Kisah Kedua

Aku sedang asyik dengan ponselku ketika kudengar bunyi pintu dibuka. Kulihat seorang gadis masuk dan berdiri dua meter dari pintu. Aku bergegas menutup semua aplikasi yang kubuka dengan ponsel Android-ku dan kemudian bergegas memegang kertas order.

Gadis itu menuju sebuah meja di pinggir jendela. Aku melihat itu dari kejauhan dan bergegas menyusulnya. Bagaimanapun pelayanan kepada pelanggan itu sangat penting. Bagiku, kalau perlu pelanggan tidak perlu memanggil pelayan jika hendak melakukan pemesanan, biarlah pelayan yang mengerti maunya pelanggan.

“Selamat sore, Mbak,” sapaku ramah pada seorang gadis yang baru saja duduk. Aku segera menghampiri tempat dengan nomor 7 itu untuk menyambut pelanggan yang datang sendirian ini.

“Sore,” balasnya tak kalah ramah.

“Mau pesan apa?”

“Caffee Latte. Satu.”

Dengan sigap aku menuliskan pesanannya di kertas order yang kupegang. Sesudah selesai menulis ‘Caffe Latte’ aku bertanya kembali, “Ada lagi?”

“Itu dulu.”

“Baik, ditunggu ya Mbak.”

Aku segera berlalu dari meja nomor 7 itu dengan memegang sehelai kertas order. Aku melangkah pasti ke dapur untuk meletakkan kertas order. Sementara itu, aku kembali berdiri tegak di pos jagaku.

Aku seorang pemilik Café yang memposisikan diriku sebagai pelayan di tempat yang sudah dua tahun aku kelola ini. Tidak semua orang tahu kalau aku adalah pemilik, karena kalau briefing aku selalu memposisikan diri sebagai supervisor yang seolah-olah punya atasan lagi. Aku memang terbiasa melakoni itu sejak masih bekerja sebagai supervisor di perusahaan farmasi. Lima tahun melakoni aktivitas yang sama membuat pola itu terpatri dalam benakku sebelum kemudian aku keluar dan mendirikan Café ini.

Café yang aku kelola ini kunamai Cafi Café. Syukurlah, tempat ini cukup laris. Setidaknya aku selalu terkapar kelelahan setiap malam setelah Café tutup. Itu berarti aku memang banyak bergerak untuk melayani pembeli.

“Kringggg.”

Petugas di dapur membunyikan lonceng yang terpasang di tempat serah terima pesanan. Aku menoleh sedikit dan melihat sebuah gelas putih dengan asap yang mengepul tipis ada di tempat itu. Itu tanda pesanan sudah tersedia. Aku segera berjalan ke tempat pesanan diletakkan dan mengambil nampan serta kelengkapan lain untuk melayani pelanggan di meja nomor 7.

Sembari menyiapkan nampan dan kelengkapan lainnya aku melihat ke pelanggan di meja nomor 7. Sekilas kulihat ia adalah sesosok gadis muda yang lumayan cantik. Rambutnya lurus tergerai sampai ke pundaknya. Sebuah bando warna biru menempel dengan cocok di kepalanya. Kulitnya putih bersih membalut tubuhnya yang agak kurus. Dari tadi ia sendirian di meja nomor 7.

Perihal pengunjung yang sendirian, buatku bukan hal yang aneh. Itu pula sebabnya aku menyediakan lebih banyak meja yang hanya memiliki dua kursi daripada empat atau enam kursi. Aku mencoba memahami pelanggan. Sekarang begini, kalau kita naik bus formasi 2-2 pun, pasti kecenderungannya kita akan mencari tempat yang kosong terlebih dahulu agar bisa sendirian, meskipun itu letaknya jauh di belakang. Aku mencoba mengerti itu dan nyatanya memang tidak sedikit pengunjung yang datang ke Café ini hanya untuk duduk sendirian, minum kopi, merokok, asyik dengan laptopnya, dan kemudian membayar lalu pulang. Aku tidak dalam kapasitas hendak mencari tahu segala kegiatan pengunjung. Aku hanya mengamati segala sesuatu yang terjadi di Café ini.

Kuletakkan gelas putih dengan asap tipis penanda pesanan ini masih panas ke atas nampan. Kusiapkan sedotan kecil, sendok, dan dua bungkus kecil gula. Tidak lupa kuletakkan tisu berwarna putih dan bertuliskan Cafi Café di atas nampan. Pesanan ini sudah siap untuk diantarkan.

Aku melangkah perlahan di sela-sela meja-meja lainnya yang ada di Café ini dan segera sampai di meja nomor 7.

“Selamat sore, Mbak. Caffee Latte?” tanyaku ramah. Meskipun ini terkesan retorika karena aku juga yang menuliskan pesanan itu di kertas order, bagiku proses konfirmasi keinginan pelanggan adalah hal yang tidak kalah penting.

“Iya, betul.”

Kuletakkan nampan di atas meja dan mulai menyajikan segelas Caffee Latte di depan gadis itu. Sekilas kulihat sebuah bungkusan kecil terletak di kursi yang tidak ia duduki. Kulihat juga dua buah ponsel tergeletak di meja tempat aku menyajikan pesanan. Salah satu ponsel tampak masih menyala karena baru saja diletakkan oleh gadis itu ketika aku datang. Aku melihat home screen ala anak muda. Sebuah foto pasangan ada disana.

Masih dengan sekilas pandang aku menerjemahkan bahwa gadis itulah yang ada di home screen ponsel itu. Parasnya jelas mirip meski objek yang ada di home screen tidak mengenakan bando biru. Aku bisa melihat kesamaannya dari mata, hidung, dan bibir.

Foto home screen itu juga memuat sesosok lelaki yang menurutku tidak tampan. Kulitnya hitam, berbeda bermakna apabila kubandingkan dengan gadis manis di sebelahnya. Tangan si lelaki memeluk bahu si gadis. Latar belakang foto itu perlahan kukenali sebagai Sungai Musi karena aku melihat dengan jelas tulisan Ampera di antara dua kepala yang ada di foto itu.

Aku tidak asing dengan pemandangan itu karena aku pernah dua tahun bermukim di daerah yang terkenal dengan hidangan pempek itu. Berfoto dengan latar belakang Sungai Musi dan Jembatan Ampera adalah keasyikan tersendiri. Aku sendiri hendak bertanya latar belakang ke-Palembang-an gadis ini, tapi tentu tidak layak karena itu berarti aku sudah melihat home screen dari ponsel pengunjung. Aku menganggap ini sebenarnya tindakan kurang ajar. Jadi daripada aku harus bermasalah dengan pelangganku sendiri, biarlah aku melakukan penyimpulan atas sesuatu yang sejatinya tidak penting-penting amat ini.

Demikian yang tertangkap oleh mataku sebelum kemudian layar ponsel itu padam dengan sendirinya dan memasuki fungsi lock. Aku mengecek kembali layanan yang telah kuberikan kepada pelanggan di meja nomor 7 ini. Sepertinya tidak ada yang tertinggal.

“Sudah, Mbak. Ada lagi yang bisa dibantu?”

“Belum, Mas. Terima kasih.”

“Mari, Mbak. Selamat menikmati.”

Gadis itu tersenyum. Manis juga senyumnya. Setelah ia tersenyum padaku, belum pula aku berlalu, tangannya sudah kembali meraih ponsel yang sempat aku intip home screen-nya itu. Aku mencoba berdiri diam sebentar sambil mundur dua langkah menjauh dan melihat senyum yang lebih manis merekah dari bibir gadis itu sembari asyik dengan ponselnya.

Aku geleng-geleng kepala saja melihat ekspresinya. Sungguh riang dan sulit dijelaskan dengan kata-kata. Senyum tidak lupa menyertai gelengan kepalaku menyikapi kejadian sederhana yang baru saja aku lihat.

Badanku kembali berdiri di tempat aku seharusnya menunggu. Aku melihat pelanggan keluar dan masuk dari pintu koboi yang kupasang di Café yang aku kelola ini. Tempat ini memang mampu membuatku melihat banyak hal. Aku sering menemukan pasangan yang tentu saja berlainan jenis kelamin datang dan kemudian duduk berhadap-hadapan. Kadangkala keduanya bisa diam selama berjam-jam sampai beberapa kali melakukan pemesanan ulang minuman. Ada pula yang sampai berteriak lepas karena tampaknya terlalu gembira. Kutaksir itu sebuah proses penembakan atau bahkan lamaran. Sesekali juga kulihat tangis dari beberapa pelanggan sesudah obrolan panjang berjam-jam yang menghabiskan beberapa gelas kopi. Sungguh, berbagai macam suasana.

Suasana itulah yang menghidupiku di Café ini. Perlahan aku sadar kalau Café ini menjadi penanda penting bagi beberapa orang. Ya, ada beberapa pengunjung belia yang bilang kalau mereka baru saja jadian di Café ini. Aku juga sering mendengar kata “putus” ketika berjalan melewati sepasang kekasih yang sedang tegang. Ekspresi sejatinya memang tidak bisa menipu.

Aku juga pernah melihat proses lamaran informal di depan mataku sendiri. Waktu itu Café sudah hendak tutup sebelum kemudian seorang lelaki berlutut di depan pasangannya yang sedang berdiri kaku di dekat pintu Café. Ah, ada-ada saja dunia ini.

Itulah hal-hal manusiawi yang membuatku tetap menjadi manusia. Melihat hal-hal yang manusiawi sungguh mampu mempertahankan jadi diri kemanusiaaan kita. Aku sadari benar hal itu dan aku mencoba mempertahankannya dengan melihat kejadian-kejadian di Café ini. Hal-hal yang mungkin buat orang lain tidak penting, tapi menjadi sangat penting bagi yang melakoninya. Bukankah hidup memang seperti itu adanya?

Tampaknya Café sedang agak sepi, sehingga aku bisa berdiri agak lebih lama disini. Pandangku ternyata belum puas menyikapi objek di meja 7. Aku melempar pandangan ke sekeliling dan kenyataannya memang tidak ada objek lain yang bisa diperhatikan kecuali gadis yang memesan segelas Caffee Latte tadi. Tentu saja, aku memandangi lingkungan Café ini setiap hari selama lebih dari 8 jam. Setiap sudut dari Café ini sudah kuhafal. Jadilah aku butuh pemandangan baru untuk menyegarkan pandangku.

Ia cantik, aku sangat mengakui itu, setelah melihat wajahnya pada jarak yang lebih dekat dan sekaligus melihat fotonya. Hawa ceria jelas tampak begitu aku mendekatinya. Entahlah, tapi yang pasti pipinya menjadi merah merona, pandangannya menjadi terang benderang, sedangkan bibirnya melengkung ke atas membentuk sebuah ekspresi yang bernama senyum. Satu hal yang menjadi pertanyaan bagiku adalah ‘mengapa ia sendirian?’.

Gadis itu kini masih tersenyum, tapi dengan posisi yang berbeda. Ponsel yang dari tadi melekat di tangannya kini ada di atas meja. Tangan kirinya ada di atas meja sedangkan tangan kanannya menopang dagunya. Kepalanya beredar ke kiri dan ke kanan ditopang oleh tangan kanannya. Senyum masih tidak lepas dari bibir itu. Matanya seperti sedang mengamati satu demi satu objek di Café ini.

Kepalanya bergerak kecil tanpa tergelak begitu mengamati karikatur yang ada di atas pintu masuk. Itu karyaku sendiri yang kukerjakan selama semalam suntuk. Oh iya, semua pajangan yang melekat di dinding Café ini adalah karyaku sendiri. Aku betul-betul ingin Café ini penuh dengan sentuhan yang asli dari pemiliknya.

Kepalanya kiri semakin ke kiri. Lagi-lagi gadis itu tergelak melihat patung badut berdasi yang kuletakkan di sudut Café. Patung itu kubuat dengan posisi memegang sebuah papan. Disitulah aku biasa menulis promo-promo yang aku buat di Café ini.

Sudut kepalanya tampak sudah mentok ke kiri. Kini kepala itu beralih ke sebelah kanan. Gadis itu duduk di tepi jendela sehingga begitu ia melempar pandang ke kanan, maka yang terlihat adalah halaman Café. Satu hal yang kulihat tidak lepas dari kepala itu adalah senyum yang mengembang di bibirnya.

Tiba-tiba pintu masuk Café bergerak, seorang lelaki dan seorang perempuan masuk. Aku segera bersiap untuk melayani pesanan. Dua orang pengunjung itu masuk sambil bergandengan tangan. Ketika dua meter dari pintu, pengunjung perempuan berhenti dan memandang mesra pada pengunjung yang kutaksir adalah pasangannya itu.

Benar saja, begitu pengunjung yang laki-laki mendekat, pengunjung perempuan segera menggelayutkan tangannya ke leher pengunjung laki-laki sambil bertanya, “duduk mana, honey?”

Tidak bisa diragukan lagi, kalaulah bukan sepasang suami istri, keduanya adalah sepasang kekasih. Sapaannya sudah memperlihatkan kemesraan yang terjadi.

“Di situ aja, honey?” ujar pengunjung yang laki-laki sambil menunjuk meja nomor 6. Persis di sebelah gadis yang memesan Caffee Latte tadi.

“Boleh,” jawab pengunjung perempuan sambil menggandeng pasangannya menuju meja yang ditunjuk.

Pengunjung laki-laki itu segera menuju meja nomor 6 dan menarik kursi sambil mempersilahkan pasangannya duduk. Wah, romantis sekali, pikirku.

Thanks, honey,” kata pengunjung perempuan dengan suara yang terdengar manis.

Pengunjung laki-laki itu tidak menjawab, hanya langsung memegang dagu pengunjung perempuan itu selama sedetik. Ia kemudian menarik kursinya sendiri dan lantas duduk. Aku bergegas mendekati pasangan itu.

Sembari berjalan menuju meja nomor 6, aku melihat ke gadis di meja nomor 7. Paras ayunya menyiratkan sesuatu melihat pasangan yang sedang duduk di meja nomor 6. Senyum masih ada disana, tapi aku melihat hal yang lain. Semacam perasaan iri atau sejenisnya. Aku sedang berupaya mendefinisikan itu.

Aku pun sampai di meja nomor 6 dan segera melayani pelanggan yang tampaknya sedang dimabuk asmara itu.

“Selamat sore,” sapaku dengan ramah, “Mau pesan apa?”

“Kamu pesan apa, honey?” tanya pengunjung perempuan.

“Aku coklat panas aja. Kamu apa?”

“Apa ya? Aku bingung.”

Aku diam. Hal ini sangat biasa dalam pelayanan terhadap pengunjung perempuan. Seringkali mereka sulit memutuskan minuman yang hendak dipesan. Aku pun melirik sekilas ke gadis di meja nomor 7. Kulihat lirikan kecil di matanya. Ia melirik pengunjung di meja nomor 6. Bibirnya komat kamit menyebutkan sesuatu.

Mataku mencoba fokus pada gerak bibir manis itu. Kucerna sedikit demi sedikit. Ah! Akhirnya aku bisa menyimpulkan sesuatu. Dalam penafsiranku, komat kamitnya berbunyi, “mau pesan aja repot.”

Senyum simpulku keluar ketika berhasil mencerna ucapan gadis di meja nomor 7. Sungguhpun sejak keduanya masih di pintu, aku sudah merasa bahwa gadis di meja nomor 7 ini berpikir kurang baik. Bisa jadi kemesraan berlebihan ini menimbulkan iri hati, atau perasaan lain yang sejenis. Dan kini aku menemukan kalimat ketus yang sedikit banyak nyambung dengan konteks yang aku pikirkan.

“Apa?” tanya pengunjung laki-laki itu kepada pasangannya.

“Apa ya?”

“Sama aja ya?” tawar pengunjung laki-laki itu. Aku merasa ia sudah tidak nyaman membuatku berdiri diam selama lima menit sejak ia menyebut pesanannya.

“Iya deh,” ujar pengunjung perempuan dengan mata masih melihat ke menu. Aku—sedikit banyak—tahu perihal ini dan langsung melirik ke pengunjung laki-laki. Kudengar ia bergumam, “dari tadi kenapa?”

Aku kembali tersenyum dengan kejadian yang aku lihat. Yah, hal-hal semacam ini memang mampu menyunggingkan senyum. Untunglah pengunjung Café belum terlalu ramai sehingga aku masih bisa mengamati fenomena yang terjadi.

“Coklat panas dua ya Mas,” ujar pengunjung laki-laki.

“Ada lagi?”

“Itu dulu deh.”

“Baik, ditunggu ya Mas.”

Aku berlalu dengan membawa kertas order bertuliskan dua Hot Chocolate. Pesanan yang simpel tapi mampu membuat senyumku tersungging beberapa kali. Kertas order itu kuletakkan di meja serah terima. Aku—seperti biasa—kembali tegak di tempat semula dan kembali memandangi gadis cantik di pinggir jendela yang duduk manis di meja nomor 7 itu.

Kulihat ponselnya kini kembali ke tangannya. Jemarinya dengan lincah menekan keypad di ponselnya tersebut dan lantas memindahkannya segera ke telinganya. Oh, ia sedang melakukan panggilan telepon.

Satu kali, kulihat ponsel itu kembali ke tangan. Dua kali, jemari itu kembali menekan keypad yang ada di ponsel dan ponsel itu kembali berada di dekat telinga. Tidak lama, gadis itu kembali meletakkan ponselnya.

“Paling nggak diangkat,” gumamku. Lama-lama aku menjadi pengamat beneran dalam kondisi yang seperti ini.

Tampaknya gadis itu tidak lelah berjuang dan berusaha. Diambilnya ponsel yang satu lagi, dilakukannya hal yang sama, dan ponsel itu kembali berada di dekat telinganya, kali ini di dekat telinga kiri. Tidak lama kulihat secercah senyum muncul.

“Nyambung kalau begini,” bisikku ringan.

“Dimana lu?” Suaranya ternyata cukup besar untuk bisa kudengar di tempatku berdiri. Kulirik sedikit ke meja nomor 6, kali ini pengunjung perempuan yang merasa terganggu dengan suara panggilan telepon yang cukup besar itu.

“Oh, gitu. Iya nih, gue udah bawa hadiahnya kok. Sesuai yang lu bilang waktu itu.”

Aku masih mencoba mendengarkan dengan saksama. Badanku bersandar ke meja yang ada di depanku guna menunjang badanku yang agak condong ke depan.

“Kringggg.”

Bel di meja serah terima berbunyi. Dua gelas coklat panas sudah tersedia disana. Aku bergegas menyiapkan nampan dan berbagai kelengkapan lainnya. Di sela-sela itu aku masih mencoba mendengarkan percakapan gadis di meja nomor 7.

“Ya iyalah. Tiga tahun. Itu kalau umur anak udah masuk TK kali,” kata gadis di meja nomor 7 itu sambil lantas tergelak besar sekali. Aku yakin pengunjung di meja nomor 6 sudah semakin terganggu dengan percakapan telepon ini.

Apapun, itu hak setiap pelanggan.

Kubawa dua gelas coklat panas dengan nampan, berikut kelengkapan lainnya. Sedotan, tisu, sendok, hingga gula sudah ada di atas nampan itu.

“Nggak tahu tuh. Katanya sih sudah berangkat tapi ini gue BBM belum dibaca,” cerocos gadis di pinggir jendela dengan volume suara yang masih besar.

“Coklat panas?” tanyaku begitu sampai di meja nomor 6.

“Iya.”

Kuletakkan nampan di atas meja dan segera kupindahkan dua gelas berisi coklat panas ke depan masing-masing pengunjung Café itu. Tidak lupa sedotan, sendok, tisu, dan gula segera menyertai. Kulihat sekilas, dan aku merasa seluruhnya sudah terlayani, lalu aku bertanya, “Ada yang lagi bisa dibantu?”

“Sudah, Mas.”

“Baik, selamat menikmati,” tutupku sambil meninggalkan pasangan yang sedang asyik berbincang sendiri, namun volume suaranya kalah dengan meja sebelahnya itu.

Aku berjalan perlahan memutari meja nomor 6 dan menuju meja nomor 9 karena pelanggan yang sebelumnya ada disana sudah pulang. Aku perlu memberesi meja itu. Letak meja ini masih cukup dekat dengan percakapan telepon yang terang benderang terdengar dari meja nomor 7.

“Iya. Doakan saja. Siapa tahu aja gue langsung dapat cincin. Jadi gue bisa nyusul lu deh.”

Aku masih asyik dengan aktivitas mengelap meja nomor 9 dan mulai mencerna makna dari beberapa hal yang kulihat dan kudengar dari tadi. Senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, sebuah home screen ponsel, dan beberapa konteks percakapan membuatku kembali berusaha meyimpulkan sesuatu.

“Iya deh. Iya. Tenang aja. Eh, baby lu apa kabar? Nggak mau nambah?”

Percakapan telepon masih berlanjut, kali ini soal bayi. Ah, makin bingung aku. Lebih baik aku memang tidak menyimpulkan apapun dari percakapan ini. Daripada aku berpikir terlalu keras untuk hal yang sepertinya kurang penting.

Meja 9 sudah selesai kubereskan. Aku segera kembali ke meja tempatku menanti. Entah bagaimana ceritanya, percakapan telepon dari pengunjung di meja nomor 7 itu masih saja membuat kepalaku berputar. Yah, aku memang sering memikirkan hal-hal yang tidaklah perlu aku pikirkan.

“Oh begitu. Ya udah kalau begitu. Makasih ya. Bye.”

Gadis itu akhirnya menutup percakapan teleponnya. Ponsel hitamnya kembali mendarat di meja, bersebelahan dengan gelas putih yang kini tidak lagi mengepulkan asap tipis. Sudah ada durasi waktu yang cukup untuk membuat hidangan itu dingin dan bisa dinikmati. Kopi panas memang mempunyai pesona tersendiri, termasuk ketika kopi itu dicampur dengan berbagai varian yang menciptakan berbagai variasi rasa. Itulah yang aku jual di Café ini.

Aku melempar pandang lagi ke sekeliling. Sesekali berada di tempat ini hanya untuk mengedarkan mata ke kiri dan kanan bisa membuatku bosan. Tapi tidak kali ini. Setidaknya aku mendapatkan suatu puzzle sederhana yang bisa membuatku kehilangan rasa bosan.

Pandanganku sedang asyik menatap karikatur yang kubuat persis di atas pintu koboi ketika pintu itu terbuka. Seorang laki-laki mendorong pintu itu dengan keras dan masuk ke dalam Café. Hampir sama seperti pengunjung lainnya, ketika masuk ke dalam Café, yang pertama kali dilakukan adalah berdiri dua meter dari pintu dan memandang ke sekeliling. Laki-laki yang baru masuk ini pun melakukan hal yang serupa.

Aku mulai bersiap-siap untuk melayani pengunjung yang satu ini. Seperti aku bilang tadi, aku terbiasa dengan pelanggan perorangan. Mereka inilah yang biasanya menghabiskan lebih banyak waktu di Café alih-alih orang yang datang berdua atau lebih. Mereka ini biasanya mencoba menikmati hidupnya dengan kesendirian. Setidaknya itu kesimpulanku hingga saat ini.

Pengunjung lelaki itu kemudian menatap terpaku ke meja nomor 7. Edar pandangnya berakhir di titik itu, persis di tepi jendela. Badannya terdiam selama beberapa detik sebelum kemudian kulihat senyum terbentuk di wajahnya.

Aku mulai merasa aneh. Perasaanku bilang kalau aku pernah melihat orang ini. Tapi perasaanku juga gagal menjawab pertanyaan perihal tempat aku pernah melihat orang ini. Aku malah jadi bingung sendiri.

Lelaki itu kemudian berjalan bergegas menuju meja nomor 7. Pengunjung di meja nomor 6 melirik sedikit, tapi sepertinya mereka sedang asyik dengan dunianya sendiri. Gadis di meja nomor 7 mendongak dari keasyikannya dengan ponsel yang sedari tadi melekat di tangan. Mulutnya sedikit membuka, pandangannya kosong. Perlahan mulut itu melengkung membentuk senyum yang sama manisnya dengan yang kulihat sedari tadi.

Hal yang kulihat memang sederhana. Pandangan mata itu menjadi ceria. Pipi gadis itu menjadi merah merona. Senyumnya menjadi merekah indah. Aku masih berusaha menyimpulkan semuanya.

* * *

Bahkan saya sendiri nggak paham apa inti cerita sepanjang ini -___-“

4 thoughts on “Kisah Kedua”

  1. ceweknya punya temen yang udah nikah… dia berharap bisa nututi nikah, usia pacarannya udah 3 tahun… iya kak???
    aku lebih bisa mengartikan soal.e… hehehe

    Like

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.