[Review] Surat dari Praha

Menyaksikan acara Mata Najwa beberapa waktu yang lalu membuat saya geram. Ya, geram karena ada lho manusia keji yang bahkan rela meniadakan kewarganegaraan seseorang, hanya karena orang itu menolak dia. Kisah eksil tertolak karena stigma sosialis, komunis hingga kata sakti–PKI–itu bahkan masih ada SAMPAI SEKARANG. Po ora edan kuwi.

sumber: detik.com

Maka, ketika ternyata acara Mata Najwa itu mengarah pada iklan film terbaru Angga Dwimas Sasongko yang berjudul ‘Surat Dari Praha’, segera film itu masuk daftar untuk ditonton. Tentu saja tidak sendirian. Sedih amat, kak, nonton sendirian. Yha, seperti saya pas nonton The Avengers, sudah jomlo sendirian pula.

Ngomong-ngomong, sebelum tayang, film ini sudah sempat mendapatkan masalah, karena judulnya yang sama persis dengan sebuah buku yang ditulis oleh Yusri Fajar. Bagi saya, tiga kata itu memang begitu komersial untuk dijadikan judul. Jadi wajar kalau dua karya menggunakan judul yang sama. Saya tidak bisa memberi justifikasi karena saya cuma tukang fotokopi belaka belum baca bukunya. Tapi menurut saya, Mas Yusri Fajar bisa lho mendapatkan keuntungan dari penjualan dengan memakai booming film Surat dari Praha ini. IMHO.

Kisah dimulai dengan adegan mandi. Ini serius, tonton saja kalau nggak percaya. Dalam skema drama tiga babak, bagian ini disebut sebagai dunia tidak sempurna. Yang mandi adalah aktris senior Widyawati yang memerankan tokoh Sulastri Kusumaningsih sembari disaksikan oleh Kemala Dahayu Larasati (Julie Estelle) di depan pintu. Terjadi adu argumen alot yang kemungkinan besar akan membuat kamu-kamu semua bete sama Julie Estelle dan lupa kalau dia cantik.

sumber: tribunnews.com

Di akhir dialog, Laras kembali ke kamar ibunya namun tidak menemukan Sulastri. Dia lalu bertanya ke perawat dan dialog ini dikritik sama mbak pacar yang kebetulan kerja di Rumah Sakit dan memang benar-benar baru pulang dari RS ketika kami nonton Surat dari Praha ini.

“Nggak mungkin kayak gitu,” bisiknya. Yah, adegan-adegan tentang dokter, rumah sakit, apotek, dan sekitarnya itu memang banyak yang kurang riset kalau di sinetron. Akan tetapi saya tidak sangka kalau di filmnya Angga hal yang sama terjadi pula.

Kelanjutan peristiwa itu lantas menjadi point of attack dari cerita, tahap berikutnya dalam drama tiga babak. Buat kamu yang merindu Chico Jericho ada sih nongol sebentar sekali dalam balutan hitam-hitam, dan jangan harap dia bakal nongol lagi dalam adegan selanjutnya karena memang ceritanya Laras itu mau cerai sama suaminya itu.

Usaha Laras untuk mendapatkan warisan dari Sulastri ternyata berujung penolakan. Mendapatkan warisan kiranya tidak sesederhana itu karena Laras harus mengantarkan sebuah kotak…

…ke Praha. Wow!

Saatnya beralih dari Indonesia ke Ceska. Kita bertemu dengan Mahdi Jayasri alias Jaya (Tio Pakusadewo) sebagai tujuan kotak itu diantarkan. Tampak sederhana, ketika kemudian Laras tetiba sudah ada di pintu flatnya Jaya. Namun menjadi tidak sederhana ketika sesudah itu Laras mengalami masalah combo, ditolak dan dijahati. Syedih. Cuma saya agak bertanya-tanya, sih, apa iya semudah itu supir taksi di Ceska bawa pistol. Heuheu.

Sebenarnya bicara plot, kita bisa melihatnya dari dua sisi. Jika tadi kita pakai sudut pandang Laras, maka begitu masuk ke bagian kedua dari drama tiga babak, justru sudut pandang Jaya lebih mudah dicerna, terutama begitu masuk ke segmen ancaman diam-diam, kejatuhan, dan masa yang kelam. Bermula dari Laras yang kepo buka-buka partitur, memainkan lagu, hingga pada akhirnya kekepoannya semakin melanda dengan membuka seluruh surat-surat dari Ibunya untuk Jaya. Laras lantas tahu banyak hal, dan dengan juteknya mengkonfrontasikan itu kepada Jaya yang tahu-tahu pulang.

Poin masa yang kelam di dalam film ini menurut saya tampak ketika Jaya sampai mabok di kafe. Hal itu dikuatkan dari pernyataan Dewa (Rio Dewanto) bahwa nggak biasanya Jaya sampai mabok kayak gitu. Dan poin cerita itu pula yang kemudian ‘mendekatkan’ Laras dan Jaya yang tadinya kayak mantan sama gebetan, blas ora akur.

Maka muncul dialog-dialog tentang pilihan hidup, tentang sesuatu yang disesali, tentang janji yang tiada bisa ditepati karena keadaan, tentang memaafkan diri sendiri, dan lain-lain sebagainya. Sampai poin itu, sungguh tepat bahwa dipilih Tio Pakusadewo untuk memerankan Mahdi Jayasri. Dengan portofolionya di dunia peran, tidak tampak kecanggungan dalam karakter Jaya itu.

sumber: kompas.com

Sebelum kisah berakhir dengan kepulangan Laras ke Indonesia, ada dua kisah menarik–salah satunya twist kecil. Ceritanya ada kumpul-kumpul eksil dan sejauh saya ketahui, eksil yang tampil di film itu adalah eksil beneran. Setidaknya salah satunya ada di Mata Najwa dan pedihnya beliau adalah pemilik kewarganegaraan Ceska. Saya jadi geram lagi, bagaimana mungkin niat baik Soekarno untuk memperkuat bangsa dengan menyekolahkan putra-putra terbaik bangsa ke Amerika (periode 1950-an) dan Eropa Timur (periode 1960-an) justru membawa para eksil itu pada sesuatu yang tidak terbayangkan sebelumnya. Seperti dalam kasus Jaya, seorang sarjana nuklir yang menjadi janitor. Kalau ragu tentang riwayat nuklir di Ceska, boleh dibaca disini. Ini sama cerita kayak–amit-amit–ada pergantian kekuasaan ekstrem, dan anak-anak LPDP sekarang disuruh milih rezim. Kalau pro yang lama, nggak boleh pulang. Coba dibayangkan dan dirasakan pedihnya.

sumber: muvila.com

Surat Sulastri kemudian menutup Surat dari Praha ini. Lucu juga, sih, karena pamungkasnya justru surat dari Indonesia yang dibaca di Praha. Kita akan tahu beberapa fakta yang masih jadi pertanyaan kita sepanjang film hanya via surat Sulastri. Momen inilah yang menjadi poin dunia yang sempurna dalam pentahapan drama tiga babak.

Dua lagu Glen Fredly yang berjudul Nyali Terakhir dan Sabda Rindu menjadi nyawa dalam film ini. Masing-masing antara Laras dan Jaya dapat satu bagian. Kolaborasi Angga dan Glen ini disebut yang ketiga sesudah yang pertama Cahaya dari Timur yang reviunya bisa dibaca disini. Penggunaan bahasa Jawa oleh Jaya–terutama saat bilang ‘asu’–juga menjadi gimmick kecil yang lumayan bikin senyum. Angga juga tidak kelewatan dalam membuat logika sehingga kisah Laras yang dijahati hingga kopernya dibawa kabur begitu sejalan dengan baju-baju yang dipakainya sepanjang film. Peran Loretta menjadi penting untuk hal sederhana ini. Dan ngomong-ngomong, di trivia saya jadi tahu kalau pemeran Loretta adalah ibunya Ryan Hidayat (alm), Eva Jaryfova.

Kalaulah ada kelemahan, menurut saya nggak banyak. Satu-satunya kelemahan yang mengganggu–menurut saya–adalah keberadaan asu milik Jaya, si Bagong. Di awal dia ada, di akhir dia juga ada, tapi di momen-momen kejatuhan justru Bagong tidak terlihat atau diperlihatkan. Terus, yha seperti juga saya mengkritik adegan Mgr. Soegijapranata ngudud, saya juga bertanya-tanya tentang peran dan fungsi adegan merokok dalam film ini, termasuk kesesuaiannya dengan regulasi merokok di tempat umum karena kalau saya lihat disini ada pengaturan ini meski memang disebut masih belum optimal.

Dan, kegeraman saya perlahan sirna karena bahkan para eksil sendiri sudah bisa memaafkan bahkan tidak meminta kata maaf. Saatnya kita tidak menahan dan menyimpan dendam, baik itu dendam kepada Soeharto maupun dendam kepada PKI karena sungguh semua itu tiada gunanya. Sila saksikan filmnya, ya, di bioskop-bioskop terdekat. Nggak usah nunggu nongol di TV, don’t rich people difficult!

Ciao!

10 thoughts on “[Review] Surat dari Praha”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.