Melihat Cinta di Gereja Santa

Di Hari Valentine yang seharusnya ceria, saya tetap ceria meskipun pacar ada jauh (banget) di seberang lautan. Oh, katanya Valentine itu haram dan amoral, ya? Baiklah, kita ganti jadi Palentain. Tampak lebih bermoral, kan? Kebetulan sebuah tulisan di blog yang ini berhasil membuat saya dapat even di Palentain ini. Ceritanya? Ah, itu di blog sana saja, ya.

Sesudah kelar ber-slalom ria, saya kemudian beranjak ke tujuan berikutnya yaitu sebuah tempat terkemuka bernama Gereja Santa. Dari Senayan, saya menuju Halte Polda untuk kemudian naik TransJakarta ke Blok M. Di terminal dengan banyak jurusan itu, saya lantas menaiki Kopaja 616 jurusan Cipedak. Sebenarnya, kalau dari Blok M menuju Gereja Santa ini sangat mudah, karena pilihannya banyak. Bisa naik Kopaja 57 (Blok M-Kampung Rambutan), Kopaja 616, Kopaja 620 (Blok M-Pasar Rumput), Mayasari R57 (Blok M-Pulogadung), Metromini 75 (Blok M-Pasar Minggu), Metromini 77 (Blok M-Ragunan), dan PPD 45 (Blok M-Cililitan). Semuanya akan melewati Gereja Santa.

Namun, saya sotoy. Saya turun di JALAN SENOPATI. Entah kenapa saya turun disana, dan mau naik lagi kok malas. Akhirnya, ya, saya jalan kaki. Jalan kaki menyusuri Jalan Senopati dan Jalan Suryo untuk kemudian mendapati sebuah pertigaan, ke kiri ke Tendean, ke kanan ke Pasar Santa. Nah, disinilah seharusnya tadi saya lanjut naik 616. Turunnya persis di depan tempat yang ada spanduknya.

Yup, Gereja Santa ini berada persis di pertigaan, dan bukan sembarang pertigaan pula. Alamat lengkapnya adalah Jalan Suryo nomor 62, Blok Q, Jakarta Selatan. Jalan Suryo ini searah dengan ujung ke kiri Tendean, kanan ke Pasar Santa. Nah, jalan ke Pasar Santa juga searah. Jadi, kalau mau ke Gereja Santa berhentinya pas di pertigaan berlampu merah. Tempat yang ada spanduknya tadi, persis di sisi kiri jalan menuju Tendean. Tinggal nyeberang, dan itu macet, jadi bisalah nyelip-nyelip mencari jalan.

Dengan posisi yang semacam ini, dan kemudian lahan parkir yang tidak saya lihat sama sekali, Gereja Santa pada akhirnya menjadi salah satu penyebab-nambah-macet di jalan menuju Pasar Santa. Parkirnya bahkan bisa dua lapis. Saya nggak ngerti bagaimana kondisi Gereja Santa ketika pekan suci.

Menurut gerejasanta.org, nama sebenarnya dari Gereja ini adalah Gereja Santa Perawan Maria Ratu, atau biasa disingkat Gereja SPMR. Diberkati oleh Mgr. A. Djajasepoetra, SJ pada tanggal 1 Juni 1956. Kalau dirunut sedikit ke belakang, pada tahun 1950 beberapa keluarga Katolik yang tinggal di Kebayoran Baru mulai ngumpul-ngumpul dan tahun 1951 mulai rutin misa di rumah keluarga Hofland. Parokinya sendiri mengacu ke Blok B, sejak tahun 1952. Pada tahun itu umatnya mencapai 1.500 orang. Tentu saja, karena di tahun itu daerah Kebayoran memang sedang berkembang biak dengan pesat, ketika Kelapa Gading (yang hobi banjir itu) masih ada tempat tampungan air beneran.

Eh, sekadar membuat jelas. Meski namanya adalah Gereja Santa Perawan Maria Ratu dan disingkat Gereja Santa, serta tidak jauh dari Pasar Santa, sejatinya nama Pasar Santa bukanlah dari Santa Perawan Maria Ratu yang dipendekkan, menurut jakarta.go.id, santa pada Pasar Santa adalah nama peninggalan dari Kantor Anemer Santa yang dahulu berkantor di tempat itu.

Lahan dengan luas 2980 meter persegi diperoleh pada 16 Maret 1955, dengan Occupatie Vergunning No. 1573. Sedangkan pengurus Gereja dan Dana Papa Roma Katolik Gereja Santa Perawan Maria Ratu dibentuk via SK Uskup Agung Jakarta, Mgr. A. Djajasepoetra, SJ nomor 54/B5-2/70 tertanggal 28 Januari 1970. Pada tahun itu, umat mencapai 4000 orang. Perluasan Gereja kemudian dilakukan pada tahun 1974 dan selesai serta diberkati oleh Mgr. Leo Soekoto, SJ pada 27 Desember 1975.

Dari luar, seolah-olah saya akan mendapati bangunan yang vintage. Bagaimana nggak akan berasumsi demikian jika melihat bentuk semacam ini:

IMG20150214170953

Ketika masuk, ada sebuah posisi miring yang mengarah ke bangunan yang macam Gereja (eh, memang Gereja, sih). Begitu dilihat-lihat, ternyata ruangan itu kosong. Rupanya bangunan itu adalah Gereja asli yang dibangun pada tahun lawas dan boleh dibilang memang kecil. Gereja yang dipakai ada di sebelah kanan, dengan partisi berupa kaca, macam di TwentyWan. Jadi di kiri ada bangunan lama, di kanan bangunan baru. Tidak menempel, tapi dipisahkan oleh sebuah gang menuju toilet dan pintu keluar ke jalan menuju Pasar Santa.

Saya tidak sempat memfoto bangunan lama karena pas di depannya ada panitia Hari Ulang Tahun Pernikahan, jadi nggak bisa mendekat. Karena saya masuknya ke bangunan baru, ya saya foto bangunan barunya saja. Kira-kira tampilannya begini:

IMG20150214171846

Arsitekturnya jelas modern dengan dinding yang tidak mulus serta bagian atap yang memungkinkan cahaya untuk masuk. Beberapa hari ini sorenya agak sorean ya (opo iki?), jadi ketika misa mulai jam 6, masih ada cahaya tampak dari sela-sela atap. Tabernakelnya ada di kotak coklat yang ada di foto dan kalau melihat dimensinya, sepertinya sih berkonsep built-in dengan tembok. Bangunan baru ini umurnya belum 10 tahun. Gereja SPMR punya gedung gereja baru pada tanggal 1 Juni 2006, setelah dimulai pembangunannya pada 9 Mei 2004. Gedung lama yang ada di sebelah juga direnovasi, kok pada tahun yang sama.

Sesudah masuk dan foto-foto bangunan baru itu, tetiba sebuah keluarga dengan dua anak cantik dan satu bocah lelaki tengil masuk ke sebelah kanan saya. Sempat si anak cewek cantik duduk di sebelah saya persis, namun sejurus kemudian muncul BAPAKNYA duduk di sebelah saya persis. Mungkin habis parkir, tapi berhasil membuat niat buruk di gereja pupus seketika. Jadi ingat cerita di Lembang, tentang Matthew.

Karena saya cuma misa, jadi saya tidak menjelajah sampai ke basement. Hanya saja, menurut gerejasanta.org, di bawah ruangan gedung baru, ada basement yang dipakai untuk aula dan ruang-ruang pertemuan. Pas pengumuman memang terdengar bahwa ada lebih dari 1 nama aula.

Ketika saya masuk, diputar lagu SAVAGE GARDEN yang paling nyess buat saya, ‘I Knew I Love You’. Agak aneh, memang, karena ada lagu pop yang diputar di rumah ibadah. Kalau Romo-nya kebetulan Romo yang keras soal tradisi, itu panitia sudah dibabat pasti. Alasan utama lagunya jadi demikian adalah Hari Palentain itu tadi, kebetulan digabungkan dengan yang saya sebut tadi, Ulang Tahun Pernikahan, sehingga tepatlah bahwa 14 Februari adalah hari yang penuh cinta. Tradisi agak baru di Keuskupan Agung Jakarta ini dihelat dengan jumlah pasangan sangat besar. Setengah gereja isinya mereka doang. Saya pergi sendiri, tanpa pacar. Menurut ngana, saya nggak iri hati?

IMG201502141719201

Ternyata, jumlah sebanyak itu adalah pasangan suami istri (pasutri) yang berulang tahun pernikahan dari Juli 2014 sampai pada saatnya misa ini digelar. Ya, pantas saja jumlahnya bisa sebanyak itu. Dan misanya juga jadi benar-benar berbeda. Bacaannya bukan standar, lagunya juga bukan. Macam misa kawinan saja.

Rombongan petugas nongol dari sebuah ruangan di sisi kanan altar, dekat tempat koor. Di atas tempat koor saya melihat semacam pipa organ, seperti yang ada di foto yang saya upload dengan susah payah. Romonya Jesuit, gondrong pula. Bacaan cuma 1, jadi ingat Kobar, tapi panjang. Itu lho, suratnya Paulus tentang kasih. Dibacakan dengan bagus oleh Mas Lektor yang kebetulan Pakai Jas–pasti karena misa khusus. Tidak ada mazmur, tapi antarbacaan berupa lagunya Pak Putut, yang diambil dari surat yang habis dibaca, judulnya KASIH. Salah satu dari sekian banyak lagu terbaik, versi saya. Habis itu, beneran langsung Injil. Tidak ada homili, yang ada adalah drama cerita Tionghoa tentang Sam Pek dan Eng Tay. Habis drama, ada lagu BERKATILAH. GAES, INI BENERAN MISA KAWINAN, MAH! KURANG LAGU CINCIN CINCAH DOANG! Terus di akhir prosesi ini ada agenda kasih bunga ke pasangan, pun. Ah, nasib LDR. Heu.

Ketika misa berlangsung, saya baru tahu kalau di balkon ternyata ada 45 pasangan yang baru kelar KPP. Kursus Persiapan Perkawinan (atau Pernikahan?) merupakan sebuah kekhasan di Agama Katolik. Saya sendiri belum KPP, karena yang mau saya ajak KPP masih kuliah di Long Dong, rada jauh dikit dari Hong Kong.

Ketika tiba saatnya persembahan, sistematikanya bukan sebaris satu kotak/kantong, namun beberapa. Mirip sama Cikarang, hanya beda di wadah. Wadah yang digunakan dsini semacam kotak tisu dibungkus kain. Agak kesulitan bagi yang terbiasa nyemplungin di kantong beludru dengan kondisi duit yang diremas sehabis-habisnya. Ah, yang penting kan niatnya.

Sejujurnya, karena ini misa khusus, saya jadi nggak bisa melihat profil umum misa di Gereja Santa. Petugasnya jelas sudah latihan, misdinarnya juga lengkap dan cekatan. Apapun yang khusus memang dipersiapkan baik-baik. Yang nggak dipersiapkan baik-baik itu Khusus Menjahit.

ITU KURSUS!

Sebelum misa selesai, ada sambutan dari ketua Seksi Kerasulan Keluarga. Sekali lagi, hal-hal semacam ini selalu nggak sreg di hati saya. Tapi mau gimana lagi? Siapalah saya ini. Hanya seorang biasa yang sedang mencoba mencari Tuhan dengan cara yang berbeda, dan nggak terlalu suka Romo yang bicara politik, nggak suka sama sambutan dari siapapun sesudah pengumuman, nggak suka sendiri. Yang terakhir ini pasti.

Pada awal kedatangan, saya sempat mencari Gua Maria, namun pintunya ketutup. Ternyata Gua Marianya ada di bagian belakang Gereja. Nyempil dengan pintu TwentyWan juga. Patungnya tidak pula besar, tidak pula berwarna. Tapi tempat di pojokan cukup syahdu juga.

maria2

Pulangnya, saya menanti bis Blok M-Pulogadung yang nggak lewat-lewat. Akhirnya saya jalan kaki, dari Tendean sampai Kuningan Barat, demi TransJakarta. Namanya juga proyek menemukan Tuhan, nggak boleh nggaya pakai taksi, dong. Tapi jalan kaki di sepanjang Tendean sampai Kuningan itu horor juga. Horor karena trotoar dipakai jualan, dan horor karena nggak banyak manusia yang jalan lewat trotoar.

Buat yang mau ke Gereja Santa jadwalnya begini:
Misa Harian: 06.00
Jumat Pertama: 12.00 dan 18.00
Sabtu: 18.00
Minggu: 07.00, 09.00, 16.30, 18.30

Di Gereja Santa sendiri ada Pelayanan Kesehatan, ada Kursus Matematika Tingkat SD, hmmm, kayaknya yang saya kira pastoran tadi adalah Gedung PSE-nya deh. Ada juga Pelajaran Agama untuk PERSINK (Persaudaraan Siswa Siswi Negeri Katolik), ada Pendalaman Alkitab, Pijat Refleksi, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Di Gereja ini lumayan banyak anak kosan, lumayan banyak juga orang sekadar numpang lewat. Lha, si cantik di sebelah saya tadi kayaknya bukan warga asli, wong Bapaknya nanya, “Pak, misanya jam 6 kan?”

Helo! Saya dipanggil “PAK!”. Sembrono!

Sebagai tambahan, untuk antisipasi sirkulasi bikin macet, maka mobil yang ngedrop umat diperbolehkan masuk ke area Gereja untuk lalu keluar lagi dan mencari parkir, carinya sampai Blok M ya boleh aja, suka-suka-situ. Kalau ngedrop di jalan sejatinya itu bikin macet, nggak cuma di Gereja Santa, di Atrium Senen juga begitu.

Sekian saja liputan amburadul dari saya tentang Gereja Santa Maria Perawan Ratu, Blok Q, Dekenat Jakarta Selatan, Keuskupan Agung Jakarta. Semoga saya bisa melengkapi koleksi posting sejenis dengan Gereja-Gereja lainnya. Amin.

13 thoughts on “Melihat Cinta di Gereja Santa”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.