Pria Romantis, Tapi….

Tanah lapang, gede banget, banyak debu, panas. Komplit. Aku melangkah berat di dalam sebuah kompleks milik Angkatan Udara dan menjelma menjadi perkemahan. Sebuah tempat yang diperoleh dengan penuh cerita. Jadi, kalau aku dulu diospek bersama dinginnya kaki Merapi, gabungan aktivitas erupsi Merapi dan gempa Jogja menyebabkan kehidupan berubah. Kalau dulu yang namanya ospek itu sudah jelas tempatnya, sekarang panitia yang harus memperjelas tempatnya. Tidak ada lagi patokan tahun lalu, karena opsi tahun lalu sudah dicoret. Ya, memang perkemahannya tutup. Mau bagaimana lagi? Entah harus bersyukur atau mengutuk, tapi aku termasuk panitia.

Perjuangan mencari tempat pengganti jadi warna berikutnya. Mulai dari ngos-ngosan memutari kawasan Candi Ratu Boko dan garuk-garuk aspal setelah melihat harganya sampai jauh-jauh melintas timur ke barat hanya untuk deg-degan waktu lewat waduk Sermo, bukan untuk mencari kitab suci. Semuanya dilakoni hingga akhirnya para panitia inti terpekur pilu kehabisan ide.

Perjalanan dari tempat ke tempat itu bermuara di area milik Angkatan Udara yang mau berbaik hati mempersilahkan anak-anak polos bin lutjuk ini memakai lahan, tentu dengan segala prosedur yang harus ditaati. Termasuk kudu push up karena pakai kaos pas survei lokasi. Kasian.

Itu sudah kisah sebulan yang lalu. Sekarang, aku, berbekal HT, melangkah riang gembira kesana dan kemari. Setidaknya memastikan bahwa yang tertulis di kertas lecek yang aku pegang benar adanya. Sebutlah namanya rundown, meski 24 jam lagi benda ini akan kehilangan nilainya, tapi kalau dia hilang sekarang, aku bisa langsung mencari jurang terdekat untuk lompat. Pedihnya sama seperti jomlo menahun kalau sampai benda yang dibahas sampai nangis darah ini lenyap, pada saat ini.

* * *

“Ko!” sapaku pada Chiko, vokalis band yang ternama, di level fakultas sih. Yang pentin ternama.

“Opo?”

“Buat kompensasi kemarin nih. Tapi tambahi durasimu.”

Kepanitiaan pas mahasiswa itu kudu profesional, termasuk pada teman sendiri. Jadi walaupun aku dan Chiko ini teman, kadang seranjang waktu nebeng di kosnya Roman, kadang-kadang dia curcol kalau galau, tetap saja dia ngamuk waktu kemaren durasinya aku potong. Takdir pemilik dan pengelola acara, kudu nekat dan sedikit tega demi kemajuan nusa dan bangsa.

Setelah melancarkan aksi damai antara seksi acara dengan seksi kesenian yang mengisi acara, aku kembali berputar-putar nari balet. Anggap saja kontrol situasi, meskipun sebenarnya sembari dan seraya mengamati kalau-kalau diantara mahasiswa baru berbaju kuning ini ada yang berjenis kelamin cewek dan kece. Itu kan sembari dan seraya saja, sisanya tetap fokus pada kerjaan.

Malam menjelang. Para maba tampak lelah berpanas ria seharian, dengan baju yang sama mereka akan melalui malam. Aku, tetap berkeliling membawa tiga benda utama, kertas lecek berupa rundown, HT, plus jam tangan butut. Tragedi nasib memang membawaku pada tiga benda keramat itu. Tak apa sih, setidaknya aku bisa memantau kalau di sudut panggung sana ada…

…si Chiko. Mungkin dia sedang persiapan untuk tampil di panggung. Eh, tapi kok lagi dua-duaan sama cewek?

Wah! Ini nggak bener. Setahuku si Chiko ini masih jomlo sejak jadi playboy setahun silam. Definisi playboy adalah dalam 1 semester bisa pacaran dua kali, sementara temannya dalam 1 semester gagal menggebet sampai lima kali. Itu aku.

“Ini nggak seperti yang terlihat. Playboy itu kan menyakiti. Lah aku?”

Itu tadi retorika klasik khas Chiko. Aku sampai bosan mendengarnya, tapi agak-agak miris juga kalau mendengar kisahnya. Jadi, kalau ada cowok berganti-ganti pasangan, itu bukan berarti dia playboy. Bisa jadi itu dia dicampakkan berkali-kali. Aku lantas mencari kawan-kawanku yang lain sesama teman tidur dan nonton bokep di kos Roman. Bayu, yang lagi asyik dengan kamera orang lain—maklum seksi dokumentasi—segera kudekati.

“Itu apaan tuh?” Aku menunjuk Chiko yang lagi dua-duaan di sudut panggung sana.

“Weeehhhh.”

Pemandangan unik dan antik ini harus diperjelas. Sebagai sesama pria jombo yang nyaris korosi menyaksikan Roman asyik pacaran di kosnya tanpa mempedulikan para pendatang dan nebengers yang jomlo menahun ini, fakta Chiko yang terlihat berduaan tentu agak janggal. Janggal ya, bukan Jonggol. Kalau Jonggol itu dekat Bekasi. Jauh.

Namanya sesama, senasib, dan sepenggalauan, mestinya kan ya saling curhat to ya? Dan menurut daftar curhat yang aku punya, gadis yang ini tidak ada. Gadis ini baru masuk ke pembicaraan kemarin! Belum sampai level dicurhatin karena bikin gemes. Cepet juga ini bocah?

Malam semakin larut, sesekali Chiko naik panggung, pada kali lain tentu jatah penampil lain. Ada drama dari panitia, juga ada penampilan dari peserta. Ini kok macam membosankan juga ya? Bahkan aku yang bikin acara saja bosan. Aku malah semakin tertarik dengan Chiko yang makin intens berdua-duaan sama Irin. Adik kelas satu tahun nih ceritanya. Sebagai pewarta warga yang butuh klarifikasi, aku nekat SMS Chiko.

“Hayo! Ngopo kowe?”

Dan seperti biasa, Chiko akan membalas dengan berbagai retorika yang membuatku malas melanjutkan SMS itu. Huh! Sekadar intermezzo, dalam agenda putar-putarku di sekitar panggung, aku malah menemukan Riono sedang asyik berdua dalam gelap dengan Riana. Bagaimana mungkin? Biasa sih. Maklum, mereka ini pasangan baru. Masih fresh from the oven. Malam ini dingin dan mungkin mereka saling menghangatkan karena mereka berdua sama-sama memegang obor. Siapa yang percaya kebetulan di dunia? Memangnya kebetulan dari mana ketika satu cewek dan satu cowok sama-sama dikasih nama dengan huruf depan R, lantas nomor absen urut-urutan 87 dan 88, plus satu kelompok terus dalam kuliah apapun. Kebetulan darimana coba?

Kalau aku percaya, itu adalah singgungan garis-garis nasib. Agak beda konsep dengan kebetulan. Nggak apa-apa, mau kebetulan apa nggak, nyatanya mereka sekarang pasangan kekasih yang jadian di sela-sela jadi relawan selama gempa.

Selingan berikutnya, ini yang aku dari tadi amati. Si Bayu kok kalau habis ngambil foto kok mepet-mepet Putri? Putri kemana, Bayu ngikut. Putri ke WC, Bayu siul-siul depan WC. Putri nari balet, Bayu angguk-angguk. Aduh-aduh, ini mungkin disebut CLBK alias Cinta Lama Belum Kelar. Kalau ibarat kata pepatah Jawa, teklek kecemplung kalen, tinimbang golek, mending balen. Bakiak masuk sungai, daripada nyari mending balikan.

Dan iklan yang terakhir adalah aku sendiri. Namanya juga usaha. Sambil menyelam, makan koral. Tetap tebar pesona, tuai penderitaan, tampang selalu profesional.

Bulan makin terang di atas ketika acara selesai dan seluruh peserta masuk ke tenda masing-masing. Tentu saja yang cowok setenda dengan sesama cowok. Bagaimanapun membuat pepes manusia itu lebih enak kalau sejenis. Kalau dua jenis dalam satu cetakan, itu tidak homogen, ada kontaminan. Aku ngantuk sebenarnya. Semalam tidur larut karena problem sepanjang hari waktu acara hari pertama. Tapi karena aku terbilang rombongan terakhir yang masuk tenda besar panitia, aku harus gigit jari kaki karena tempat tidur disana penuh. Aduh.

Daripada aku jadi pepes manusia di dalam, aku akhirnya keluar, nongkrong bersama panitia-panitia lain yang tampak masih terjaga. Ada Alin disana. Aku duduk disampingnya. Sebutlah ini kesempatan dalam keluasan. Ya emang tempat di sampingnya itu kosong. Sekalian saja, gitu.

Aku dan Alin lantas larut dalam obrolan malam, mulai dari acara seharian sampai RBT-ku yang separuh galau setengah risau ‘Hapus Aku’. Gimana nggak miris kalau begitu menelepon aku, nada deringnya, “Yakinkan aku Tuhan, dia bukan milikku. Biarkan waktu, waktu, hapus aku.”

Ketika langit semakin cerah oleh bintang-bintang, aku dan Alin ngobrol sambil melihat benda langit itu dalam posisi punggung-punggungan. Aduh, deg-degan sih. Semua sempurna mulai langit, obrolan, dan Alin. Satu hal yang tidak sempurna adalah si Alin ini pacar orang. Udah.

Tanpa diduga, cecunguk bernama Chiko bangun dan keluar tenda.

“Aku ganggu yo?”

“Nggak,” jawabku ringan.

Chiko lantas menjadi pihak ketika antara aku dan Alin. Jadilah, mengurangi suudzon orang lain gitu ceritanya. Sambil aku nekat tembak si vokalis playboy ini, “Tadi ngapain?”

“Nggak apa-apa kok.”

Hish. Malas kali aku sama bocah ini. Mata pewarta wargaku sudah melihat dengan jelas kok. Masih membantah. Cling! Tiba-tiba aku ingat, sehabis ini acaranya anak-anak baru nan unyu itu disuruh jalan malam sambil belajar sedikit-sedikit soal kuliah di beberapa pos. Dan aku ingat juga kalau Chiko ini, aku tempatkan sama Irin di satu pos.

Hayo! Kalau nanti aku lihat lagi, dan masih ngebantah, tak ajak sunat ke Bogem! Kalau sudah, ya sunat lagi.

Nggak terasa, sesi punggung-punggungan melihat bintang selesai. Obrolan yang indah dan sempurna seandainya Alin itu jomlo. Baiklah, mari profesional. Acara berikutnya siap dilakoni, dimulai dengan membangunkan para peserta. Pada jam peserta dibangunkan, aku bahkan belum tidur SAMA SEKALI!

Mulailah pagi menjelang, pelan-pelan bulan bersembunyi. Aku mulai berjalan mengikuti anak-anak muda ngantuk itu. Tepat di pos Chiko yang lagi kosong, aku mendapati sebuah penampakan.

Irin bersandar di bahu Chiko! Asem! Ini bocah beneran playboy dah! Perlu aku sembah habis ini.

* * *

Bulan yang tadi sembunyi sudah berganti matahari yang terik. Persis ketika peserta-peserta berkumpul sehabis berngantuk ria di pagi buta, aku mendapatkan intermezzo lain soal Bayu dan Putri. Si Putri dengan cueknya di tenda panitia, Bayu dengan muka berharapnya. Ah! Beginilah cinta. Kata Pat Kai, deritanya tiada akhir. Aku sendiri heran, karena dulu Putri yang ngebet sama Bayu. Kenapa sekarang jadi kebalik? Apa dunia emang sudah kebalik dan aku nggak dikasih tahu?

Rangkaian acara panjang itu akhirnya selesai. Mobil-mobil besar milik tentara yang disewa dengan tarif miring sudah mengangkut pemuda-pemudi harapan bangsa dan mertua itu kembali ke kampus. Tinggallah panitia-panitia dengan muka lusuh penuh kantuk karena nggak tidur. Meski mataku semakin sipit oleh karung mata berikut silaunya matahari, tapi masih dapat melihat sebuah pemandangan kontradiktif dengan keindahan yang aku lihat tadi pagi buta.

Chiko sembab di panggung, sendirian, tidak jauh dari tempatku terjongkok miris membongkar tenda.

Playboy nangis?

“Chiko ngapa?” tanyaku pada Yama, bos acara ini, yang kebetulan juga satu kumpulan. Cuma Yama lebih memilih tidur siang di kosku. Mungkin lebih tentram dan bebas gangguan.

“Pedih.”

“Kok?”

Yama lantas bercerita panjang lebar tentang kejadian yang barusan dia hadapi. Seorang pria bernama Peter datang menjemput Irin. Yama yang juga melihat semua yang kulihat dari semalam lantas nekat tanya, Peter ini siapanya Irin. Dan dengan bahagia Peter menjawab kalau dia pacarnya Irin. Aku tidak mendapati kejadiannya, sehingga aku tidak melihat korelasinya dengan playboy yang lagi galau sendirian di panggung yang sudah kosong.

Aku dan Yama masih membongkar tenda di bawah terik matahari yang akan dengan sukses membakar kulitku yang sudah terbakar. Untung aku sudah pakai lengan panjang. Lumayan mengurangi mestinya. Mungkin Chiko melihatku dan Yama, karena sekejap kemudian dia berdiri dan berjalan lemas ke arahku. Dan pada saat bersamaan muncul juga Bayu, sama galaunya meski tidak terlalu gontai. Dua teman tidurku ini tampak patah hati.

Yama mengulang poin-poin utama ceritanya. Akupun mulai mendapati hubungan cerita Yama dengan sosok Chiko yang berdiri lemas di depanku. Sambil mencabuti pasak-pasak dan melipat tenda, kami berempat ngobrol ringan. Seringan chiki.

“Ini anak juga. Tadi ngapain sampai mukul-mukul pohon?” tanya Yama pada Bayu.

“Olahraga,” jawab Bayu. Sungguhpun orang kalau sudah pintar itu, ngelesnya juga pintar. Satu paket isi otak, pakai sambel.

Hampir semua kumpulan kami ikut ajang ini. Termasuk Riono yang penganten baru, ikut juga Prima yang masih setia pada aktivitas mengincar cewek ras Tionghoa yang membuatnya dipanggil Koko oleh sebagian adik kelas, padahal aku tahu pasti kalau Prima tidak punya darah Tionghoa sedikitpun. Termasuk tidak pernah menerima transfusi darah dari orang Tionghoa. Roman-pun ikut, meski tidak bersama pacarnya.

Inil adalah kumpulan manusia-manusia yang suka menjatuhkan dan menginjak-injak. Jadi kalau lagi galau, bukannya dihibur, tapi ditambahi. Ekstrimnya, kalau lagi berdiri, dijatuhkan. Kalau lagi jatuh, diinjak-injak. Kalau lagi diinjak-injak, dikubur sekalian. Aneh kali persahabatan ini!

Cerita menjatuhkan saling terlontar, termasuk aku juga kena karena Chiko saksi kelakuanku tadi pagi, berduan dengan pacar orang. Aku juga tahu, bahwa tidak ada yang bisa diharapkan dari Alin. Dia sudah saling berharap dengan kekasihnya. Merefleksikan semua hal itu, dalam tawanya yang mulai lepas, Chiko berkata, “Kita ini kan pria-pria romantis.”

“Tapi kisahnya nggak pernah romantis,” celetukku secepat kilat.

Semua tertawa keras, Yama, Chiko, Bayu, dan aku melepas keriangan ke udara. Menertawakan kepedihan—dalam hal ini—mungkin adalah cara yang paling cepat untuk mengenyahkannya.

* * *

8 thoughts on “Pria Romantis, Tapi….”

Tinggalkan komentar supaya blog ini tambah kece!

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.