Menjadi Lektor yang Baik

Hahahahahahahaha.

*ngakak dulu*

Posting sotoy juga ini yak. Jelas-jelas masih lektor cupu, bisa-bisanya nulis judul sangar begitu. Yah, tapi okelah, kalau mau melihat dan membaca soal bagaimana menjadi lektor yang baik boleh dicek disini, disini, dan disini.

Dulu, iya duluuuuuu banget, saya mengawali karier membaca sabda Tuhan ini pada hari ketika saya menerima komuni pertama. Maklum, kan anak guru dan anak ketua rayon (tentunya anggota dewan paroki juga), jadi punya privilege untuk bisa tampil. Hahahaha. Muka saya tentu masih amat sangat cupu dan unyu walaupun sekarang juga sih.

Itu tahun berapa ya? Sekitar 1996 atau 1997, pastinya saya lupa. Sudah belasan tahun silam. Bahkan anak yang tahun itu belum lahir saja sudah bisa memperkosa *barusan baca berita perkosaan oleh anak 12 tahun, absurd*

Waktu kecil, saya itu amat sangat anti kritik. Pas pertama kali disodorin bacaan, maka saya baca secepat kilat, pokoknya kelar. Saya anggap semakin cepat semakin baik.

Salah. Saya ngambek.

Lalu ketika mulai paham bahwa ini sabda Tuhan yang harus dibaca dengan tempo tertentu (saya kalau ngomong biasa memang dasarnya cepat), saya kemudian dilatih untuk membaca oleh orang tua. Pas jatah kata “mereka”, saya baca dengan “mEreka”, saya diketawain orang tua.

Salah. Saya ngambek lagi.

Sebuah proses kampret dalam pendewasaan diri saya yak. Begitulah. Memang sungguh semprul sekali.

Pada perjalanannya, saya punya idola anaknya Pak Edi, kalau nggak salah namanya Mas Uus. Kalau ngelektor santai banget. Paling senang kalau lihat dia baca bacaan pertama Jumat Agung, dari Yesaya, yang panjangnya ora kiro-kiro itu, tapi kontennya menarik.

Dari situ saya mulai mengerti ‘cara membaca yang baik’.

Pindah ke SMA, waktu dimana saya nyaris murtad dan menjelma menjadi Kristen NaPas, ya mana ada cerita jadi lektor?

Saya baru jadi lektor lagi di Cana Community, kapel Santo Robertus Bellarminus Mrican. Yang ironisnya, saya tinggalkan karena satu kritik.

Kritik sih, cuma buat saya disampaikan dengan tidak proper oleh seorang suster. Saya lagi baca, kurang mengalir, terus dibilang, “gini nih kalau nggak biasa nyanyi.”

Dan saya sikapi dengan daftar PSM, lalu berkarier disana. Bye bye lektor. Hahahahaha.

Itu tahun 2005, dan saya baru ngelektor lagi tahun 2013. DELAPAN tahun kemudian. Syukurlah, skill itu nggak hilang-hilang banget.

Sebenarnya, apa sih makna menjadi lektor? Buat saya ada beberapa hal.

1. Membaca sabda adalah hal yang berbeda dengan membaca biasa. Saya coba praktek dengan membaca buku Rectoverso (pinjem), dengan cara lektor, rasanya jelas beda. Persislah dengan teman saya yang muslim yang mendaraskan surat-surat yang tertera di kitab sucinya. Itu inspiring sekali loh. Terutama si Irfan, kalau lagi malam-malam di mushala office lantai 2.

Menurut teori, memang ada pesan yang disampaikan ketika kita membaca. Tapi kalau saya sih mencoba berpikir sederhana saja. Sesudah doa pembukaan kan dibilang, “marilah kita MENDENGARKAN sabda Tuhan”, itu yang buat saya–walau megang teks–nggak pernah baca teks. Nah, bagaimana supaya yang mendengar itu bisa menerima isinya, itu yang sulit. Caranya? Ya bacalah sebaik-baiknya. Itu saja. Kita kan nggak tahu umat yang lagi dengerin lektor itu sedang ngelamun jorok apa kagak (itu mah saya kali…)

Poinnya adalah membaca sabda, punya nilai, yang sebisa mungkin tersampaikan kepada pembaca.

Sedikit membenarkan si suster yang menghina dina saya dulu, bahwa menyanyi itu membantu dalam membaca. Setiap bacaan mempunyai lagu, dan tidak selalu harus dibaca ala puisi. Yeah, dulu pas Bahasa Indonesia paling tobat saya kalau disuruh baca puisi. Terimo ora. Tenan.

Inilah yang kemudian membantu upaya penyampaian maksud bacaan kepada umat. 🙂

2. Lebih dekat dengan sabda Tuhan adalah sisi baik lektor. Saya ini yah, ampun-ampun, walaupun punya kitab suci, mana pernah saya baca? Coba tanya saya 1 kalimat yang saya hafal di alkitab, mana ada?

Tapi, saya bisa ingat loh, bacaan-bacaan yang pernah saya baca di mimbar, dan sekaligus kata-kata penekanannya. Misal, “….karena engkau, mentaati sabda-Ku..”, atau “….dan mereka semua disembuhkan…”

Nggak usah muluk-muluk ke orang, urusan ke diri sendiri si lektor aja dulu. Pengaruhnya signifikan, terutama bagi orang yang jarang baca alkitab kayak saya. Hahaha.

3. Menikmati diri didengarkan, buat saya adalah perspektif lain. Dulu, buat saya, secepat mungkin selesai, lebih baik. Hehe. Tapi perlahan saya sadar, umat nggak akan melempar saya dengan sepatunya kalau saya terlalu lama di mimbar. Lha wong romo yang kotbahnya 1 jam sendiri juga nggak dilempar kan? *ekstrim mode on*

Umat datang (salah satunya) untuk mendengarkan sabda, jadi menikmati saat-saat di mimbar adalah penting.

Datanglah ke mimbar, lalu bersiap sejenak. Lihat ke depan, jangan ke belakang, apalagi ke atas *iki ngopo sih?* Kalau melihat ke depan, toleh dikit kiri kanan siapa tahu ada yang cantik.

*lektor sesat*

Untuk hal ini, saya angkat topi untuk Felic, anak Cana dulu. Ini anak paling menikmati soal tengak tengok ini. Naik mimbar, tengak tengok dulu. Pede abis pokoknya. Tapi jadinya keren.

Coba nikmati begini:

Naik ke mimbar, letakkan buku, pastikan bacaan terbuka dengan baik. Lalu lihat ke depan, sedikit kiri, sedikit kanan. Kalau nemu yang cantik, tetapkan sasaran. Kalau ada pacar, bolehlah jadi titik pusat. Lalu ambil nafas, tahan sampai besok.

*ngawur kan*

Ucapkan kalimat dengan perlahan, sehingga tidak akan merasa kehabisan napas. Karena di altar tidak ada tabung oksigen. Pelan-pelan saja, dan jangan terus gemetar. Ini posting sotoy, jadi jangan percaya kalau yang nulis nggak gemetaran. Percayalah, bahwa saya pun kadang masih gemetaran.

Cari kalimat-kalimat yang perlu ditekankan. Itu akan menjadi penekanan berbeda waktu membaca. Plus, begitu mau kelar, temponya diperlambat. Ini teori saya dapat waktu di Cana, lupa dari siapa, tapi ini yang bikin membaca jadi asyik. Tempo diperlambat, kata per kata kalau perlu ditekankan. Kebanyakan sih, poin utama bacaan itu memang ada disana. Nggak tahu kalau ada perubahan dari 2005 ke 2013 ya.

Nah, sesudah kelar. Tarik napas lagi, tahan lagi sampai besok, lalu bilang, “demikianlah sabda Tuhan.”

4. Tapi sebenarnya, bagian terbaik dari menjadi lektor adalah ketika mendapat berkat di sakristi ketika tugas sudah berakhir. Itu rasanya berbeda dibandingkan jadi umat biasa. Maklum, bertahun-tahun jadi umat biasa. Luar biasa sih, maksudnya, biasa di luar. *halah*

Ya begitulah. Seperti saya bilang tadi, kalau mau yang baik dan benar sila baca tautan yang sudah saya buat. Tapi kalau mau jadi yang sesat, boleh ikuti cara saya. Dijamin ngawur. Hehehehe.

3 thoughts on “Menjadi Lektor yang Baik”

  1. kowe moco jik koyo pas nang 3 harine mbah kae…? Saran oom, tidak semua kalimat “dilagukan” terdengar indah… wassallam…

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.