Saya dan Jakarta

Sebagai pemuda harapan bangsa kelahiran kota nan kecil, mungil, merata, saya kini tinggal di Jakarta. Ibukota Republik Indonesia yang kata Koh Ernest sudah dikuasai oleh kaumnya. Sebuah kota yang oleh karena pilihan nan tersedia, lantas menjadi peraduan bagi siapapun untuk mencari nafkah. Siapapun itu termasuk saya. Sejujurnya, belum setahun saya menjadi penghuni Jakarta. Mungkin terlambat, karena teman-teman saya justru telah meninggalkan Jakarta.

Tadi kan saya bilang bahwa saya adalah pemuda kelahiran kota kecil, dan sampai usia saya ke-10 tempat terjauh yang saya jajah adalah Padangsidimpuan, kampung Mamak saya. Udah. Maka, ketika tahun 1997 ada program mudik bareng ke kampung Bapak, saya senang minta ampun karena akhirnya bisa menjejak Jawa dalam keadaan sadar. Sebelumnya ke Jawa pas usia 2 tahun. Mungkin satu-satunya yang saya ingat saat itu adalah pipis di celana.

Selepas Merak, saya dan adek-adek GANTI CELANA DI DEPAN MESJID. Sudahlah diturunkan sama Gumarang Jaya, tas banyak, harus nyari bis ke Jogja sendiri, pula. Kenapa harus ganti celana, karena kami sudah hitungan hari di dalam bis, dan akan menempuh perjalanan hitungan hari lainnya ke Jogja. Pas maghrib, diperolehlah bis itu dalam keadaan penuh.

Ketika saya berdinas ria sekarang ini ke Kendari, Palembang, dan lainnya, saya menemukan anak-anak kecil yang kecil-kecilnya sudah naik Garuda. Bersyukurlah kalian, nak, nggak kayak Om.

Saya duduk di undak-undakan bis dan kemudian terlelap seadanya karena lelah. Memasuki tengah malam, saya terjaga dan melihat sepanjang jalan ada gedung-gedung tinggi yang selama ini hanya bisa saya lihat di televisi. Saya sungguh terkagum-kagum dengan yang saya lihat. Semuanya tampak mewah dan indah, apalagi di jalanan yang tidak macet.

Itu tahun 1997. Saya kemudian bertemu lagi dengan Jakarta pada tahun 2001. Hanya beberapa jam, tapi krusial. Saya sampai di Kampung Rambutan bersama bis Gumarang Jaya dan di terminal itu naik bis ke Cirebon. Itu adalah perjalanan krusial karena menjadi titik tolak kepindahan saya ke Pulau Jawa dan kiranya adalah kali pertama saya menjejak terminal horor seantero Jakarta. Lagi-lagi, itu tengah malam.

Tahun 2003, bertepatan dengan undangan dari Kementerian Lingkungan Hidup, saya hadir lagi di Jakarta. Sejatinya dapat tiket hotel, tapi apadaya, Frater yang diutus mendampingi saya justru mengajaknya ke rumahnya. Dia dibayar untuk mendampingi saya, sekalian dia mudik. Okesip. Disitulah saya mulai melihat riak-riak Jakarta. Jakarta yang bukan gedung tinggi, bukan bangunan mewah. Hanya sekilas, karena lantas saya mengikuti acara di Gedung Bidakara. Gedung PERTAMA di Jakarta yang saya masuki dengan outfit batik (simbah), celana kain (simbah), dan sepatu olahraga (adanya itu). Sepulang dari Bidakara dan sembari menanti tiket kereta ke Jogja, saya diajak ke sebuah tempat di Jalan Kramat VII. Sesuatu yang baru saya sadari belakangan. Apa itu? Nanti saja.

Sesudah 2003, maka saya beraktivitas lagi di Jakarta itu cukup lama, tahun 2008 ketika PKL. Saya sih tidak dapat Jakarta, tapi Depok. Mepet Jakarta. Maka, sesekali saya juga main melintas Jakarta, ya, sekadar melintas saja. Cuma hawanya saja nan kerasa. Sempat ingin mendaftar jadi pegawai di tempat saya PKL, tapi gaji yang tampak minim kemudian membuat saya urung bergabung. Pesona Jakarta masih menarik saya hingga kemudian ketika lulus saya mendaftar ke berbagai tempat yang ada di Jakarta, namun hasilnya nihil.

Jodoh saya waktu itu justru di Palembang, balik lagi ke pulau kelahiran. Dua tahun di Palembang, saya nyaris bergabung dengan perusahaan farmasi nomor 1, tapi sebuah peristiwa bikin saya urung. Simpel, ketika hendak wawancara dengan direktur, kondisinya banjir lumayan tinggi di sekitar Cempaka Putih. Saya lantas ilfil dan menolak tawaran itu, justru memilih pindah ke Cikarang. PKL di Depok, kerja di Cikarang, semuanya mepet-mepet Jakarta. Tapi tetap saja belum Jakarta.

Jakarta boleh dibilang menarik bagi saya karena kondisinya mudah. Mudah ke Padang, mudah ke Jogja, dengan pesawat. Saya merasakan peliknya hanya ingin mudik ketika di Palembang. Siapa sangka bertahun kemudian ada penerbangan Palembang ke Padang. Siaul.

Ketika saya di Cikarang, mulai makin sering main ke Jakarta. Terbiasa jadi anak busway. Keliling Jakarta cuma mau lihat OOM ALFA nampang di berbagai Gramedia seantero Jakarta. Sunday Meeting di kantor Bukune. Dan aneka kegiatan lainnya.

Hingga akhirnya, saya kemudian benar-benar diterima di sebuah tempat di Jakarta. Diapit oleh Jalan Kramat dan Cempaka Putih. Sebuah gabungan kode tahun 2003 dan 2011, menjelma jadi realita di tahun 2014. Eh, 2003 + 2011 = 2014 bukan? Cocok!

Kini Jakarta akan menjadi tempat saya menghabiskan hidup, mungkin untuk puluhan tahun ke depan. Saya semakin akrab dengan ruang-ruang sempit di Jakarta. Tahun 1997 saya tidak tahu bahwa di balik gedung-gedung tinggi nan keren itu ada pemukiman kumuh yang lebar jalannya saya hanya antara dua lubang dalam permainan kelereng. Saya semakin akrab dengan macetnya, juga dengan transportasi umumnya yang bau keringat.

Begitulah kisah saya dan Jakarta. Bagaimana dengan kamu?

2 thoughts on “Saya dan Jakarta”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.