Tiada Yang Tak Mungkin Untuk Niat Baik

Pagi ini saya habis melakoni perjalanan deg-degan. Oh, saya tidak sedang berjalan-jalan sambil jualan es kelapa muda. Tentu tidak. Saya hanya melakoni sebuah perjalanan dari Jakarta ke Cikarang, dalam sebuah durasi yang tampak tidak mungkin untuk dicapai. Bingung juga, sih, menjelaskannya, jadi ada baiknya diceritakan saja.

Sejak nyaris setahun silam meninggalkan Cikarang secara domisili dan pekerjaan, saya masih punya jadwal tetap untuk kembali ke kota terlengkap di Timur Jakarta coret itu. Sekadar cuma meladeni belasan hingga puluhan pasien dalam sebuah pelayanan kesehatan. Meskipun sertifikat kompetensi saya sudah kedaluarsa, padahal saya belum kawin, tapi saya tetap ingin melakukan sesuatu dengan hawa ‘pelayanan’. Maka, sebulan sekali saya masih tetap nongol ke Cikarang dalam rangka menjadi apoteker-sekali-sebulan.

Nah, pada kedatangan bulan November, saya kepagian. Karena kepagian masih sempat misa dulu. Tak pikir-pikir, kenapa saya nggak sekalian tugas lektor saja, toh saya bisa datang pagi. Lagipula bakal unik juga karena tanggal 28 Desember pagi saya tugas di Bukittinggi, lalu tanggal 4 Januari saya tugas di Cikarang, lalu 11 Januari saya tugas di London. *oke, ini ngarep*. Berbekal kondisi itu, saya kemudian menyanggupi untuk menggantikan salah satu teman yang berhalangan. Saya jelas sudah nggak dapat jadwal karena sudah pindah paroki.

Edisi kepagian itu memang butuh pengorbanan karena saya mengejar KRL ke Bekasi yang paling pagi, yakni 05.05 dari Stasiun Manggarai. Dilanjutkan angkot ke pangkalan 45 di dekat mal tetanggaan Bekasi Barat, lalu lanjut lagi shuttle lokal Lippo Cikarang untuk sampai ke TKP. Dua kali percobaan, berhasil. Setengah 7 saya sudah menghirup asap industri Cikarang. Saya cuma lupa satu hal: musim hujan.

Saya bangun tadi pagi sekitar setengah lima. Ya, agak terlambat, tapi sebenarnya nggak juga. Kali yang lalu saya beruntung dapat taksi Whitehorse yang entah darimana nongol jam lima kurang di seputaran Johar Baru. Kali ini saya agaknya tidak bisa berharap peruntungan yang sama, karena ternyata hujan deras. Iya, ini sudah musim hujan, dan ini Jakarta, jadi ya namanya hujan itu korelatif sekali dengan kejadian bernama banjir.

Walhasil, karena menunggu hujan agak reda dan genangan jalanan surut, saya memilih menunda keberangkatan dan berpikir untuk mengalihkan rute dengan cara naik taksi ke Bekasi Barat. Habis-habis berapalah, pikir saya. Toh, ini juga baru gajian, walau gaji saya nggak seberapa banyak. Cuma kan mau dapat dari naskah Kebelet Bilang Cinta, jadi ada ceperan bulan ini. Dengan tekad bulat macam perut, saya berjalan menerjang genangan dengan celana terlipat dan payung gratisan kondangan Pak DJ.

Saya keluar jam 05.10 pagi. Kiranya di Jakarta nan metropolitan, mencari taksi pada jam segitu bukan hal sulit kan ya?

Nyatanya sampai 05.30 saya belum dapat taksi. Semua taksi merk apapun saya lambaii (uopooo?) tangan, dan semua memilih seperti wanita-wanita yang pernah mewarnai hidup saya: berlalu begitu saja. Saya mulai bingung. Ini tinggal 1,5 jam dan saya masih belum bergerak. Kebetulan lewatlah angkot, dan dengan instingtif saya naik, berharap di Jalan Kramat Raya, taksi bisa ditemukan dengan lebih mudah.

Asa tinggal asa. Sampai 05.45 saya masih tetap menjadi pemuda berpayung kondangan di tepi jalan raya. Tidak ada satupun taksi menjawab lambaian tangan saya. Ya lewat, justru bis Senen-Bekasi. Tanpa pikir panjang, saya menaiki bis itu. Hari-hari biasa dan jam-jam biasa tentunya sulit untuk menaiki benda itu tanpa desak-desakan. Kalau di jam 05.45, guling-guling juga masih bisa.

Cuma, ya, namanya kendaraan umum, ngetemlah dia di Hotel Balairung, di Stasiun Jatinegara, dan di beberapa spot lainnya sebelum kemudian melaju sangat kencang di tol. Berpadu dengan kosongnya jalanan pagi hari dan aneka ngetam-ngetem sana-sini, akhirnya saya sampai di Jatibening pada pukul 06.15. Iya, tiga puluh menit, yang 20 menit itu ngetemnya. Agak mikir juga, turun di Jatibening atau lanjut Bulakkapal. Saya kemudian hanya berpikir bahwa dalam tiga kali percobaan saya tidak pernah berhasil menemukan pangkalan K.50 di Bekasi Timur, dan tentu hal itu tidak direkomendasikan dalam keadaan kepepet.

Saya hanya berharap bahwa ada kendaraan yang bakal masuk di Jatibening itu, dan mengantarkan saya ke Cikarang karena waktunya tinggal 1 jam lagi. Sebenarnya 1 jam 15 menit, cuma kan saya mesti sudah ready 1 jam itu.

Ada apa di Jatibening?

Tidak ada. Pagi tadi Jatibening kosong melompong ketika saya turun. Lima menit kemudian baru datang bis, Purwakarta. Selanjutnya, Karawang. Seterusnya Bekasi Timur lagi. Saya sudah hampir putus asa untuk bilang ke grup WA bahwa saya bakal telat dan nggak bisa tugas sebelum akhirnya saya melihat secercah harapan…

…ada DAMRI!

DAMRI tidak selalu masuk Jatibening, kecuali ada penumpang yang mau turun disana. Dan ini jam setengah 7, jadi keberangkatan jam berapa ya dari Bandara? Ah, nggak peduli. Begitu duduk di DAMRI, saya langsung yakin bakal sampai ke TKP dengan tepat dan selamat sentosa karena DAMRI-nya baru dan jalanan juga lowong. Mau lewat Grand Wisata pun saya tiada peduli, pasti sampai.

Dan memang, 6.45, saya sudah ada di Pintu Tol Cikarang Barat. Setengah jam nan memadai untuk bisa sampai ke TKP yang masih lebih dari 5 kilometer lagi. Saya kemudian menyeberang ke deretan angkot. Ini agak tricky, bukan Tricky Yakobi, karena harus pintar memilih angkot yang bakal ngetem hingga gebetan menikah atau yang secepat kilat kabur tanpa peduli ada penumpang atau kagak. Dan ternyata, saya…

…salah naik. Sepuluh menit, iya, sampai 6.55 saya masih ada di bawah jalan layang, menunggu bis Santoso dkk menurunkan penumpang dan si supir berharap eks penumpang bis itu mau naik angkotnya. Deg-degan juga, dan bakal gelo kalau tiba-tiba saya gagal sampai ke tujuan dengan tepat hanya karena ketololan memilih angkot. Dan kok ya beruntung ada satu keluarga yang mau bikin angkot itu penuh.

Fakta tidak sampai 10 menit saya sudah sampai di perempatan Lippo Cikarang. Satu step lagi menuju tujuan akhir. Tanpa peduli dengan ongkos saya melompat ke jok sebuah ojek, yang rupanya kecepatannya macam OOM ALFA. 40 km/jam di jalanan nan lapang adalah sebuah kegemasan. Macam lihat cewek cantik tapi jomlo. Cuma karena menurut hitung-hitungan pasti tepat, saya lalu berserah saja sambil bersiap melompat dan berlari.

Tepat 07.15 saya sampai ke lokasi dan bergegas masuk serta mendapati bahwa yang tugas kurang 1. Jadi saya mendobel 2 bacaan, plus 1 lilinan. Jadi tripel. Nggak apa-apa, malah impas dibandingkan perjalanannya yang boleh dibilang hampir mustahil itu tadi. Tugas berjalan lancar, tidak ada kata-kata yang meleset seperti ketika terakhir kali saya dobel bacaan di mimbar yang sama. Begitu sampai di Balkes juga terlakoni dengan baik pula. Semua aman dan damai.

Manusia memang bisa berencana, tapi pada akhirnya faktor-faktor lain menjadi pendukung. Ketika rencana itu bubar, ya saya harus punya rencana lainnya. Akan tetapi, terlepas dari itu semua, saya hanya merenungkan bahwa toh niatan saya ke Cikarang itu baik, ingin memberikan waktu untuk melayani–baik dalam konteks ibadah maupun dalam konteks profesi–jadi saya mencoba meyakinkan diri bahwa ketika niat itu baik, maka pasti akan ada jalan baik yang diberikan. Saya hanya memikirkan itu ketika taksi-taksi memilih melewati saya dan akhirnya terbukti.

Tuhan itu baik, kan?

3 thoughts on “Tiada Yang Tak Mungkin Untuk Niat Baik”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.