Baswedan digusur dari posisi Mendikbud. Meskipun saya nggak muring-muring sama Presiden Jokowi. Saya mah masih sadar bahwa juragan saya itu Pak Presiden, dan Presiden saat ini, ya, Jokowi. Saya tidak seberani sebagian pegawai negeri di Indonesia yang tunjangan kinerjanya dinaikkan berdasarkan peraturan yang ditandatangani Jokowi, tapi masih sempat-sempatnya mencerca Jokowi dalam setiap kesempatan. Saya hanya kecewa kepada Pak Presiden, kala itu, dengan kadar kecewa semacam pesan WhatsApp ke gebetan hanya centang dua dan tidak dibalas meski last seen-nya berubah dengan begitu dinamis. Maklum, kak, saya anaknya biasa dikecewakan, gitu.

Pun kala kemudian Anies Baswedan muncul sebagai peserta terakhir dari Pilgub DKI Jakarta, saya termasuk yang optimis gelaran ini akan seru. Ya, walaupun gara-gara blio dan rombongan mendaftarnya terlalu sore sehingga saya kena macet di Jalan Salemba Raya pas pulang kerja, sih.

Rupanya, sejak itu semua berubah.

Saya tidak ambil pusing dengan berita-berita di portal yang bilang Anies Baswedan menjelek-jelekken pasangan calon lain. Mungkin itu salah kutip atau sengaja dipelesetkan. Namanya juga sekarang jaman click bait. Saya juga masih berupaya tidak berpikiran negatif kala blio diam saat mantan tetangga saya di Benhil membacakan puisi yang terbilang mengolok-olok pemerintah, dan membacanya persis di depan muka blio. Namanya juga masuk lingkungan baru. Habis itu toh blio mesti membisiki mantan tetangga saya itu untuk lebih ciamik berpuisi.

Demikian pula tentang debat edisi pertama. Yang saya paham hanya iklan untuk debat kedua, “kami berdua hadir untuk memastikan..bla..bla..bla…”. Harap maklum karena debat pertama saya nggak nonton, masih dalam perjalanan dari Bintaro ke Benhil kala itu.

Saya lebih sibuk mengikuti obrolan orang tentang Agus, calon nomor 1 yang berdasarkan blusukan saya karena kesasar di jalan-jalan seputar Jakarta merupakan calon dengan penetrasi paling dalam. Di Gang Perintis, Jalan J, tepatnya pada suatu daerah di Tebet mepet kali, saya masuk ke rumah ketua RW dengan selebaran pasangan calon nomor 1 bertebaran. Calon ini walaupun jadi guyonan orang banyak, adalah calon yang paling berpotensi menang.

Saya juga nggak nonton Mata Najwa yang menghadirkan Anies Baswedan karena saya ceritanya lagi sibuk bergelut dengan Laporan Keuangan. Saya baru sekali-kalinya mengikuti speech Anies Baswedan secara komplit–sesudah terakhir kali kala Kelas Inspirasi–ya pada debat kedua kemaren, melalui streaming. Bukan apa-apa, masih kerja. Duh, kerjaan apa pula yang masih dilakoni pukul 19.30.

Dan sungguh saya tertegun seketika begitu mendengar Anies Baswedan berbicara. Selain bodi yang tampak lebih tambun dibandingkan tahun 2013, saya mendapati konten pembicaraan yang sama sekali berbeda. Anies Baswedan di Bidakara kemaren itu adalah orang yang dalam setiap omongannya mengandung kesalahan orang lain. Anies Baswedan kemaren itu adalah orang yang bersama rekan seperjuangannya mem-plekotho Bu Sylvi untuk menyerang pasangan calon nomor 2. Sesuatu yang disadari dan disampaikan dengan gamblang oleh AHY.

Data demi data disampaikan, termasuk yang keliru tentang perbandingan Jakarta Utara dan Biak. Saya semakin tidak bisa berkata-kata setiap kali blio bicara. Seseorang yang dahulu seharusnya bisa mengkritisi pemerintah separah-parahnya namun lebih memilih membangkitkan motivasi, kini menjelma menjadi seperti ini.

Saya nggak tahu, tapi bukankah membahas sepenuhnya kesalahan-kesalahan petahana adalah semacam bentuk ‘mengutuk kegelapan’? Di saat AHY mencoba fokus pada programnya, Anies Baswedan lebih sibuk menyerang pasangan calon lain. Saya merasakan blio menjadi sangat berbeda kala berkata (kira-kira begini), “namanya juga ibukota, pantas tinggi, tidak ada yang istimewa”.

Empat tahun silam, saya tidak menemukan kalimat seperti itu dari mulut yang sama. Padahal, Kelas Inspirasinya digelar di Jakarta. Padahal lagi, blio pasti punya data dari tim Indonesia Mengajar tentang profil pendidikan di seluruh Indonesia. Tapi kalimat menyerang pemerintah tidak ada sama sekali.

Ya, empat tahun yang mengubah seorang inspirator, menjadi entah apa namanya.

Ibarat anak muda alay, saya patah hati. Betapa orang yang pernah begitu menginspirasi saya tetiba menjadi sedemikian sinis omongannya. Betapa orang yang berulang-ulang berkata tentang mengutuk kegelapan atau menyalakan lilin justru menjadi orang yang mengutuk kegelapan itu sendiri.

Oya, meski tidak sedekat penulis kisah viral “Pak Anies, Saya Menyesal” di Jakarta Asoy, tapi setidaknya saya pernah foto bareng dengan Anies Baswedan, saya pernah terinspirasi dengan sosok Anies Baswedan, dan saya pernah mengagumi benar seorang Anies Baswedan.

screenshot_263

Ya, pernah, sampai debat kemaren.

Satu lagi, tulisan ini mengacu pada pesan Anies Baswedan yang saya resapi saat acara di gedung Bank Mandiri, “just do it“. Jadi, saya berhenti mengagumi blio dan di otak saya bergolak benar kehendak untuk menulisnya. Maka, “just do it” dan jadilah tulisan ini.

Selamat berlomba, Pak Anies Baswedan, semoga sesudah semua ini berlalu, Anda dapat kembali menjadi inspirator layaknya yang saya panuti 4 tahun belakangan ini.

11 thoughts on “Berhenti Mengagumi Anies Baswedan”

  1. Ah iya kak, saya lebih suka Pak Anies tetap menjadi kemendikbud :”). Rasanya itu passion beliau yang luar biasa. Tidak terkotori dengan politik. Fiuh 😦

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.