(Mencoba) Menelaah SKP Apoteker

Ini ceritanya mau nulis agak serius sedikit, jadi tolong pembaca blog ini yang biasa menikmati pedihnya LDR maupun yang berasal dari kalangan jomlo menahun yang berkerak bisa klik lambang X di pojok kanan atas daripada kuciwa. Sengaja saya nulisnya di blog ini, bukan di blog lain karena jiwa dari posting ini sejalan dengan tagline blog ini: sebuah perspektif sederhana. Selain itu, saya nggak mau cuma menjadi Apoteker yang mentertawakan kegilaan masa kuliah via tulisan 97 Fakta Unik Anak Farmasi tanpa lantas memberikan masukan positif.

Entah bagaimana mulanya, tetapi beberapa hari terakhir grup-grup WhatsApp yang berisi apoteker-apoteker harapan bangsa dan mertua mulai menggelar diskusi berat tentang SKP. Salah satunya yang memicu–kalau di linimasa saya–adalah status FB dari seorang bapak yang fotonya terpampang di ruang rapat pimpinan Badan POM. Rasanya nggak perlu saya jelaskan disini karena toh sudah beredar di sebuah website. Hiks, saya gagal menangkap peluang, bahwa cukup copy paste status FB Pak Sampurno saja sudah lebih dari cukup menarik viewer dan disharingkan kemana-mana, Alexa naik, invoice berdatangan.

Poinnya adalah SKP atau yang di Ikatan Apoteker Indonesia diterjemahkan sebagai SATUAN KREDIT PARTISIPASI. Tentunya ini beda dengan di swasta yang bilang STANDAR KOMPETENSI PEGAWAI atau juga di peraturan Badan Kepegawaian Negara dan UU Aparatur Sipil Negara bahwa SKP adalah SASARAN KINERJA PEGAWAI. Adanya SKP ini dikeluhkan oleh sebagian (atau banyak?) kalangan. Beberapa yang saya kutip dari kawan-kawan di lapangan adalah:

1. Kalau SKP tidak cukup, maka tidak boleh praktek.
2. SKP umumnya diperoleh dengan seminar. Seminar umumnya di kota besar/ibukota provinsi. Nah, bagaimana dengan yang berdomisili di pedalaman? Sudahlah gaji kecil, pergi ke kota (jelas mbayar), ikut seminar (kebanyakan mbayar), harus menginap (kira-kira mbayar hotel), dan mendapat beberapa SKP. Untuk bisa mendapat akumulasi, harus beberapa kali melakukan siklus yang sama.
3. Dalam obrolan dengan seorang mantan, dia yang ada di sebuah kota di Sumatera, berniat ikut seminar ber-SKP di sebuah kampus di Jakarta, tapi nebeng nama doang. Yang ikut ya biarkan mahasiswa-mahasiswi unyu yang haus ilmu, SKP dia yang dapat. Win-win solution, bukan? Sampai saat terakhir yang saya ketahui itu baru rencana dan kemudian tidak dilakukan, nggak tahu realisasinya ya.

Well, gelar saya APOTEKER. Persis di belakang nama saya ada tulisan S.Farm., Apt. yang sah untuk digunakan. Tapi, saya tidak menjalankan praktek kefarmasian karena saya dulu hanya buruh pabrik biasa, itu juga di bidang PPIC–yang aslinya adalah ranah teknik industri. Tahun 2009 saya membayar 500 ribu (20% gaji saya ketika itu, 30% gaji saya saat ini) untuk sebuah Sertifikat Kompetensi dan sampai 2014, sertifikat itu hanya ngendon di dalam map tanpa pernah digunakan, dimanfaatkan, atau disekolahkan (dikate SK PNS kale…). Jadi, saya menulis ini asli bebas nilai, karena toh saya juga nggak mengurus SKP, atau setidaknya sampai saat ini belum berniat mengurus SKP.

Nah, di linimasa saya, Bapak Dosen yang terhormat memposting bahwa SKP itu tidak semata-mata berbayar. SKP itu bisa GRATIS, iye, HERATIS. Ini kemudian menjadi hal baru bagi saya, apalagi baru siang tadi saya membaca poster seminar bernilai 6 SKP dengan harga 600 ribu (100 ribu per SKP, kalau untuk kelancaran hidup butuh 70 SKP, berarti butuh 7 juta?). Semacam menemukan kontradiksi, akhirnya saya mencoba menelaah tentang SKP dari petunjuk teknisnya.

Lewat obrolan Jan Koum di IYPG, saya menemukan Surat Keputusan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Nomor : Kep. 007/ PP.IAI/1418/IV/2014 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pengajuan Penilaian dan Pengakuan Satuan Kredit Partisipasi (SKP) Program Pengembangan Pendidikan Apoteker Berkelanjutan (P2AB) Ikatan Apoteker Indonesia via web IAI DIY. Iseng sedikit, itu penempatan spasi dan tanda baca pada penomoran semacam ada yang kurang sesuai EYD. Gini deh kalau apoteker merangkap penulis, yang dilihat malah typo-nya. SK-007 ini adalah Hasil Rapat Koordinasi Pengurus Pusat dengan Pengurus Daerah pada 23 April di Bandung. Mari langsung masuk ke Bab III perihal Jenis dan Kriteria Kegiatan Program Pengembangan Pendidikan Apoteker Berkelanjutan. Dalam pasal 4 disebutkan ada 8 jenis kegiatan yang diatur dalam SK-007 itu–dengan 6 diantaranya dijelaskan di Bab I–yakni:

1. Seminar/simposium/lokakarya: Seminar dalam bidang kefarmasian/kesehatan adalah merupakan satu metode belajar di mana para peserta dilatih saling bekerja sama dengan berfikir dan berpendapat untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi sehingga tercapai satu kesimpulan/pendapat bersama.
2. Workshop/Lokakarya adalah suatu pertemuan ilmiah dalam rangka pengembangan atau saling tukar informasi ilmu pengetahuan di bidang kefarmasian/kesehatan.
3. Kursus atau pelatihan adalah kegiatan peningkatan ketrampilan praktek / kerja di bidang kefarmasian/kesehatan
4. Tinjauan kasus adalah diskusi kelompok yang diikuti minimal 5 (lima) orang peserta, yang membahas topik praktek/kerja kefarmasian dan etika profesi
5. Kajian peer review adalah diskusi kelompok yang diikuti minimal 3 (tiga) orang peserta, yang membahas persoalan/problem yang sama atas suatu kasus penggunaan obat tertentu untuk mendapat kesimpulan yang komprehensif
6. Diskusi dengan pakar adalah diskusi kelompok yang diikuti minimal 5 (lima) orang peserta dengan mengundang pakar kesehatan/kefarmasian terkait dengan hal-hal yang dihadapi di lapangan
7. Bakti Sosial
8. Penyuluhan

Sekarang kita masuk ke Bab IV, tentang SKP itu sendiri. Terdapat tabel tentang nilai SKP untuk masing-masing kegiatan. Untuk Seminar/Simposium/Lokakarya misalnya, baik tingkat daerah dan tingkat nasional mendapatkan bobot yang sama. Untuk peserta dapat 1 SKP per 2-3 jam, Narasumber 3 SKP, Moderator dan Panitia 1 SKP. Kalau tingkat internasional yang 1 SKP tadi ditambahi 0,5 SKP jadi 1,5 SKP, kemudian yang 3 SKP jadi 4,5 SKP. Untuk kegiatan Workshop, konteksnya lagi-lagi sama tingkat daerah dan tingkat nasional yakni peserta dapat 1,5 SKP (per 2-3 jam), nilai yang sama untuk Panitia. Adapun Fasilitator dapat 2 kali lipat dan Narasumber dapat 3 kali lipat. Untuk tingkat internasional, yang 1,5 SKP menjadi 2,5 SKP, yang tadinya 3 SKP jadi 4,5 SKP dan yang di daerah/nasional dapat 4,5 SKP menjadi 6,5 SKP. Perihal SKP kegiatan kursus atau pelatihan, baik daerah dan nasional kembali sama. Peserta dapat 1 SKP/1 jam, Panitia 2 SKP, Instruktur/Fasilitator 3 SKP, dan Narasumber 6 SKP. Di tingkat internasional berturut-turut 1,5 SKP/1 jam, 3 SKP, 4,5 SKP, dan 9 SKP.

Nah, untuk yang seminar, simposium dan lokakarya ada aturan baru yakni melalui Keputusan Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia Nomor Kep.047/PP.IAI/1418/II/2015 yang lampirannya berisi: Pasal 6 butir (4) ini dirubah (rubah? fox, maksudnya?) menjadi begini sebagai berikut ini.

IAI

Nah, yang tadi kan berbayar-bayar ya. Ini mungkin yang free tapi butuh effort. Di pasal 7 ada SKP untuk kegiatan tinjauan kasus, kajian peer review, dan diskusi dengan pakar. Tinjauan kasus dapat 2 SKP per 4 jam dikusi. Kajian peer review dapat 3 SKP untuk pembicara, dan 2 SKP untuk peserta pada setiap review. Sedangkan untuk diskusi kasus dapat 3 SKP pembicara dan 2 SKP untuk peserta untuk setiap kasus.

Selain itu ada juga SKP untuk kegiatan bakti sosial yakni 2 SKP untuk 8 jam kegiatan pengobatan massal. Plus 3 SKP untuk pembicara di penyuluhan. Wow, baksos 8 jam dapat 2 SKP? Jadi ingat menghadapi 600-an pasien di Muara Gembong, sampai setengah modar itu kalau nggak salah hanya sekitar 7 jam. Hehe.

Bagian paling penting dari peraturan ini adalah penilaian dan pengakuan SKP itu sendiri, yang dijelaskan dalam Pasal 9. Penilaian dan pengakuan SKP untuk kegiatan Seminar, Simposium, Lokakarya, Workshop, Kursus, dan Pelatihan di tingkat pusat itu dilakukan oleh Badan Sertifikasi Profesi. Untuk yang di tingkat daerah dilakukan oleh Tim Sertifikasi dan Resertifikasi, yang kalau belum ada maka dilakukan oleh Pengurus Daerah. Demikian pula untuk kegiatan tinjauan kasus, kajian peer review, dan diskusi dengan pakar, penilaian dan pengakuan SKP-nya dilakukan oleh Tim, yang kalau belum ada maka dilaukan oleh Pengurus Daerah. Ini sama juga dengan bakti sosial dan penyuluhan.

Perhitungan nilai SKP itu sendiri didasarkan pada kedalaman materi atau topik, kualitas atau kompetensi pembicara/pengajar, lama pelaksanaan, dan pengaruh atau dampak pengetahuan yang diperoleh terhadap pelaksanaan praktik:
a) tidak ada pengetahuan maupun ketrampilan yang dikuasai setelah mengikuti kegiatan,
b) ada pengetahuan dan atau keterampilan yang dikuasai setelah mengikuti kegiatan,
c) ada pengetahuan dan atau keterampilan yang ditingkatkan dan dikuasai setelah mengikuti kegiatan yang secara langsung mempenaruhi praktek atau pelayanan kepada pasien.

Lalu, di Bab VI itu ada BIAYA PENILAIAN DAN PENGAKUAN SKP. Mau tahu? Nah, di pasal 12 ayat 1 disebut bahwa setiap penilaian dan pengakuan SKP dikenakan biaya, kecuali: a) kegiatan seminar/simposium/lokakarya, workshop, dan kursus/pelatihan yang diselenggarakan oleh Pengurus Cabang, Himpunan Seminat dan Perguruan Tinggi Farmasi yang tidak memungut biaya dari peserta; b) kegiatan seminar/simposium/lokakarya, workshop, dan kursus/pelatihan yang diselenggarakan sendiri oleh pengurus daerah; c) tinjauan kasus; d) kajian peer review; e) diskusi dengan pakar; f) bakti sosial; g) penyuluhan. Jadi intinya, penilaian itu bayar kalau kegiatannya memungut bayaran. Itu penangkapan saya, sih.

Nah, walau nggak bayar, nggak bisa juga kita sesukanya bikin diskusi pura-pura lalu mengaku-aku itu sebagai tinjauan kasus. Waktu mau melakukan tinjauan kasus, kajian peer review, dan diskusi dengan pakar, pemohon membuat permohonan ke pengurus cabang, diteruskan ke pengurus daerah, dengan melampirkan topik yang akan dibahas, daftar peserta diskusi, serta waktu dan lokasi. Tim atau PD nanti akan melakukan verifikasi permohonan dalam kalau sudah sesuai akan dikeluarkan SK yang diteruskan ke pemohon via PC, bukan via suara. Kalau via suara itu lagunya RAN. Pengajuan permohonan ini juga berlaku untuk baksos dan penyuluhan. Isi proposalnya meliputi lokasi baksos, sasaran/jumlah yang diobati, waktu baksos, data anggota yang terlibat, dan tenaga kesehatan lain yang terlibat. Masukan bagus buat panitia baksos yang memakai jasa apoteker untuk terlebih dahulu menyediakan proposal ini sebagai alat bantu para apoteker yang terlibat. Hmmm, kalau kayak saya tinggal di Jakarta, baksos di Cikarang, itu PD-nya ikut mana, ya? Hehe. Nggak usah, ikut baksos bagi saya lebih penting untuk menjaga ilmu kefarmasian, alih-alih SKP.

Terakhir, tentu saja setiap kegiatan harus ada laporannya. Termasuk juga foto-foto kegiatan dan notulensi. Hal ini wajib dilaporkan ke PD sesuai pasal 16.

Sebagai penulis OOM ALFA dan pemilik gelar Apoteker yang sedang tidak dalam kepentingan dengan SKP ini, menurut saya secara regulasi boleh dibilang sudah bagus. Seperti diskusi di IYPG bahwa penting bagi apoteker untuk selalu memperbaharui ilmunya. Di kantor, selalu ada training. Di PNS, ada diklat. Itu pada prinsipnya adalah pembaharuan ilmu agar tidak ketinggalan jaman. Namun di sisi lain ada beberapa hal yang tampaknya juga perlu didiskusikan, seperti:

1. Bagaimana meyakinkan bahwa aturan dan pertimbangan di daerah sudah sama? Standarnya bagaimana? Kalau curcol ringan apoteker, bilang beberapa daerah itu rigid, beberapa lainnya longgar.
2. Kepakaran itu ukurannya semacam apakah? Harus S2 atau S3? Harus sudah punya publikasi? Harus diakui sampai tataran mana?
3. Si baksos 8 jam baru dapat 2 SKP itu berarti kalau 4 jam dapat 1 SKP gitu? Terus 8 jam itu termasuk persiapan hingga evaluasi atau bagaimana? Misal, yang di Muara Gembong itu baksosnya 6 jam, tapi perjalananya 6 jam juga. Kan pedih. Kalau baksos-baksos yang biasa saya ikuti, 4 jam juga sudah kelar kok.
4. Apakah SKP itu bisa lintas sektor, hmmm, maksud saya kalau tiba-tiba saya melakukan kajian peer review dengan pacar saya yang kuat banget di klinis serta beberapa temannya, dan kemudian saya plonga-plongo lalu dapat SKP karena saya sebenarnya lama di pabrik? Atau, di pabrik kan sering tuh berdiskusi tentang kontaminasi, pasti banyak karena dari beberapa bagian, itu bisa jadi diskusi kelompok nggak?

Empat aspek di atas adalah hal-hal yang dapat menjadi bahan diskusi. SK-007 ini memang petunjuk teknis pengajuan SKP, namun muatannya banyak yang belum diperjelas sampai tataran teknis. Ini tentu saja adalah peluang perbaikan ke depannya. Tadi saya baca FB Ibu Zullies Ikawati, telah ada yang namanya draft panduan resertifikasi apoteker tahun 2015. Nah, mumpung disebut masih draft dan mumpung polemik ini merebak, tampaknya mendiskusikan peraturan itu dengan apoteker dari industri, dari komunitas, maupun dari PNS, hingga yang mlipir jadi blogger kayak saya adalah hal asyik untuk dilakukan dan menurut saya bisa jadi sangat konstruktif untuk kemajuan profesi apoteker ke depannya. Sekaligus nantinya bisa mencegah permainan mbelgedhes seperti saya bilang di awal, tinggal dimana, ikut seminar dimana, tapi nebeng nama doang, demi mengumpulkan SKP, semata-mata karena mau nggak mau. Yang begini ini jelas sudah nggak sejalan dengan esensi SKP, namun jatuhnya terkubang di regulasi. Disitu kadang saya merasa sedih.

Sekali lagi, tulisan ini sama sekali tidak pro kepada siapapun. Lebih baik pro pada perbaikan, toh? Lewat tulisan ini saya hanya mencoba menelaah salah satu peraturan tentang SKP, termasuk mencari aspek-aspek yang bisa didiskusikan karena berpotensi disalahgunakan atau bertendensi salah kaprah dalam pemaknaan dan pelaksanaannya.

Bersatulah Apoteker Indonesia!

NB: Maaf seribu maaf, tapi melihat bahwa di dalam peraturan tersebut muncul tulisan ‘berfikir’, ‘praktek / kerja’ (ada spasi diantara garis miring), ‘peer review‘ (tanpa italic), ‘….tinjauan kasus, kajian per review dan diskusi…’ (seharusnya peer, dan sesudah kata review mestinya ada koma), ‘…dilakukan oleh oleh Tim.’ (olehnya tertulis dua kali, haduh..), di pasal 11 ada kata ‘praktik’ dan ‘praktek’ (yang benar yang mana?) dan ‘dirubah’ kiranya IAI perlu bagian peraturan yang menaruh concern penuh pada Bahasa Indonesia, baik diksi yang sesuai kamus maupun penggunaan EYD yang tepat. Sekali lagi, maaf kalau saya harus menyampaikan ini.

12 thoughts on “(Mencoba) Menelaah SKP Apoteker”

  1. Sempat semacam ada cahaya cerah waktu ada peluang skp gratis, saya dan rekan sejawat apoteker bikin baksos dan penyuluhan. Bikin proposal, action penyuluhan dan laporan. Laporan kirim via suara PC cabang (via email dink) teruskan PD. ditunggu sebulan tidak ada kabar, ada kesempatan “marah” kebetulan ada orang IAI nya THA tha akhirnya SK SKP baksos penyuluhan keluar, setelah menunggu 2 bulan keriput. Cletukan dari temen baksos gratis gak ada ‘olie’ pengen gratis tapi SKP dapat. Dengan ini dinyatakan bahwa SKP GRATIS bisa tapi Lama dan birokrasi gak ketulungan lamanya. Apa saya harus ‘marah’ dulu ke pengurus biar keluar SKP?

    Like

  2. Mau tanya ..yg harus ngumpulin skp apakah hanya apoteker saja, bagaimana kalo hanya lulusan smk , hrus ngumlulin skp juga?

    Like

    1. Kalau ingin bekerja sesuai ijazah, langkah awalnya semua kampus di Indonesia wajib ditutup dulu agar lulusan yg masih semester 1 untuk saat ini dan semua lulusan terdahulu yg blm terdeteksi pekerjaanya apa yg masih komitmen dg ijazahnya bangga bisa menjadi apa yg diinginkan semasa kuliah. Kembali ke niat, kenapa mengambil jurusan itu,,,

      Like

  3. mau nanya dong, misalnya nih saya PC jakarta, terus ada seminar di tanggerang dengan jumlah SKP pembeda (anggota IAI PC Tanggerang 10, non IAI PC Tanggerang 6), bisa ga ya pas pendaftaran seminarnya kita ngaku-ngaku aja jd anggota PC Tanggerang biar dapet SKP 10. soalnya suka ngerasa rugi aja gitu hahha

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.