Lost in Bangka (2): Depati Amir

lostinbangka-depatiSebelum membaca kisah ini, ada baiknya saudara-saudari sekalian membaca kisah awal perjalanan yang akan sangat panjang serinya ini di Lost in Bangka (1). Bukan apa-apa, lumayan buat kasih saya traffic. Maklum, rejeki dollar saya dari blog sedang kena traffic jam. Heuheu.

Dalam perjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta, ada sedikit insiden perihal taksi online. Alkisah, saya sedang melaju manja menggunakan Honda Mobilio dari sebuah taksi online terkemuka di Asia Tenggara. Entah bagaimana kisahnya, yang kemudian terjadi adalah tetiba saya status pemesanannya di ponsel saya yang bermerk Evercoss itu jadi cancel. Lah, saya bingung bukan kepalang. Salah-salah saya diturunkan-diturunkan-diturunkan di pintu tol terdekat. Penyelesaiannya agak njelimet, tapi intinya adalah kalau naik taksi online kita kudu bersiap dengan aneka pengalaman ciamik.

Dalam waktu yang cukup singkat, saya dan istri sampai di Terminal 1C. Berhubung ini perjalanan mandiri dan mengandalkan diskon dari startup yang baru, sudah pasti kami naiknya adalah adiknya Garuda. Lumayan, minimal di badan pesawatnya sudah ada tulisan Garuda.

Satu hal yang menarik dari pesawat yang bernama Citilink itu adalah adanya iklan model unik yang tempelan stiker besar di penutup bagasi yang ada di atas. Dan bagian paling tepat bagi saya dan istri adalah bahwa yang kebetulan berpormosi di dalam pesawat itu adalah…

…HerbaVomitz.

Produk yang satu ini berasal dari panji-panji tempat saya dan istri dipertemukan. Tsah. Belum lagi bahwa saya terlibat dalam riset awal produk tersebut. Ya, setidaknya kalau nggak ada saya, nggak akan ada kayu manis yang masuk ke gudang. Soalnya waktu itu operator lagi cuti dan saya yang mengangkat kayu manis dari luar untuk disimpan secara manis manja di gudang. Udah, gitu doang sih keterlibatannya.

Perjalanan rupanya tidak cukup menarik meskipun hanya penerbangan pendek. Bukan apa-apa, awannya macam hati jomblo menahun: penuh gejolak. Ya, untungnya memang tidak lama. Apalagi ini penerbangan bareng istri, sudah barang tentu saya tidak bisa berpose galau menempelkan muka di jendela sambil melihat awan-gemawan.

Tidak sampai 1 jam bersama awan di langit, akhirnya burung besi besar itu mendarat di Bandar Udara Depati Amir di Pangkal Pinang. Sekilas info, menurut Sky Scraper City, bandara ini tadinya bernama Pelabuhan Udara Pangkal Pinang. Dibangun tahun 1942 alias pada saat penjajahan Jepang dan digunakan untuk pertahanan dari serangan sekutu. Nama Pangkal Pinang kemudian diubah menjadi Bandar Udara Depati Amir pada tahun 1999, tepatnya berdasarkan SK.1/AU.106/PHB-99 tanggal 25 Agustus 1999. Kala itu, bandara Depati Amir masih menjadi UPT dari Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan.

Pengelolaannya kemudian diserahkan kepada PT. Angkasa Pura II sejak Januari 2007. Pada periode itu, secara perlahan penerbangan dari dan ke Pangkal Pinang meningkat signifikan.

screenshot_91

Bandara Depati Amir juga merupakan sebuah tempat yang menjadi tonggak berdirinya maskapai penerbangan lokal, Sriwijaya Air. Hampir semua dari kita tahu bahwa Sriwijaya Air dimiliki oleh Chandra Lie yang asli Pangkal Pinang. Tiga belas tahun silam, tepatnya 10 November 2003, Sriwijaya Air menerbangkan Boeing 737-200 dari Jakarta untuk mendarat di Pangkal Pinang.

Ngomong-ngomong lagi, bandara Depati Amir ini bagi saya agak misterius karena berita pembangunannya sudah ada sejak tahun 2013, namun sampai 2016 saya cari-cari belum ada berita selesai dan lantas diresmikan. Namun setidaknya saya sudah melihat tanda-tanda zaman bahwa akan ada terminal baru yang diresmikan beberapa waktu ke depan. Bukan apa-apa, kala saya ke Depati Amir 2 tahun silam, saya sudah merasakan bahwa bandara ini terlalu kecil. Bahkan kalau sore-sore, jagan terlalu berharap bisa duduk. Dalam beberapa kasus bandara ini seperti DPR, yang mau duduk banyak, kursinya sedikit.

Ngomong-ngomong, Depati Amir sendiri sama halnya dengan Hang Nadim di Batam maupun bandara-bandara lain di Indonesia diambil dari nama orang. Depati Amir merupakan tokoh perjuangan asal Bangka pada pertengahan periode 1800-an, yang kemudian dibuang ke daerah Timor. Maka jangan salah walaupun bandaranya ada di Pangkal Pinang, makan Depati Amir diyakini ada di Nusa Tenggara Timur. Saudaranya, Depati Hamzah, juga telah diabadikan namanya melalui nama Rumah Sakit Umum Daerah. Adapun status Depati Amir sebagai pahlawan nasional sejauh penelusuran saya masih dalam proses pengusulan dan sempat ditolak pada tahun 2004 silam.

Kecil-kecilnya bandara ini kurang lebih mirip Semarang, tapi diperkecil lagi. Jadinya begitu keluar pintu kedatangan, sudah ada yang menawarkan angkutan, namun karena saya kukuh ingin dijemput tuan rumah maka saya memilih untuk menanti. Lha, wong, yang mau menjemput baru berangkat ketika saya sudah membalas pesan WA kok. Inilah enaknya kota agak kecil, jarak kemana-mana dekat. Di Jakarta? Mana bisa. Kalaupun bisa, itu karena rumahnya kebetulan mungkin di sekitar bandara Halim Perdanakusuma.

Tidak lama kemudian, sembari istri kipas-kipas karena asap rokok dimana-mana, akhirnya tuan rumah tiba juga membawa mobilnya, namun belum istri dan anaknya. Dibalut mendung tapi panasnya Pangkal Pinang, kami bertiga melaju menuju perhentian berikutnya: Hotel Menumbing. Sebuah tempat yang tetiba menjadi favorit saya dalam petualangan berseri ini.

Oya, kok dalam perjalanan ini belum ada vlogger nyaris terkenal, Rian Chocho? Tenanglah. Para penggemar Rian Chocho harus tenang karena dalam periode ini beliaunya masih bobo menanti istrinya kelar mengajar. Nanti dia akan nongol dalam kisah-kisah berikut. So, nantikan saja.

Mau tahu kisah lanjutannya? Boleh follow blog ini, yha. Supaya kalau ada postingan baru, kalian langsung diberi tahu via surat elektronik. Woke?

5 thoughts on “Lost in Bangka (2): Depati Amir”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.