Jangan Makan Martabak Anaknya Jokowi!

Sesungguhnya saya terpancing trik duo Jokowi Junior yang bermain cuit-cuitan sehingga memancing portal media mainstream untuk memberitakan mereka. Yaelah, twit balas-balasan mah saya sama mantan dulu sering sekali, twit no mentions apalagi–kalau lagi marahan–tapi nggak pernah diliput media. Ya, bedanya sih itu. Kowe ki anak e sopo. Cuit-cuitan mereka pada ujungnya berakhir pada satu titik: martabak.

Sungguh, ini martabak!
Sungguh, ini martabak!

Karena sudah terpancing, maka dengan bijaksana saya akhirnya melajukan si BG nan kece karena ban depan isi nitrogen namun ban belakang isi udara kompresor mamang tambal ban ke Jalan Raden Saleh Raya. Jalan Raden Saleh Raya ini terletak antara Jalan Cikini dan Jalan Kramat Raya. Patokannya, kalau jalan dari Matraman menuju Senen, nanti kira-kira sebelum Bank BNI ada belokan ke kiri. Kalau dari Senen, ya cari lagi Bank BNI besar di kanan jalan, kurang lebih dekat Halte TransJakarta Kramat Sentiong NU.

Mengapa saya sampai ke Jalan Radeh Saleh? Tenang, saya nggak hendak menggugurkan kandungan. Sungguhpun saya buncit, bisa dipastikan isinya lemak semua. Lagipula saya berduaan sama teman saya, laki. Lakinya orang, pula. Jadi, saya sampai ke Jalan Raden Saleh itu untuk mencicipi martabak yang trending sekali pekan kemaren itu, ya karena cuitan Gibran dan Kaesang. Judulnya Markobar. Dengar-dengar adalah kependekan dari Martabak Kota Barat. Di Jalan Radeh Saleh itu tadi, letaknya di parkiran Hotel Puri Inn, sebuah hotel budget area Cikini. So, jangan makan Markobar kalau kamu-kamu tidak berada di Jakarta, Semarang, Solo, dan Jogja. Soalnya, emang Markobar sejauh ini baru ada di kota-kota itu.

Super Markobar?
Super Markobar?

Dengan menyiapkan dana yang merupakan pemberian negara berupa honor buletin, saya memberanikan diri mengorder martabak milik anak mbarep Presiden Jokowi, Gibran, ini. Sungguh, ini bukan martabak sembarangan. Bedakan dengan martabak tepi jalan pada umumnya yang 40 ribu itu sudah versi spesial, di Markobar ini 40 ribu adalah martabak paling murah, hanya bertopping Ceres atau topping keju. Kalau mau campur, keju Ceres, itu nambah sepuluh ribu.

Namun sesungguhnya andalan Markobar yang sebenarnya adalah Martabak 4 Rasa dan Martabak 8 Rasa. Harganya dua kali lipat harga minimal. Maka, please, jika jajan kamu cuma dua puluh ribu sehari, jangan makan martabak anaknya Jokowi, soalnya duit kamu kurang.

Saya memesan Martabak 8 Rasa, yang secara default berisi Ceres, Keju, Toblerone, KitKat, Cadbury, Silverqueen, Delfi, dan Nutella. Ya, kurang lebih semuanya sokelat, sih. Kalau ingin berbeda, Markobar ini menyediakan topping tambahan dengan tambahan harga per-slice. Tambahan itu adalah Kitkat Green Tea, Ovomaltine, dan Timtam Red Velvet. Kalau mengintip fanspage Markobar1996, rasanya iri dengan kota lain. Hiks. Soalnya yang di Jakarta beda sekali sediaannya dengan di Solo dan Jogja. Mungkin menyesuaikan UMR dan beban hidup kali, ya.

Ini dia, Martabak 8 Rasa!
Ini dia, Martabak 8 Rasa!

Mengacu dari Jakarta Kita yang juga mengutip literatur, martabak yang dijual sama Markobar ini adalah martabak manis yang aslinya bernama Hok Lo Pan, yang pada awalnya adalah makanan khas Bangka Belitung! Wah, ini pasti konstipasi Wahyudi. Mentang-mentang dulu bapaknya Gibran pasang-pasangan sama orang Bangka Belitung, dagangnya sekarang makanan khas sana! Kalau disebut makanan khas Bangka Belitung, maka tentu terkait dengan orang-orang Khek (Hakka). Saya jadi ingat teman main saya dulu, si Febrian, yang asli orang Khek dan Om-nya beneran jualan martabak manis di Palembang sono. Saya juga jadi ingat di Palembang, tepatnya Jalan M. Isa, ada sepasang suami istri tua yang berdagang martabak manis ini dan enaknya minta ampun. Mungkin karena dimasak dengan kayu bakar. Maka, saya tidak meragukan sumber yang bilang bahwa martabak alias Hok Lo Pan itu adalah asli Bangka dan asli orang Khek, wong saya lihat buktinya.

Lebih lengkap menurut Yuk Makan, kemunculan Hok Lo Pan itu di akhir abad 19. Di Pulau Bangka tepatnya berada di Sungailiat. Alkisah, kala itu banyak pendatang Tionghoa di sekitar Bangka, Belitung, dan Singkep. Bisnis makanan menjadi salah satu upaya untuk bertahan hidup di kondisi ekonomi nan minim dan sudah tiada kuat bekerja di tambang timah.

Nah, pada perkembangan kemudian, seorang pendatang Tionghoa berhasil membuat kue dari bahan adonan tepung terigu dan telur yang lantas dipanggang dalam loyang besi bundar. Pasca adonan mengembang, kue itu lantas ditaburi wijen sangrai dan gula pasir. Katanya, Hok Lo berarti ‘orang Tionghoa’ dan Pan itu terkait dengan loyang panggangan.

photogrid_1452184732446.jpg

Seorang perantau dari Sungailiat pula yang berkontribusi pada biasnya martabak ini, martabak Bangka atau martabak Bandung. Waktu kecil, saya tahunya makanan ini adalah martabak Bandung. Pas merantau di Palembang baru mahfum bahwa panganan enak ini disebut martabak Bangka. Jadi kisahnya lagi, sang perantua bernama Bong Kap Tjoen datang ke Bandung saat dia berumur 20 tahun. Ceritanya kemudian Bong Kap Tjoen terinspirasi saudaranya untuk bakulan Hok Lo Pan juga. Berdagang di Jalan Gatot Subroto, bakulan Bong terbilang sukses. Apalagi, Bong kemudian dengan kreatif membuat variasi baru dengan taburan kacang, keju dan meses, termasuk juga susu kental manis. Nah, masih menurut Yuk Makan, ternyata nama martabak manis sendiri bukan buatan Bong, kemungkinan buatan pelanggannya. Heuheu.

Kembali ke Markobar. Sempat terjadi pembahasan perihal metode penyajian martabak di Markobar. Seperti tampak pada gambar di Instagram dan cuitan di Twitter, martabak di Markobar disajikan dalam bentuk bulat, alih-alih dilipat dan kemudian dipotong layaknya martabak manis pada umumnya. Ada yang bilang bawa Hok Lo Pan itu ya dilipat, penyajian di Markobar itu jelas melanggar prinsip Hok Lo Pan. Namun ada juga yang bilang bahwa dahulu juga ada penyajian tanpa dilipat, itu pula alasan martabak ini sering disebut Martabak Terang Bulan, karena disajikan bulat layaknya bulan.

Nah, dengan harga nan mumpuni, otomatis porsinya juga jos. Maka, sekali lagi saya peringatkan kepada semuanya untuk jangan makan Markobar, kalau sendirian. Kemungkinan sih habis, namun dengan komponen tepung, telur, dan mentega dalam jumlah besar, serta topping yang bertumpuk, maka boleh jadi bakal eneg. Menghabiskan delapan potong martabak dengan topping berbeda-beda boleh jadi akan gagal dilakukan. Maka, lebih baik makan berdua, bertiga, atau berkeluarga. Selain itu, makan martabak sendirian itu memperlihatkan kejombloan. Kasian. Kayak OOM ALFA.

Ketika ingin mengabiskan martabak di lokasi, kita harus siap-siap dana tambahan karena ceritanya nebeng di kafe Sere Manis yang menempel di hotel Puri Inn. Jadi, harus beli minumnya. Maka, sekali lagi saya ingatkan, jangan makan Markobar kalau kamu cuma bawa duit dua puluh ribu, lha minumnya di situ dimulai dari 10 ribu, jeh.

Oh, ya, mungkin juga karena dampak twitwar demi twitwar yang digulirkan antara Gibran dan Kaesang, Markobar cukup ramai, bisa satu purnama jam nunggunya. So, bagi kamu-kamu yang ora sabaran, saya sarankan jangan makan Markobar. Sebagai gambaran, di Markobar Raden Saleh ini durasi usaha dari 17.00 sampai 23.00, enam jam saja. Waktu saya datang jam 9 lewat, saya adalah pelanggan nomor 92. Jadi dalam 1 jam jumlah pelanggan yang datang bisa 15 orang yang artinya kalau mau nggak nunggu, sebuah martabak harus jadi dalam waktu 4 menit. Padahal 4 menit itu paling cuma buat nuang topping saja.

photogrid_1452184681941.jpg

Lantas bagaimana rasanya? Hmmm, secara umum tidak terlalu berbeda dengan martabak versi lux lainnya. Topping-topping yang disediakan pada 8 Rasa default juga sudah ada di martabak-martabak versi mal lainnya. Adapun adonan inti martabaknya terbilang pas, tidak bikin eneg. Dan toppingnya juga saya bilang pas, tidak terlalu berkelebihan sampai tumpah-tumpah, seperti halnya beberapa jenis martabak mahal lain lakukan. Plus, karena kita makan di kafe, dapat piring dan garpu buat makan. Kiranya ini kafe dan Markobar telah melakukan kerjasama berprinsip simbiosis mutualisme. Sama-sama jomlo, eh, sama-sama untung.

Terakhir, saya hanya hendak mengingatkan bagi kamu-kamu yang punya bayangan bahwa anak Presiden itu lebih layak jualan proyek, jualan mobil nasional, punya banyak pabrik, hingga memungut iuran televisi, saya sarankan jangan makan martabaknya Markobar, soalnya persepsi kamu itu sudah bikin eneg duluan. Heuheu. Yah, setidaknya Markobar dapat menjadi pilihan menarik untuk menghabiskan waktu sambil ngobrol dan bercerita tentang masa lalu serta merencanakan masa depan. Uhuk!

Oh, peringatan terakhir, harap ditaati. Jangan sekali-kali makan martabak anaknya Jokowi, bersama selingkuhan. Bukan apa-apa, ora ilok. Oke?

49 thoughts on “Jangan Makan Martabak Anaknya Jokowi!”

  1. Sayang saya hidup di kota kecil. Jadi nggak bisa nyobain. Tapi kalaupun ada harganya mahal amat. Martabak di sini paling banter 12.000 ribuan ha ha ha…..

    Like

      1. Belum ada yang gituan sih mas di mall kami, kalau kemahalan ga ada yang datang haha.
        Paling prestisius paling pizza hut disini mas

        Like

  2. Baru tau Markobar ada di Jakarta. Ke mana aja. Haha. Cukup penasaran coba, walau bukan pencinta makanan manis. Ga ada yang asin ya? 8 rasa gitu? Rendang, sate, telor, ayam rica, dll.. *ngiler

    Like

  3. Ga jelas, mau dibilang teknik marketing atau promosi terbaru…. isinya membingungkan dan tidak mencapai tujuan yg diinginkan ke pembaca…. Hhhaa

    Like

  4. Kyk makan pizza yg thin crust.
    Teksturnya beda dr martabak biasanya, kenyal bantet gt.
    Saya sih kurang cocok dgn teksturnya. Mgkn yg lain pada suka.

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.