Sebuah Godaan Untuk Menjadi Orang Baik

Orang Baik

Pembaca ariesadhar.com pasti mahfum benar bahwa saya nggak pernah menulis tentang pekerjaan saya dengan frontal. Bahkan nama perusahaan tempat saya bekerja dulu, cuma tertulis 1 kali saja dari sekian ratus posting yang menghuni blog berumur nyaris 8 tahun ini.

Kalaupun saya menulis tentang pekerjaan, itu adalah ilmu tentang pekerjaan yang saya lakoni, semisal salah satu posting terlaris di ariesadhar.com ini, atau tentang audit-auditan yang jumlahnya lumayan banyak. Kalaulah ada yang curhat, biasanya saya samarkan dengan cerita pendek. Bahkan saya sendiri baru mengaku ke dunia maya mengenai pekerjaan saya sekarang, baru ketika diwawancara sama bidhuan.com. Nggak percaya? Cek saja profil Facebook maupun LinkedIn saya. Disitu hanya tertulis bahwa saya adalah blogger di ariesadhar.com. Itu saja.

Maka, posting ini mungkin adalah salah satu jenis tabu di ariesadhar.com, tapi nggak apa-apa, demi menyemarakkan agenda Mengarang Indah milik De Britto Blogger Club alias DBBC yang dikoordinir dari Jalan Bantul Kilometer 5075. Spesial!

Jadi, sesudah nyaris satu periode SBY-Boediono berkutat dengan Supply Chain baik di pabrik obat maupun pabrik ekstrak bahan alam, saya akhirnya mendapati sebuah turning point. Titik ketika kehidupan saya berubah begitu drastis. Dari gaji X menjadi sepertiga X, dari hidup mengurusi Capital Expenditure (CAPEX) dan Operating Expense (OPEX) hingga penyusunan bujet yang bunyinya miliaran menjadi pengantar surat, dari orang yang disapa ‘Pak’ oleh sebagian besar operator, menjadi manusia yang harus mengganti galon dengan bahagia. Ehm, kalau urusan membenahi kertas yang nge-jam, sih, tidak berubah. Sama saja, di pabrik iya, di kerjaan sekarang juga iya.

Titik batik itu ialah ketika saya beralih status dari karyawan swasta menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)–ehm, tentunya dimulai dari neraka jahanam bernama status CPNS terlebih dahulu.

Benar bahwa menjadi CPNS itu bukan ujug-ujug, ada proses yang dimulai dari pendaftaran dan seterusnya. Benar pula bahwa bukan sekali saya mengikuti seleksi menjadi CPNS, tapi semuanya sekadar mengikuti arahan Mamak, “Bang, nggak mau ngasih cucu nyoba jadi PNS?”

Sesederhana itu, awalnya. Hingga kemudian muncul dua manusia yang menyadarkan saya tentang sesuatu. Dua orang yang dengan statement-nya mampu membuat saya berpikir, ditopang oleh kejenuhan saya bergelut dengan Oracle dan Supply Chain.

Nama pertama adalah Anies Baswedan. Saya mengikuti speech mantan rektor Universitas Paramadina ini ketika menjadi relawan inspirator di Kelas Inspirasi 2. Dalam paparannya ketika hari briefing dan hari refleksi, ada sebuah quote yang menyentil nurani saya:

Anies2Pernyataan yang kurang lebih sama juga dikirim oleh Anies Baswedan ketika hendak terjun ke konvensi Partai Demokrat, via surat elektronik ke seluruh orang yang pernah terlibat dalam Gerakan Indonesia Mengajar. Momen yang pas sekali untuk membuat saya berpikir, apalagi jika disodori pertanyaan, “Siapa yang akan mengelola uang pajak kita, jika orang-orang baik hanya mau menjadi pembayar pajak yang baik?”

Disambut dengan berita-berita korupsi yang membuat acara Duo Pedang Saiful Jamil dan Nassar menjadi kurang booming, saya lantas mencoba merestrukturisasi arah kehidupan. Bahwa saya memang merasa harus berusaha menjadi PNS karena biarkanlah saya yang mengikuti keinginan Mamak. Adek saya yang nomor 2, dijamin nggak akan kuat dengan seleksi PNS yang harus mengurus surat ini-itu-anu-inu, dia terlalu meledak-ledak untuk mengantre SKCK, mengantre WC untuk sampel urin, hingga mengantre untuk diangkat jadi PNS. Adek yang nomor 3? Biarkanlah dia berkarya dengan jalan yang dia sukai. Adek yang nomor 4? Kebetulan masih jomblo. Ada yang punya adek atau anak cewek yang cantik jelita buat adek bungsu saya ini? Boleh kontak saya, yah! Oh, iya, sebelum lupa, ketika itu keinginan Mamak yang cukup urgen adalah saya jadi PNS dan saya menikah. Masalah besar kala itu adalah saya jomblo menahun yang berkerak. Maka, opsi menjadi PNS tampak lebih visibel untuk dilakukan daripada menikah.

Ketika saya mencoba menata kembali motivasi yang tampak tiada beraturan itu, muncul manusia bernama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dalam beberapa kesempatan, saya mencermati quote Ahok yang senada dengan Anies Baswedan.

Ahok

Lama-lama mikir lagi, masuk kepada pilihan hidup atas nama idealisme. Apalagi jaman SBY itu mulai banyak yang mengkritik pemerintah dengan ini-itu yang selalu salah. Wajar kalau Presiden Jokowi sekarang selalu saja ada salahnya, wong SBY saja yang militer berani disalah-salahin sama orang-yang-entah-siapa-tapi-punya-akun-Facebook.

Saya bukan orang baik, sesungguhnya, tapi saya orang yang tergoda untuk menjadi baik. Dan ketika kedua tokoh tadi menyebut soal orang baik, maka tentu saya ingin menjadi bagian dari orang-orang baik, orang-orang yang pada akhirnya akan mampu berperan baik. Terutama sekali untuk negara ini. Kesimpulan yang saya ambil dari quote kedua tokoh tadi adalah kalau mau mengubah, ya kudu dari dalam.

Sayangnya, sistem di Indonesia memang sungguh mengunci peran serta untuk terminologi ‘mengubah dari dalam’. Hanya ada dua jalur untuk masuk ke dalam sistem, via politik atau jalur lain bernama seleksi CPNS. Kenapa bukan politik? Cicilan KPR rumah saja belum beres, pacar nggak punya, bagaimana mungkin saya bisa berpikir biaya politik, apalagi lantas jadi anggota DPR?

Begitulah, keinginan menjadi orang baik membuat saya akhirnya memurnikan motivasi saya untuk masuk ke dalam roda pemerintahan, yang tentu saja akan dimulai dari menjadi setetes oli yang digencer rotor. Jalan hidup kemudian membawa saya menjadi peserta cadangan nomor 1 pada tanggal 24 Desember, yang ternyata peserta lain tidak mengambil kesempatan yang dimilikinya hingga lantas tanggal 31 Desember saya resmi diterima menjadi CPNS.

Sok idealis kali, ya? Bisa jadi. Tapi sesungguhnya idealisme itu menjadi kombinasi bagus dengan idealisme saya membahagiakan orang tua, khususnya Mamak yang ngebet banget saya jadi PNS. Setidaknya idealisme itu akan menjadi modal bagus untuk memasuki dunia pemerintahan yang ternyata kondisinya nyaris tak terkatakan ini.

Begitu banyak cerita absurd yang saya dapati dalam interaksi dengan banyak PNS lintas Kementerian, sebagian diantaranya saya saksikan sendiri. Untungnya, institusi tempat saya bekerja, terbilang cukup mampu mendukung suasana bersih dan murni. Setidaknya idealisme itu masih nongol-nongol sedikit di sela-sela menyaksikan PNS suatu kabupaten meminta cap SPPD kosong di sebuah hotel di Manado, menyaksikan PNS entah dari daerah mana sedang shopping hore di Batam, hingga PNS berangkat berdua ke Bandung dengan SPPD 10 lembar.

Setiap pilihan ada konsekuensinya, dan kini tinggal masalah saya kuat untuk bertahan atau tidak. Sesekali saya suka buka LinkedIn melihat si ini sekarang pindah kerja ke A, naik jadi Manajer. Kadang seru dan rindu juga masa-masa itu. Apalagi begitu mengenang betapa peran dan kehadiran saya begitu dibutuhkan, sampai-sampai cuti saja nggak boleh. Tapi lagi-lagi hidup ini kan pilihan.

Sekarang saya berada dalam pilihan bahwa saya tidak hendak membaktikan diri kepada suatu perusahaan dengan ribuan karyawan, namun kepada negara dengan ratusan juta penduduk. Mungkin hanya itu yang bisa menguatkan diri saya dari hobi mengeluh bahwa pada awalnya pekerjaan saya nggak jauh-jauh dari fotokopi berkas dan mengantar surat, meratap bahwa gaji saya pada awalnya masih lebih rendah daripada gaji anak buah saya dahulu, hingga ratapan-ratapan lainnya. Toh, setidaknya dengan pilihan hidup yang terkini, menjadi akses yang sangat lancar dalam perspektif calon mertua, maupun ibunya calon mertua. Di era kereta cepat, ternyata PNS masihlah calon menantu ideal, bagi sesama PNS, tentu saja.

Di Kolese De Britto saya belajar tentang CCC–tentu saja selain Cas Cis Cus yang sempat setahun saya edit itu–bahwa di dalam hidup itu kita harus punya kompetensi (Competence), mengandalkan hati nurani (Conscience), dan berbela rasa (Compassion). Dengan jalan hidup yang saya pilih ini, sungguh 3C itu menjadi hal yang setengah mati harus dijaga. Semoga saya tetap diberi kemampuan bertahan di jalan yang lurus, agar pada akhirnya mampu menjalankan idealisme khas didikan De Britto. AMDG. Demi Kemuliaan Tuhan yang Lebih Besar.

Tabik.

PS: Tulisan ini didedikasikan untuk DBBC Space dalam rangka Mengarang Indah Edisi Maret 2016.

logo

4 thoughts on “Sebuah Godaan Untuk Menjadi Orang Baik”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.